Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 16 ~
Sorenya, aku meminta ijin pada Lala untuk pulang dulu. Awalnya Lala tak mengijinkanku, tapi mbak Za serta mbak Kanes berhasil membujuknya, akhirnya meski dengan berat hati, Lala pun memberiku izin.
Tadi mas Bima juga sempat mengabariku kalau dia akan pulang selepas maghrib. Entah ada pekerjaan apa, dia tak memberitahuku secara gamblang, akupun tak berani bertanya lebih jauh.
Karena hal itulah, pikiranku mendadak kacau, bayangan pertemuan mas Bima dengan Gesya dan wanita lain yang tak ku tahu siapa namanya pun mendadak terlintas dalam ingatanku. Namun, sebisa mungkin aku menepis pikiran burukku dan berusaha khusnudzon pada mas Bima.
Tentang perjanjian itu, jika memang sudah tidak berlaku, kenapa mas Bima membahasnya dan mengatakan secara terang-terangan di depanku? Apakah dia ingin mengingatkanku bahwa dia memang tak akan pernah menerimaku sebagai istrinya? Atau apakah itu sebuah kode supaya aku berinisiatif mundur?
Ku hela nafasku sambil terus menerka-nerka apa maksudnya, hingga beberapa detik beralih, ingatanku kembali singgah pada masa-masa di mana aku sangat mengagumi mas bima dan menyebutnya sebagai cinta pertamaku.
Dulu, mas Bima yang menurutku ceria, humoris, dan suka menolong, namun agak sedikit nakal, perokok dan suka ugal-ugalan, sekarang tumbuh menjadi pria dewasa yang pembawaannya tak sama dengan ingatanku saat dulu. Selain pria yang bertanggung jawab pada pekerjaan dan keluarganya, dia juga menjadi ayah yang bijaksana untuk Lala.
Jujur, dua tahun hidup bersama, rasa kagum dan cintaku untuk mas Bima semakin besar, tapi ketika melihat bagaimana cueknya dia padaku, otomatis membuat kepercayaan diriku menyusut.
Larut dalam lamunan, tak terasa mobil mami yang ku tumpangi sudah berada di depan gerbang rumah mas Bima.
Aku menghembuskan napas panjang seraya melepas seatbelt, kemudian menoleh ke samping kiri dan meraih punggung tangan mami.
"Beneran mami nggak mampir?" Aku memastikan dengan bertanya usai menyalami dan mengecup tangannya.
"Nggak Bi, papi sebentar lagi pulang, kasihan nanti kalau nggak ada mami"
"Ya sudah, mami hati-hati ya!"
"Iya sayang"
Sebelum membuka pintu mobil, aku menatap ke arah pak Herman, sopir papi yang sudah bekerja cukup lama. "Hati-hati pak"
"Siap mbak!"
Aku turun, masih berdiri di luar pagar menatap mobil mami yang melaju kian jauh, sampai mobil itu tak terlihat, barulah aku memencet bel dan tak lama kemudian mas Jim membukanya untukku.
"Loh, bu Arimbi?" kagetnya begitu sebagian gerbang terbuka.
"Assalamu'alaikum, mas Jim"
"Wa'alaikumsalam, di antar siapa bu?" Mata mas Jim mengedar.
"Sopirnya papi"
Begitu masuk, netraku langsung menangkap mobil mas Bima yang terparkir di halaman rumah.
"Ayahnya Lala sudah pulang, mas?"
"Belum bu"
"Kok mobilnya ada di rumah?"
"Tadi pagi bawa CBRnya bu, katanya sudah siang, takut kena macet jadinya bawa motor besarnya"
"Oh" sahutku lalu mengatupkan bibir. "Saya masuk dulu, mas Jim"
"Mangga bu!"
Satpam di rumah kami memang masih muda. Usianya baru dua puluh dua tahun, tapi memiliki tubuh yang athletis. Selain itu, dia juga sopan dan ramah, itu sebabnya mas Bima memilihnya.
Saat memasuki rumah, waktu sudah menunjukan pukul empat sore, aku langsung mengumpulkan pakaian kotor untuk ku cuci. Setelah itu, membersihkan rumah dan terakhir memasak untuk makan malam.
Sebelum menaiki tangga menuju ke kamarku, aku menatap kamar mas Bima yang pintunya tertutup rapat.
Memberanikan diri, aku membuka pintu yang tak terkunci. Kamarnya cukup rapi untuk ukuran seorang pria sibuk seperti mas Bima. Aku yang tak pernah di ijinkan membersihkan kamarnya, tak pernah tahu ada apa saja di dalamnya, sebab aku masuk hanya untuk mengambil pakaian kotor, dan meletakan pakaian bersih yang sudah ku setrika, itupun satu minggu hanya tiga atau empat kali.
Mendesah pelan, aku kembali menutup pintunya.
****
Ku tatap diriku sendiri melalui pantulan cermin yang terlihat aneh dengan gaun tipis seatas lutut.
Gaun berwarna mocca ini sangat transparan, bahkan memperlihatkan pakaian dalamku dengan sangat jelas.
"Aku pasti sudah gila" Aku bergumam lirih dengan pandangan lurus ke arah kaca.
Sedetik kemudian, ku lepaskan gaun yang melekat di tubuhku.
"Aku tidak mau pakai,, ini memalukan!"
Baru saja akan mengangkat tanganku, tiba-tiba seperti ada yang mencegahku agar tak melepas kain ini.
Mengurungkan niat, aku kembali mengenakannya.
Lebih baik ku coba saja, aku janji ini pertama dan terakhir memakainya. Aku tidak mau menggodanya lagi di lain waktu jika mas Bima menolakku.
Selepas sholat maghrib, aku mengirim pesan pada mas Bima.
"Pulang jam berapa, mas?" (18:15 WIB )
Tak menunggu lama, aku sudah mendapat balasannya.
Mas Bima : "Tiga puluh menit lagi sampai, ini lagi di tengah jalan baru selesai numpang sholat di masjid" (18:16 Wib)
Membaca pesannya, jantungku mendadak bertalu-talu. Ini pertama kalinya mas Bima memberikan alasan saat aku bertanya pulang jam berapa. Biasanya dia hanya membalas 'Jam tiga' atau 'satu jam lagi sampai' atau malah nggak balas sama sekali.
Menarik napas, aku membuangnya secara perlahan. Sembari menormalkan ekspresiku, aku menuruni anak tangga dengan pakaian bernama lingerie. Akan ku tunggu mas Bima sambil mencuci peralatan bekas masak yang belum sempat ku cuci tadi.____
Tiga puluh menit berlalu...
"Astaghfurullah" pekikku bersamaan dengan wajan yang terlepas dari tanganku ketika mencucinya di westafle.
Sosok mas Bima tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dengan mengunci tubuhku.
Aku menahan napas, sambil berusaha menormalkan detak jantungku yang meliar.
"Kamu nggak sadar, aku sudah duduk di kursi makan sejak lima menit yang lalu?"
Suaranya sangat dekat berada tepat di telinga kananku.
"M-mas"
Masih berada di posisi yang sama, kedua tangan mas Bima terulur lalu membuka kran air dan membantuku membersihkan busa sabun yang melumuri tanganku.
Tak ada suara apapun kecuali air mengalir yang berasal dari saluran kran di tempat pencucian piring.
Setelah tanganku bersih dari busa sabun, satu tangan mas Bima meraih handuk kecil untuk mengeringkan tanganku sekaligus tangannya.
Pelan, ia memutar tubuhku agar aku menghadapnya.
Karena tinggi level kami berbeda sekitar sepuluh hingga lima belas senti, aku hanya bisa menatap bidang dadanya yang masih berbalut pakaian dinas harian.
Di kening, bisa ku rasakan terpaan nafas dari rongga hidung mas Bima.
Ini gila...
Maksudku detak jantungku yang gila.
Bersambung..
Pagi ini langsung dua bab...
Doain semoga saya khilaf.. Entar sore bisa update lagi..
Kalau nggak update berarti doa kalian nggak khusyu 😀😀😀
Semangat berkarya