Namanya Tegar, pemuda dengan pembawaan ceria tapi hatinya penuh dengan dendam.
Di depan kedua matanya, Tegar kecil harus menyaksikan kedua orang tua meregang nyawa dan kakaknya digilir di rumahnya sendiri, oleh sekelompok orang.
Yang lebih menyakitkan, para penegak hukum justru tunduk pada orang-orang tersebut, membuat dendam itu semakin dalam dan melebar.
Beruntung, Tegar mendapat keajaiban. Sebuah sistem dengan misi layaknya pesugihan, Tegar menemukan jalan yang bisa dia gunakan untuk melampiaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersandiwara
"Mutia Maharani?" Dari raut wajahnya, Tegar nampak seperti sedang berpikir. Tapi di dalam benaknya, tumbuh banyak pertanyaan serta rasa penasaran terhadap dua pria yang baru saja menyebut nama kakaknya.
"Kurang tahu loh, Bang," akhirnya Tegar memutuskan untuk bersandiwara agar bisa menyelidiki, siapa dua pria tersebut. "Kayanya di daerah sini nggak ada yang namanya Mutia Maharani. Ciri-cirinya gimana, Bang?"
"Aduh, kita kurang tahu, Bang," balas pria yang sama. "Kita cuma dikasih tahu tempat ini aja. Dari informasi yang kita dengar, Mutia Maharani sendiri katanya sudah meninggal sejak lama, tapi adiknya masih ada."
"Oh..." Tegar mengangguk beberapa. Rasa penasarannya semakin menjadi. "Kalau itu aku kurang tahu ya, Bang. Emang masnya tahu alamat ini dari mana?"
Di saat pria tersebut hendak memberi jawaban, secara mengejutkan, rekannya justru menepuk pundak pria itu. Ketika pria itu menoleh, rekannya langsung memberi kode yang Tegar sendiri agak paham dengan kode yang diberikan.
"Ditanya baik-baik malah sikapnya mencurigakan," gerutu Tegar dengan santainya dan dia kembali menikmati hidangannya. Sedangkan kedua pria itu hanya menatapnya.
Di saat itu juga si penjual datang dan dia agak kaget karena ada pembeli lain di sana. Si penjual pun langsung memberi penawaran pada dua pria tersebut.
Tegar masih asyik dengan makanannya yang hampir habis. Dia sengaja berlama-lama di sana, karena masih penasaran dengan dua pria yang memilih memesan kopi.
Dilihat dari penampilannya, firasat Tegar mengatakan kalau dua orang itu kemungkinan orang suruhannya Gunawan. Seketika Tegar pun berpikir untuk melakukan sesuatu.
Beberapa detik kemudian, Tegar menemukan ide. Dia segera merogoh ponselnya dan melakukan panggilan palsu.
"Hallo Ri, sorry nih baru jawab," ujar Tegar. "Aku nggak punya videonya, Ri. Coba tanya yang lain, kali aja punya. Hati-hati tapi loh, soalnya itu video anaknya pemilik Kobam grup."
Tiga pasang telinga yang mendengar aksi sandiwara Tegar langsung menoleh ke arah pemuda itu.
"Kamu suka nonton video kaya gitu, Gar?" tanya si penjual begitu Tegar mengakhiri sandiwaranya.
"Video apa, Bu?" Tegar pura-pura tidak mengerti.
"Itu, video anaknya pemilik Kobam grup."
Mendengar nama Kobam grup disebut, dua pria itu memilih tetap diam tapi saling memberi kode untuk mendengar obrolan Tegar dan si penjual.
"Oh yang itu? Nggak lah, Bu, buat apa," sudah pasti Tegar harus berdusta.
"Benar-benar nggak ada moral. Mentang-mentang anak orang kaya bisa-bisanya mengadakan pesta kaya gitu. Pakai direkam segala lagi. Benar-benar rusak generasi muda sekarang," si penjual malah ngomel-ngomel sambil mengeringkan piring yang baru dicuci.
"Namanya juga orang kaya, Bu. Karena banyak uang, mereka bebas melakukan apapun sesuka mereka," Tegar menimpali. "Kalau diusut, paling mereka cuma disuruh minta maaf doang. Nggak bakalan mungkin kena hukuman."
"Benar, bikin muak aja," Ibu penjual menjadi kesal sendiri. "Nanti kalau dikatain wanita murah meriah nggak terima, padahal dari video aja udah jelas kalau tubuhnya digratisin banyak laki-laki."
"Maaf, Bu, lebih baik Ibu jaga omongannya," tiba-tiba salah satu dari pria kekar memberi peringatan. "Jangan sampai ucapan anda, nanti didengar pemilik Kobam grup, Ibu bisa dalam masalah besar.
Sontak saja Ibu si penjual terkejut mendengarnya. Berbeda dengan Tegar, yang diam-diam tersenyum sinis karena terkaanya merasa benar.
"Emang siapa yang bakalan menyampaikan ke pemilik Kobam grup, Bang?" Kali ini giliran dua pria itu yang dibuat terkejut, mendengar pertanyaan dari pemuda di sisi kanan mereka.
"Nah iya, emang siapa yang bakalan menyampaikan ke sana?" Ibu penjual pun merasa bingung. "Nggak mungkin kalian kan?"
"Ya nggak mungkin," salah satu pria langsung membantahnya. "Kali aja, ada yang dengar, terus nanti sampai ke telinga orang kaya itu. Bukankah itu bisa bahaya buat itu?"
Ibu penjual hanya mencebikan bibirnya.
"Kalau ucapan Ibu sampai ke telinga pemilik Kobam grup, paling juga kalian yang ngadu," celetuk Tegar. "Kalian kan bukan orang daerah sini."
Kedua orang itu terperanjat dan mereka langsung melempar pandangan pada Tegar.
"Nah iya!" seru Ibu penjual gorengan. "Kalian sih datang darimana? Saya baru lihat wajah-wajah kalian ini."
Seketika mereka salah tingkah dan saling pandang satu sama lain.
"Kami dari kota, Bu," jawab salah satunya. "Kebetulan, kami ke sini sedang mencari alamat saudara kami."
"Saudara?" Kali ini giliran Tegar yang terkejut.
"Emang nama saudaranya siapa?" tanya Ibu penjual. "Masa rumah saudara sendiri tidak tahu."
Kedua pria itu kembali saling tatap. Sedangkan Tegar dan si penjual terus memperhatikan gerak-gerik keduanya.
"Ya udah, Bu? Semuanya jadi berapa?" Secara mengejutkan, salah satu dari pria itu malah memilih bangkit dan merogoh dompetnya.
"Emang makan apa aja?" Ibu penjual melempar tanya balik meski dia agak heran dengan sikap dua pembeli itu.
"Cuma gorengan enam biji."
Si penjual mengangguk, lalu dia menghitung dan.mengatakan totalnya. Salah satu dari pria itu mengeluarkan sejumlah uang sembari meminta rokok satu beserta koreknya.
"Kembaliannya buat dia aja." Setelah menerima barang yang diminta, pria itu berkata sambil menunjuk ke arah Tegar.
Tegar jelas kaget. Di saat dia menolak, kedua pria itu malah pergi dan tidak mempedulikan teriakan Tegar.
"Udah, biarin, rejeki kamu ini," ucap si penjual kegirangan. Tegar pun membalasnya hanya dengan senyuman.
Di saat Tegar hendak duduk kembali, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Tegar pun mengurungkan niatnya dan dia segera merogoh sakunya, mengambil uang yang sudah disiapkan untuk membayarnya.
"Loh, apa ini?" Ibu penjual kaget kala Tegar menyodorkan sejumlah uang. "Kan tadi kamu udah dibayarin oleh orang itu."
"Uang kembalian orang itu buat Ibu aja," Tegar meletakkan uangnya di atas sebuah toples kemudian bergegas pergi, meninggalkan warung.
"Eh, Tegar! Ini kembaliannya!"
"Buat Ibu aja!" Tegar segera menyalakan mesin motornya menuju ke rumah.
"Nah kan, benar dugaanku," ucap Tegar, begitu dia hampir memasuki gang yang menuju rumahnya. Di sana dia melihat dua orang yang tadi berada di warung, kini sudah dekat dengan rumahnya.
"Za, Fiza, kamu dimana?"
"Di sini, Tuan, ada apa?"
"Ada tugas buat kamu?"
"Tugas apa, Tuan?"
Tegar segera mengatakan idenya yang baru saja dia temukan saat perjalanan menuju rumahnya.
"Baik, Tuan, saya akan melaksanakannya," ucap Fiza setelah Tegas selesai berbicara.
"Ya sudah, sana berangkat."
"Baik, Tuan!"
Senyum Tegar seketika terkembang. "Aku yakin, kalian itu suruhannya Gunawan. Ternyata kalian memakan umpanku dengan cepat."
lanjut thor