Sebuah pengkhianatan seorang suami, dan balas dendam seorang istri tersakiti. Perselingkuhan sang suami serta cinta yang belum selesai di masa lalu datang bersamaan dalam hidup Gladis.
Balas dendam adalah jalan Gladis ambil di bandingkan perceraian. Lantas, balas dendam seperti apa yang akan di lakukan oleh Gladis? Yuk di baca langsung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gadisti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melakukannya
(Dasar gila. Berhenti menggangguku, aku sudah bahagia dengan kehidupanku saat ini.)
Darren tersenyum ketika membaca balasan dari wanita yang tidak pernah ia lupakan selama delapan tahun berlalu. Wanita yang dulu selalu mengisi hari-harinya, wanita yang selalu bisa membuatnya tersenyum di kala sang papa selalu menekannya untuk belajar bisnis kala itu.
Mengingat masa lalunya bersama wanita itu, membuat senyuman di bibir Darren semakin mengembang sempurna. Jika bukan karena ancaman sang papa dulu, mungkin yang menjadi suami wanita itu adalah dirinya. Sial, membayangkan wanita itu sudah menjadi milik pria lain, membuat Darren merasa marah dan cemburu.
Darren mengusap wajahnya kasar, ia mulai membalas pesan yang di kirimkan oleh Gladis sebagai balasan dari pesannya tadi.
(Ya, aku memang sudah gila. Gila karena terlalu memikirkanmu dan merindukanmu. Aku ingin kembali mengulang masa lalu kita, Sya. Aku ingin menebus kebodohanku karena telah meninggalkanmu dulu.)
Darren langsung mengirimkan pesan itu kepada Gladis. Sejenak ia menatap ponsel itu, lalu menghembuskan nafasnya kasar, semua yang ia lakukan saat ini, tidak pernah lepas dari pandangan ketiga temannya.
Christian, Dimas dan juga Alex saling melemparkan pandangannya satu sama lain, merasa ngeri saat melihat Darren tersenyum sendirian, lalu marah, kemudian mengumpat kasar. Sesaat kemudian, ia kembali tersenyum, seperti orang gila yang kehabisan obat.
"Astaga.... Apakah teman kita satu ini mulai gila sekarang? Apakah itu karena ia merasa tertekan dengan ucapan nyokapnya yang terus-terusan membicarakan soal pernikahannya dengan Bella?" ucap Alex kepada dua temannya yang masih waras.
"Ntahlah, mungkin iya." Sahut Dimas dengan tatapan mata yang masih tertuju pada Darren. Merasa heran, karena baru kali ini Darren bersikap seperti itu.
"Apakah kita perlu membawanya ke psikiater? Gue takut lama kelamaan dia semakin parah." Celetuk Alex yang mendapat toyoran dari Crhistian.
"Apaan sih, Crhis. Maen toyor aja kepala orang," ucap Alex sambil menatap Crhistian dengan kesal.
Crhistian tidak menyahut, ia malah sibuk memainkan ponselnya tanpa memperdulikan wajah temannya yang kesal itu. Alex mendengus, ia mau membuka mulutnya kembali, namun ponselnya berdering, menandakan adanya panggilan dari seseorang. Dengan segera Alex pun merogoh ponselnya lalu, menggeser tombol berwarna hijau dan menempelkan benda pipih di telinganya. Alex mulai berbicara dengan seseorang dari balik telpon sana.
"Ren! Lo masih waras kan? Lo tidak gila kan?" tanya Dimas terlihat khawatir.
Darren yang mendapat pertanyaan itu pun langsung mendengus kesal. Menatap Dimas dengan tatapan matanya yang tajam, kemudian ia pun berkata dengan datar. "Sialan! Apa lo pikir gue gila hah!"
"Gue cuma nanya, Ren. Lagian lo itu dari tadi senyam-senyum sendirian, terus marah-marah tidak jelas, mengumpat sendirian. Apakah itu masih bisa di bilang waras?" Kata Dimas membuat kekesalan dalam diri Darren kian meningkat.
"Ckkk... Kalau gue gak waras, gue udah tendang lo ke Afrika, nikahin lo sama orang Afrika, biar lo tinggal selamanya di Afrika. Malas gue punya teman kayak lo." Ketus Darren membuat Dimas langsung membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. Temannya ini, memang paling bisa memancing emosinya. Rasanya, Dimas ingin sekali melakban mulutnya yang tidak bisa di kontrol itu.
"Sialan! Gue juga malas punya temen kek lo. Gak ada hati sama sekali. Dasar kampret!" seru Dimas kesal.
Memalingkan ke arah lain, tidak ingin menatap kembali wajah Darren yang menyebalkan itu. Sedangkan Darren, ia sama sekali tidak memperdulikan Dimas, ia kembali membuka aplikasi biru, lalu menekan kotak masuk yang berada di dalam aplikasi tersebut.
(Terlambat. Aku sudah bahagia dengan suami dan anakku. Jadi, kamu jangan menggangguku lagi.)
Darren begitu kesal saat ia membaca balasan dari Gladis. Amarahnya kembali menyelimuti dirinya, rahangnya mengeras, sorot matanya begitu tajam, menakutkan. Atmosfer mulai berubah, terasa dingin dan suram.
(Tidak ada kata terlambat dalam hidupku, Sya. Tunggu kamu menjanda, aku akan langsung menikahimu)
Tulis Darren, lalu mengirimkannya kepada Gladis. Setelah itu, Darren pun langsung memasukan benda pipih itu ke dalam saku celananya. Raut wajahnya masih saja dingin dan menyeramkan. Tangannya terkepal kuat, menahan amarah yang semakin menggebu-gebu.
Cristian yang menyadari itu, langsung menghela nafasnya kasar, menatap kembali pada Darren, kemudian ia berkata.
"Ada apa lagi? Apakah dia tidak membalas pesanmu lagi?" tanya Cristian yang mendapat gelengan kepala dari Darren. "Lalu apa?" tanyanya lagi penasaran.
"Gue mau pulang. Gue cabut duluan." Tidak mau menjawab ucapan Cristian, Darren lebih memilih untuk pergi dari dalam ruangan itu.
Dimas dan juga Alex langsung kembali menatap ke arahnya.
"Hah! Serius lo mau pulang? Sekarang? Ini baru jam sembilan lewat lima belas menit. Masa lo udah mau balik aja." Protes Alex setelah ia menyudahi panggilan dari seseorang itu.
"Iya, Ren. Biasanya juga kita balik barengan. Masa lo.... "
"Bodoamat! Gue cabut dulu." Potong Darren membuat Dimas kesal setengah mati. Setelah itu Darren pun langsung bangkit, kemudian berjalan meninggalkan ruangan tersebut.
"Si kampret! Benar-benar pergi dia." Dengus Alex sembari menatap kepergian Dareen yang kini sudah mulai menghilang dari balik pintu ruangan itu.
"Mungkin dia sedang ada masalah. Sudahlah, biarkan saja." Ucap Dimas mencoba menerka-nerka apa yang terjadi pada temannya itu.
Cristian dan juga Alex diam membisu, kedua mahluk Tuhan itu larut dalam pikirannya masing-masing, sementara Dimas, ia kembali menikmati segelas minuman yang biasa ia minum ketika ia sedang ada masalah di rumahnya.
***
"Eeemmhhh aaa.... "
"Aahhh... Aaah ... Kamu sangat luar biasa Evan.."
Dua mahluk menjijikkan sedang bergumul di atas ranjang berukuran cukup besar itu. Desahan demi desahan memenuhi ruangan itu, membuat siapa pun akan tahu apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
"Ka,, kamu benar-benar kuat, mas. Aku sangat pu,,, aaas." Amelia sedari tadi terus meracau, kenikmatan yang di berikan oleh kekasihnya membuat Amelia terasa terbang melayang menuju angkasa raya. Evan benar-benar sangat luar biasa, kuat dan tahan lama.
Sudah dua jam mereka melakukan hubungan terlarang itu, selama dua jam pula Amelia di buat merem melek oleh Evan. Pria itu begitu lihai memainkan area sensitif milik Amelia, lalu mencumbui setiap inci tubuh Amelia, membuat Amelia benar-benar merasa gila.
"Mas... aku tidak tahan lagi," Erang Amelia di saat miliknya mendesak mengeluarkan suatu cairan yang lengket yang membuat tubuh Amelia menggelinjang hebat. Begitu pun juga dengan Evan, pria brengsek itu, mendesah panjang saat ia merasakan miliknya menegang, lalu mengeluarkan cairan lengket seperti Amelia.
Tubuh Evan ambruk, peluh keringat basah membanjiri wajah serta seluruh tubuhnya. Keduanya terengah-engah, akibat pergumulan yang mereka lakukan selama dua jam lebih.
"Kamu benar-benar nikmat, sayang. Aku menyukainya." Bisik Evan membuat Amelia tersenyum puas.
"Kamu juga mas. Aku sangat menyukainya lebih daripada kamu." Kata Amelia sembari memeluk tubuh Evan yang masih berada di atas tubuh telanjangnya.
Kedua mahluk itu saling memuji satu sama lain, merasa puas dengan apa telah mereka lakukan tanpa memperdulikan perasaan seorang wanita yang kini tengah menunggu kepulangan pria brengsek itu.
Waktu sudah semakin larut, namun Evan masih betah berada di atas tubuh telanjang Amelia. Sepertinya ia mulai candu dengan tubuh selingkuhannya itu.
"Sayang, aku harus pulang. Ini sudah malam." Setelah beberapa saat akhirnya pria brengsek itu, mulai kembali ke alam sadarnya. Melihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ia baru teringat akan istrinya di rumah.
Bangkit dari atas tubuh Amelia, lalu memungut pakaiannya yang berantakan di atas lantai. Sedangkan Amelia, ia terlihat menghembuskan nafasnya kasar, tatapan matanya tertuju pada Evan yang saat ini mulai mengenakan pakaiannya satu persatu.
aku lbih mendukung istri kl di selingkuhin bersikap teges, drpd bls suami yg selingkuh dng selingkuh juga, itu lbih memalukan sih jatuhnya bukan waow tp lbih memalukan jatuh martabat.
mending jd janda tanpa cela, yaitu tnp embel embel pernh selingkuh krn itu akn jd nilai minus.
jadilah wanita yg cerdik dan cerdas
kumpulkan bukti2
balas Evan dengan elegan sampai Evan tidak berkutik dan tidak bisa berkata kata