Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8. Nasehat Dean•
#8
Sebelum berlanjut, othor mau flashback sejenak tentang silsilah keluarga Geraldy, karena belakangan ini othor mulai mumet, alias liuer, alias ngelu, alias merasa jompo karena lupa sama tulisan sendiri. 🤭
Alexander Geraldy menikah dengan Stella Marissa William, dan memiliki tiga anak. Kevin, Andre, dan Emira.
Kevin menikah dengan Gadisya Kinanti, dan memiliki 5 anak, dua anak kembar mereka meninggal dalam kandungan, dan tiga anak kembar mereka lahir dengan selamat, mereka adalah Daniel, Darren, dan Luna.
Dari ketiga anak kembar Kevin dan Gadisya, yang menikah di usia muda adalah Darren yang terpaksa menikahi Cahaya Dihyani, karena sudah terlanjur hamil. Anggaplah saat itu usianya di rentang 19 atau 20 tahun, berpisah setelah Aya keguguran, rujuk 5 tahun kemudian, dan memiliki anak bernama Ryuga.
Daniel menikah dengan Nayara Kamila, dan memiliki tiga anak. Sepasang anak kembar Kian dan Kai, lalu adik mereka Ezio lahir setahun kemudian.
Luna menikah dengan Evander Gunadi, memiliki 1 anak sambung, yakni keponakan Evan yang bernama Pelangi. Sementara anak kandung mereka sendiri ada 3, sepasang anak kembar laki-laki bernama Gavin dan Gian. Mereka juga memiliki seorang adik perempuan bernama Alexa, yang lahir 2 tahun kemudian.
Lanjut ke anak kembar Alexander yang kedua. Bernama Andre, yang menikah dengan sahabatnya Bellinda Roger Smith. Mereka memiliki sepasang anak kembar bernama Dean dan Danesh.
Dean menikah dengan Celine di London, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Aaron. Tapi pernikahan mereka hanya bertahan hingga Aaron berusia 12 tahun. Kemudian Dean kembali menikah dengan Adhisty dan memiliki seorang anak perempuan bernama Mayra.
Dan Danesh sedang berjalan nopelnya.
Lalu anak ke tiga Alexander adalah Emira, yang menikah dengan Arjuna Satrio Dewanto. Mereka memiliki dua anak laki laki bernama Kenzo Alexander Dewanto, dan Leonardo Alexander Dewanto. (Ceritanya belum dibuat🤣 jadi jangan pada nanya yah?)
Okey, kalau ada silsilah yang salah, tolong komentar ya 🤭.
Sekarang kita lanjut perkara salaman 🤧
•••
Dean segera menarik tangannya usai bersalaman, tak lebih dan tak kurang, terlebih setelah mendengar sindiran adik kembarnya.
Dean paham apa yang Danesh rasakan, sebelumnya Renata direbut secara paksa, bahkan tak ada restu dari opa Alex serta kedua orang tua mereka. Dan pada saat itu Danesh tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya menerima, segala upayanya pun gagal total, bahkan berakhir koma di Rumah Sakit.
Kini Danesh pasti mulai merasa bahwa wanita yang sedang mengandung anaknya, adalah miliknya, instingnya sebagai Pria mulai bangkit untuk mempertahankan apa yang sudah dicap sebagai miliknya.
Jadilah ia bereaksi walau Dhera hanya bersalaman dengan Dean, yang notabene adalah kakak kembarnya.
Dean tersenyum mencibir, sementara Danesh bersungut-sungut masuk kembali ke toilet untuk berganti pakaian. Dan ketika keluar, pria itu melihat Dean tengah melepas infus di lengan Dhera, “Hei, kenapa di lepas?” protes Danesh.
“Karena Dhera sudah tak memerlukan ini, dia bisa menggantinya dengan memakan makanan bergizi.” Dean menjawab tanpa menatap pada Danesh, karena kedua tangannya sibuk dengan jarum infus yang sedang ditarik keluar dari dalam kulit lengan Dhera.
“Dia bilang mual, jika makan,” bantah Danesh.
“Nggak, Dok, Aku bisa makan kok, tuh lihat, aku habiskan semua sarapanku.” Dhera memuntahkan ucapan Danesh, karena ia tak nyaman berada di Rumah sakit terlalu lama.
“Tuh, dengar sendiri kan? Lagi pula jika Dhera tak mau makan, itu menjadi tugasmu memikirkan cara bagaimana supaya Dhera mau makan.” Setelah jarum terlepas, Dean memasang plester untuk menutup luka bekas jarum infus di lengan Dhera. “Mungkin, salah satu caranya adalah pergi dari hidup Dhera,” gurau Dean.
“YAK!! KAMU BERSEKONGKOL DENGAN WANITA INI RUPANYA!!” Danesh tersulut emosi, anehnya Dhera menikmati kemarahan pria itu.
“Terima kasih, Dok.” Sama halnya dengan Dean, Dhera pun mengabaikan kemarahan konyol Danesh.
Dean hanya membalas ucapan Dhera dengan sebaris senyuman, kemudian mengusap puncak kepala Dhera. “Bagus, makanlah yang banyak, Aku mau keponakanku lahir dengan sehat dan selamat,” puji Dean, membuat Dhera senang, karena Dean tak menyuruhnya menginap lagi di Rumah Sakit.
“Jauhkan tanganmu!! Dan Kau kenapa tersenyum kepadanya, kalau di depanku kamu tak pernah begitu?!” protes Danesh.
Bukannya menjawab, Dhera justru memanyunkan bibirnya.
“Sekarang Giliranmu,” kata Dean sembari mengganti sarung tangan baru, ia berjalan menghampiri Danesh yang masih sibuk menggulung lengan kemejanya. Sementara perawat yang menyelesaikan pekerjaan Dean, seperti membereskan selang dan kantong infusan Dhera.
“Tak mau,” jawab Danesh kesal.
“Aku hanya bergurau, kenapa sekarang, selera humormu jadi payah begini?”
“Aku?”
“Iya,” jawab Dean, seraya mendudukkan Danesh di sofa.
“Entah,” jawab Danesh, padahal katanya ia tak memiliki rasa pada Dhera, tapi hanya mendengar celetukan kecil saja, ia sudah tersulut emosi.
Dean mengambil kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol, kemudian mulai melepas plester yang menutup luka jahitan di lengan Danesh.
“Ah … ah … perih,” ringis Danesh, ketika Dean mulai mengoles obat di atas luka tersebut.
“Seperti baru pertama terluka saja, tahan sedikit!” omel Dean, tak menyangka jika Danesh secengeng ini, “atau Kamu sengaja berbuat begini, demi menarik perhatian Dhera?” bisik Dean tanpa terdengar di telinga Dhera.
Seketika Dean mendapat lirikan tajam, serta umpatan tanpa kata dari adik kembarnya. “Kenapa marah? Jika itu membuat urusan cintamu menjadi lancar, lakukan saja. Bukankah beberapa bulan lalu Kamu bahkan tak bisa makan selama seminggu setelah Renata meninggal?”
Danesh akui itu, namun itu hanya sesaat, karena ternyata ia lebih panik ketika sama sekali tak mendengar kabar dari Dhera selain ucapan selamat tinggal.
Degh!
Dan malam itu, ketika di helikopter, Dhera melihatnya menangis, meraung, bahkan ingin ikut melompat menyusul Renata. Padahal beberapa jam sebelumnya Danesh mengatakan, setelah misi selesai ia akan mengejar Dhera tak peduli apapun yang terjadi.
“Sepertinya kini Aku tahu alasan Dhera pergi dariku,” gumam Danesh pelan, sembari menatap tirai yang tertutup, karena perawat sedang membantu Dhera berganti pakaian.
Dean menyelesaikan pekerjaannya beberapa saat kemudian, “Kenapa? Apa karena kebodohanmu juga? Hingga alasannya untuk menolak lamaranmu semakin kuat?”
Danesh mengangguk. “Hmm, sepertinya begitu, tapi dia tak mencintaiku, maksudku kami sama-sama belum merasakan cinta.”
Sepertinya Danesh menemukan orang yang tepat, jika bicara urusan cinta. “Kejar dia sebagaimana dulu kamu berusaha keras mendapatkan hati Renata. Tapi, jangan pernah menyamakan Renata dengan Dhera, Aku yakin, di belahan bumi manapun, tak ada satupun wanita yang suka bila disamakan, atau lebih parahnya lagi dibandingkan dengan wanita-wanita dari masa lalu pasangannya.”
Walau Dean bicara sambil berbisik, namun Danesh mendengar serta mencernanya dengan baik. “Karena itu sama halnya dengan menjemput maut,” imbuh Dean.
Danesh melotot menatap Dean. “Tak percaya? Coba saja, aku jamin usia pernikahanmu kelak, tak akan sampai 24 jam.”
Danesh menelan ludah dengan susah payah, ia bergidik ngeri mendengar kalimat terakhir Dean, jika pasangannya wanita biasa, mungkin hanya pernikahan saja yang berakhir. Tapi jika wanitanya semacam Dhera mungkin bukan cuma pernikahannya yang berakhir, tapi juga usia hidupnya.
Tirai yang menutupi aktivitas Dhera, kini di buka oleh perawat, Dean membereskan peralatannya, kemudian berdiri, “Kalian bisa langsung pulang sekarang,” titah Dean.
Kalimat itu disambut Dhera dengan wajah berbinar, walau kemudian ia mulai membayangkan, betapa sulit pergerakannya nanti ketika di rumah. “Ingat nasehatku tadi!”
“Iya … dasar bawel!”
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu, kemudian disusul kedatangan seseorang, membuat Dhera tersenyum cerah menyambut kedatangan mereka.