Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Ritual?
Selepas berbicara empat mata dengan Naina di depan pintu utama kastil beberapa saat yang lalu, Tuan Minos masih belum bisa meredakan emosinya. Tampak jelas terlihat bahwa ekspresi mangkel terlukis pada wajahnya yang hancur.
Sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai, dagunya ia topang seraya menghadap pada tungku perapian. Inginnya menenangkan diri dan mendinginkan kepala, tapi yang terjadi justru emosinya memuncak hingga ubun-ubun.
Banyak kejadian yang masih jadi kemungkinan terlintas dalam kepala. Merasa kejadian yang masih belum pasti itu adalah sebuah ancaman baginya. Itu sebabnya Tuan Minos dengan tegas melarang Naina untuk pergi ke hutan, terlebih lagi jika bertemu dengan para binatang yang masih misterius asal-usulnya.
“Katamu gadis itu tidak terlihat oleh binatang buas, monster dan penyihir yang menghuni hutan?” tanya Tuan Minos memastikan. Melirik pada Tora dengan ekor mata.
Tora mengangguk. “Benar, Tuan. Aku sudah bertanya pada mereka semua, dan jawaban mereka sama persis. Mereka tidak pernah melihat Naina sekalipun, bahkan mereka tidak mengendus aroma manusia sama sekali.” Ia menjelaskan ulang agar lebih meyakinkan Tuannya.
“Situasinya jadi semakin rumit dan banyak kejanggalan.” Tuan Minos menyipitkan matanya, dagunya ia usap-usap. Pandangannya berubah menjadi penerawangan yang kemungkinan bisa terjadi.
“... Kau harus segera mencari tahu sebenarnya siapa para binatang berbulu putih itu. Aku tidak mau jika mereka memiliki niat jahat terselubung, bisa saja mereka mencuci otak gadis itu, mengiming-iminginya dengan sesuatu, dan jika aku lengah maka aku akan kehilangan lagi,” sambung Tuan Minos, kecemasan menyelimuti dirinya.
Mungkin masih belum menyadari atau mungkin apa yang sedang dilakukannya saat ini karena alasan lain, tapi apapun itu, untuk pertama kalinya Tuan Minos terlihat begitu mencemaskan seorang perempuan setelah sebelumnya amat masa bodo jika harus kehilangan lagi. Karena dengan mudah dirinya bisa mencari perempuan lain.
“Baik, Tuan. Besok sore aku akan kembali ke hutan, mencari keberadaan para binatang itu dan memantau mereka secara diam-diam,” balas Tora kemudian.
Memejamkan mata sejenak, Tuan Minos menjentikkan jari karena teringat hal lain yang akan disampaikan pada gagak tersebut. “Oh, ya, mulai sekarang aku izinkan kau menemani gadis itu setiap kali pergi ke bukit untuk mencari bunga mawar biru. Aku ingin tahu, ketika dia ditemani olehmu, apakah para binatang itu akan menunjukkan dirinya atau tidak.”
Lagi, Tora mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Perintahmu akan kulaksanakan dengan baik.”
***
Flashback~
Beberapa jam sebelumnya, detik-detik sebelum bola sihir Tuan Minos tidak bisa menangkap suara percakapan apapun yang menampilkan kejadian di mana Naina akan memasuki sebuah portal. Saat itu gadis dengan surai hitam panjangnya diajak mampir ke sebuah tempat.
Awalnya Naina menolak, dia tahu bagaimana konsekuensi ketika dirinya pulang dalam keadaan telat. Tapi setelah dibujuk berkali-kali oleh mereka, akhirnya Naina luluh.
Dalam senyap bola sihir yang tak mampu menyerap suara apapun, portal yang dimasuki Naina ternyata terhubung pada hutan lain. Hutan yang berbanding terbalik dengan hutan yang dipijakinya saat ini, hutan rimbun yang sejuk dan amat memanjakan mata karena penuh dengan macam-macam buah-buahan segar dan manis.
“Setelah sampai di sana, kau akan disambut oleh leluhur kami. Leluhur yang akan menjagamu dengan sihir indahnya. Menjagamu dari apapun yang berusaha mencelakaimu. Serta memberkahimu terhadap apa yang kau lakukan. Dan leluhur kami sudah sangat lama menunggu kedatanganmu,” ujar kuda putih bersayap, menjelaskan pada Naina.
Selepas diberitahu, Naina pun melangkah masuk ke dalam portal. Disusul satu per satu oleh para binatang yang ikut masuk juga untuk mengantar gadis tersebut.
Satu langkah kakinya masuk, Naina sudah berpindah tempat. Langsung dibuat takjub oleh keindahan alamnya, suasana dan pemandangannya jauh sekali dengan hutan yang memang selalu disebut hutan berbahaya oleh Tora.
“Indah sekali!” seloroh Naina kagum, matanya tidak bisa berkedip, matanya bergerak mengikuti pergerakan burung dengan ekor yang indah berlalu lalang di atas sana.
Uniknya, semua hewan di sini memiliki bulu putih. Apapun hewannya, bulu nya tetap sama. Putih yang melambangkan kesucian.
“Kita harus berjalan menuju tempat di mana leluhur berada, Naina. Di sepanjang perjalanan nanti, aku yakin kau akan lebih kagum lagi,” kata burung kakak tua yang hinggap di atas bahu gadis itu.
Naina mengangguk paham. “Kalau begitu, silakan pandu dan tuntun aku menuju tempat yang kalian maksud.”
Menyusuri hutan yang diselimuti kabut dingin, Naina tampak girang. Suasana dinginnya menyapa permukaan kulitnya, sedikit mengigil. Sesekali para hewan lain yang tak sengaja berpas-pasan dengannya memberi sapaan ramah, bahkan saking ramahnya mereka membungkuk seperti sedang hormat pada sang putri kerajaan.
“Naina,” panggil kuda putih yang setia berjalan beriringan di sampingnya.
Yang dipanggil pun menoleh, lalu menyahut, “Ya?”
“Kau bilang sering memimpikan kejadian aneh? Mimpi mengenai sepasang remaja yang belum pernah kau lihat ataupun kenal sebelumnya,” tanya kuda putih tersebut untuk memastikan.
Dan Naina mengangguk sebagai jawaban. “Benar, aku pun bingung siapa mereka. Berulang kali mereka mampir. Anehnya cerita mereka dalam mimpi itu tidak berbentuk. Layaknya kaset rusak yang dipaksa diputar. Terpotong-potong, berpindah-pindah, dan jika dipaksa mengingat semua itu membuat kepalaku sakit.”
“Mungkin setelah bertemu dengan leluhur kami, kau bisa mendapatkan jawaban dari mimpi aneh tersebut,” balas si kuda dengan wajah meyakinkan.
Naina manggut-manggut seraya tersenyum tipis. “Aku harap begitu.”
Setelah berjalan selama belasan menit, akhirnya mereka semua, termasuk Naina, sampai pada tempat yang dimaksud sebelumnya. Tempat yang benar-benar indah dari semua tempat yang sudah Naina lihat di hutan ini.
Ada danau di tengah hutan, dan satu pohon besar tumbuh di tengah-tengah danau tersebut. Pohon besar itu amat tinggi, menjulang menembus melebihi pohon lainnya. Seperti pohon besar di sana adalah jantung dari hutan ini.
“Mendekatlah pada pohon besar di sana. Kau bisa berjalan melewati danau itu karena airnya dangkal. Tunggu sebentar di sana sampai nanti ada rusa bertubuh raksasa muncul menyapamu, dia adalah leluhur kami. Tapi meski begitu, kau tidak perlu terlalu gugup,” kata kuda putih mengarahkan pada Naina.
Dan Naina yang sudah mengerti setelah mendapat penjelasan, langsung bergerak sesuai arahan. Perlahan kedua kakinya memasuki air jernih dari danau tersebut, sekumpulan ikan putih langsung mendatanginya berbondong-bondong.
Airnya sejuk dan menyegarkan, Naina merasa seluruh letih di tubuhnya terhempas begitu saja, membuat badannya kembali terasa segar dan enteng. Kedalaman airnya hanya sebatas betis orang dewasa.
Naina berhenti melangkah setelah jarak antara dirinya dengan pohon besar di depan sana hanya tersisa beberapa meter. Tidak akan naik ke permukaan sebelum mendapat perintah. Ketika menoleh untuk melihat para binatang yang mengantarnya tadi, anehnya mereka sudah hilang entah kemana.
Dan aliran darahnya berhenti seperkian detik ketika pandangannya sudah berbalik ke depan dan langsung beradu pandang dengan sesosok rusa besar dengan tanduk yang mirip seperti akar. Padahal Naina hanya menoleh sebentar ke belakang, tapi tanpa terendus gerak-geriknya, tahu-tahu rusa raksasa tersebut sudah menunjukkan diri.
“Selamat datang, Nona.” Rusa itu membungkuk hormat. Kemudian menatapnya kembali dengan tatapan penuh arti. “Senang akhirnya bisa melihatmu setelah sekian lama hanya bisa mendengar ceritamu saja dari mulut ke mulut.”
Naina mengerjap-ngerjap, tidak mengerti apa yang dimaksud dan dibicarakan oleh rusa tersebut.
“Karena pertemuan kita kali ini amat terbatas, dan aku tidak yakin bahwa kita bisa bertemu kembali, jadi izinkan aku untuk langsung membawamu ke dalam sebuah ritual,” ucapnya langsung pada intinya.
Dengan memasang wajah penuh bingung, Naina bertanya, “Ritual untuk apa?”
***