NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 08

Sartika terus berlari di tengah malam yang sunyi. Kakinya mulai gemetar, tubuhnya terasa lemas, dan perutnya perih karena lapar. Sejak naik mobil travel tadi, ia belum makan apa pun. Ditambah dengan pelarian yang menguras tenaga, rasa lapar itu semakin menusuk.

Ia berhenti sejenak di sudut gang, bersandar di tembok yang dingin. Napasnya tersengal-sengal, tangannya yang berdarah sedikit bergetar. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi tubuhnya mulai melemah.

"Dinda…" gumamnya lirih, mengingat anaknya yang entah kapan bisa ia temui lagi.

Matanya berkeliling, mencari sesuatu, tempat untuk berlindung, seseorang yang bisa ia mintai pertolongan, atau setidaknya sesuatu yang bisa dimakan.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah warung kecil yang masih buka. Lampunya remang-remang, seorang pria tua duduk di belakang meja, tampak sibuk menghitung uang receh.

Sartika menggigit bibirnya. Ia tidak punya uang. Sri telah merampas semuanya.

Ia melangkah mendekat, dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian. Dari balik jendela kecil warung itu, ia melihat beberapa gorengan masih tersisa di etalase kaca.

Perutnya semakin berteriak minta diisi.

Ia menelan ludah, lalu dengan ragu-ragu, ia mendekati pria tua itu. "Permisi, Pak…" suaranya serak, hampir tidak terdengar.

Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Sartika dengan mata penuh tanya. "Iya, Nak? Mau beli apa?"

Sartika menunduk, merasa malu. "Saya… saya tidak punya uang. Tapi saya sangat lapar. Apa Bapak punya sisa makanan…?"

Pria tua itu terdiam sejenak, menatap Sartika yang berantakan, pakaian yang tidak pantas, tangan yang terluka, wajah yang tampak kelelahan dan penuh ketakutan.

Ia menghela napas, lalu mengambil dua potong gorengan dari etalase. "Makanlah," katanya, menyerahkan gorengan itu.

Sartika menatap makanan itu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Pak… terima kasih banyak…"

Ia segera melahap gorengan itu dengan lahap, tanpa peduli panasnya yang masih mengepul. Setiap gigitan terasa seperti penyelamat di tengah penderitaannya.

Pria tua itu mengamatinya dengan tatapan iba. "Nak, kau kenapa? Kau lari dari sesuatu?" tanyanya hati-hati.

Sartika terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia jujur? Atau lebih baik diam?

Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara derap langkah terdengar dari ujung jalan.

Jantung Sartika berdegup kencang.

Mereka mencarinya.

Pria tua itu sepertinya menyadari sesuatu. Ia menatap Sartika sebentar, lalu dengan cepat berkata, "Masuk ke dalam. Sembunyi dulu."

Sartika menatapnya dengan ragu. "Tapi... "

"Sudah! Cepat!"

Tanpa berpikir panjang, Sartika segera masuk ke dalam warung kecil itu, bersembunyi di balik tirai kain yang menggantung di belakang meja.

Dari balik kain, ia bisa mendengar suara berat seorang pria bertanya, "Pak, ada lihat perempuan lewat sini?"

Pria tua itu menjawab dengan tenang, "Tidak ada, Nak. Sejak tadi warung sepi."

Hening sejenak.

Lalu, suara langkah itu menjauh.

Sartika menutup mulutnya, menahan napas. Tetap bersembunyi di balik tirai, menunggu sampai suara langkah-langkah itu benar-benar menghilang. Dadanya masih naik turun dengan cepat, jantungnya berdebar keras.

Pria tua itu melongok ke luar, memastikan bahwa jalan sudah kembali sepi. Lalu, ia berbalik dan menyingkap tirai sedikit. "Mereka sudah pergi," bisiknya.

Sartika menghembuskan napas lega, tapi tubuhnya masih gemetar. "Terima kasih, Pak… Kalau Bapak nggak nolong saya, entah apa yang terjadi."

Pria tua itu duduk di kursinya, menatap Sartika dengan sorot mata penuh iba. "Siapa mereka? Kau dikejar-kejar?"

Sartika menunduk, menggenggam jemarinya sendiri. Ia ragu-ragu, tapi setelah apa yang pria ini lakukan untuknya, ia merasa bisa sedikit percaya.

"Saya… tertipu, Pak," suaranya bergetar.

"Saya pikir saya akan bekerja di luar negeri untuk kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata… mereka ingin menjual saya."

Pria itu menghela napas panjang. Ia menatap Sartika dengan lebih dalam, lalu mengangguk pelan. "Aku sudah sering dengar cerita seperti ini…"

Ia bangkit dan berjalan ke dalam, lalu kembali dengan segelas air putih. "Minumlah dulu," katanya.

Sartika menerimanya dengan tangan gemetar dan segera meminum setengah gelas. Air itu sedikit mengurangi ketegangan di tubuhnya.

"Kau mau ke mana sekarang?" tanya pria itu.

Pertanyaan itu membuat Sartika terdiam. Ia tidak tahu. Ia bahkan tidak tahu kota ini dengan baik. Ia hanya ingin kabur, ingin selamat. Tapi ke mana?

"Saya nggak tahu, Pak…" suaranya hampir tidak terdengar. "Saya nggak punya uang, nggak punya siapa-siapa di sini."

Pria itu termenung. Lalu, dengan suara tenang, ia berkata, "Kalau kau mau, kau bisa tinggal di sini dulu. Warung ini memang kecil, tapi ada ruang di belakang. Setidaknya kau bisa tidur dengan aman malam ini."

Sartika terkejut. "Bapak serius?"

Pria itu mengangguk. "Aku sudah tua, Nak. Hidup ini sudah cukup berat, kalau kita bisa saling membantu, kenapa tidak?"

Mata Sartika kembali berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya sejak ia melarikan diri, ia merasa sedikit aman.

"Terima kasih, Pak… Saya nggak tahu bagaimana harus membalasnya."

Pria tua itu tersenyum tipis. "Bertahanlah. Itu sudah cukup."

Sartika mengangguk, lalu mengikuti pria itu masuk ke ruangan kecil di belakang warung.

Ia duduk di atas tikar lusuh, tubuhnya terasa lengket dan lelah setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding kayu, mencoba menenangkan pikirannya, tetapi rasa tidak nyaman di tubuhnya semakin membuatnya gelisah.

Ia menoleh ke pria tua yang duduk di kursi dekat pintu. "Pak, apa di sini ada kamar mandi? Saya ingin bersih-bersih."

Pria itu mengangguk. "Ada di belakang warung, tapi airnya pakai sumur. Kalau kau tidak keberatan, aku bisa ambilkan air untukmu."

Sartika tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa ambil sendiri."

Pria itu berdiri dan berjalan keluar, lalu menunjuk ke sebuah sumur kecil di halaman belakang yang tertutup pagar kayu sederhana. "Ini tempatnya. Ember dan gayung ada di situ. Kalau butuh kain untuk ganti, ada beberapa pakaian bekas yang mungkin bisa kau pakai sementara."

Sartika mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, Pak."

Ia mengambil seember air dari sumur, lalu masuk ke kamar mandi kecil yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Meski sederhana, tempat itu cukup tertutup untuk memberinya sedikit privasi.

Saat air dingin menyentuh kulitnya, Sartika menghela napas panjang. Rasa lengket dan lelah di tubuhnya perlahan mulai hilang. Ia menggosok tangannya yang masih kotor dan melihat bekas cakaran halus di pergelangan tangannya, bekas perjuangannya saat berusaha kabur dari jeratan Sri dan orang-orangnya.

Air terus mengalir di tubuhnya, membawa serta sisa-sisa debu dan keringat. Namun, meski tubuhnya kini lebih bersih, pikirannya tetap penuh dengan kekhawatiran.

Ke mana ia harus pergi setelah ini? Bagaimana jika Sri dan orang-orangnya masih mencarinya?

Dan yang paling menyakitkan… bagaimana dengan Dinda?

Sartika menutup matanya, membiarkan air membasahi wajahnya. Ia harus bertahan. Untuk dirinya sendiri. Untuk anaknya.

Selesai mandi, ia mengenakan pakaian bekas yang diberikan pria tua itu,.kaus longgar dan celana kain yang sedikit kebesaran. Meski sederhana, pakaian itu terasa jauh lebih nyaman dibandingkan pakaian yang sebelumnya dipaksakan kepadanya.

Ia kembali ke dalam warung dengan rambut masih setengah basah. Pria tua itu sedang duduk di bangku kayu, menyesap kopi dari cangkir kecil.

"Kau terlihat lebih segar," katanya dengan senyum ramah.

Sartika membalas senyumnya. "Iya, terima kasih, Pak."

Pria itu menatapnya sebentar, lalu berkata, "Kau mau makan? Aku tidak punya banyak, tapi ada sedikit nasi dan sayur sederhana."

Mata Sartika sedikit berbinar. Perutnya memang sudah sejak tadi terasa kosong.

"Kalau Bapak tidak keberatan… saya mau."

Pria tua itu mengangguk, lalu berjalan ke dapur kecil di samping warung. Sartika mengikutinya, merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada sedikit kehangatan di tengah situasi sulit yang ia hadapi.

Pria tua itu mengangkat tudung saji dari meja kayu kecil, memperlihatkan sepiring nasi dengan sayur bening dan sepotong tempe goreng. Aromanya sederhana, tapi bagi Sartika, itu terasa seperti makanan paling lezat yang pernah ia lihat dalam beberapa hari terakhir.

"Silakan makan, Nak," kata pria itu sambil menyerahkan sendok padanya.

Sartika duduk di bangku kayu dan mengambil sesendok nasi. Begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, ia hampir menitikkan air mata. Bukan karena rasa makanannya luar biasa, tetapi karena kehangatan yang datang bersamanya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Pria tua itu duduk di seberang meja, menyesap kopinya sambil mengawasi Sartika makan. Setelah beberapa saat hening, ia bertanya, "Kau dari mana, Nak? Sepertinya kau mengalami sesuatu yang tidak mudah."

Sartika terdiam sejenak, merasakan beban pertanyaan itu. Ia bisa saja berbohong, tapi pria ini telah membantunya tanpa bertanya banyak.

"Saya… ingin mencari kehidupan yang lebih baik, Pak. Tapi saya salah jalan," katanya pelan, menatap piringnya.

Pria itu mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu mendengar detailnya. "Dunia ini memang keras untuk orang-orang seperti kita. Tapi kau masih punya pilihan, Nak. Jangan biarkan orang lain menentukan nasibmu."

Kata-kata itu membuat Sartika terdiam. Ia berpikir tentang semua yang terjadi, tentang bagaimana Sri memperdayanya, bagaimana ia hampir kehilangan kebebasannya, dan bagaimana ia kini duduk di sini, di warung kecil bersama seorang pria asing yang lebih peduli padanya dibanding orang-orang yang ia percayai sebelumnya.

Setelah menghabiskan makanannya, Sartika menghela napas panjang. Ia harus segera memikirkan langkah selanjutnya.

"Pak… apakah ada kendaraan yang bisa membawa saya keluar dari daerah ini?" tanyanya, berharap ada jalan keluar.

Pria tua itu mengusap janggutnya, berpikir sejenak. "Ada. Besok pagi, biasanya ada truk sayur yang berangkat ke kota. Kau bisa ikut menumpang, kalau supirnya berkenan."

Harapan mulai muncul di hati Sartika. Jika ia bisa sampai ke kota, mungkin ia bisa mencari jalan untuk pulang… atau setidaknya, mencari tempat yang lebih aman.

"Makasih, Pak. Saya benar-benar berterima kasih," katanya tulus.

Pria itu tersenyum. "Istirahatlah dulu malam ini. Besok, kita lihat apa yang bisa kita lakukan."

Sartika mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa ada harapan untuk melanjutkan hidup.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!