Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Agenda yang ia susun malam sebelumnya seolah hancur berkeping-keping karena satu masalah besar. Begitulah hukum di alam liar—tak semuanya bisa diprediksi. Masalah kerap muncul dari arah yang tak terduga, menggagalkan rencana yang sudah disiapkan dengan matang.
"Jumlah mereka terus bertambah. Untung saja aku sempat memancing mereka menjauh dari ladang dan rumahku. Kalau tidak, kerusakannya pasti lebih parah," gumam Enzo sambil menggeleng pelan. Matanya menatap ladangnya yang sebagian kecil rusak, serta atap rumahnya yang kini miring ke kiri, memberikan pemandangan yang sedikit ironis.
"Tapi sudahlah... Menyesali apa yang sudah terjadi tidak akan mengubah apa pun. Lebih baik segera memperbaikinya." Dengan nada pasrah bercampur ikhlas, Enzo menghela napas panjang, mencoba menghapus segala kelelahan yang menumpuk.
Mata Enzo, yang dihiasi lingkaran hitam akibat bertarung semalaman, menunjukkan betapa lelahnya ia. Namun, itu tidak menghentikannya. Dengan tenaga yang tersisa, ia mulai bekerja, memperbaiki semua kerusakan yang ditimbulkan oleh para monster semalam. Atap rumahnya ia perbaiki agar berdiri kokoh kembali. Sebagian ladangnya yang rusak ia poles ulang, bahkan ia menambahkan pagar kayu mengelilingi kebunnya untuk perlindungan ekstra.
Ia juga membuat saluran irigasi, menyambungkan aliran air dari danau ke ladangnya. Saluran itu ia bangun dengan perhitungan matang, memastikan setiap tanaman mendapat cukup air untuk tumbuh subur.
Tujuh jam berlalu tanpa jeda. Waktu menunjukkan pukul 11 pagi, tetapi Enzo belum berhenti. Rasa kantuk yang begitu hebat terus ia lawan. Bagi Enzo, menyelesaikan pekerjaannya adalah prioritas. Setelah semua selesai, barulah ia akan tidur total untuk memulihkan diri, bersiap menghadapi kemungkinan serangan monster di malam berikutnya.
"Woke..! Selesai juga akhirnya!" teriak Enzo penuh semangat, senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia menatap puas hasil kerjanya.
Kini, kebun di belakang rumahnya tampak begitu rapi, dihiasi pagar kayu yang kokoh mengelilinginya. Aliran irigasi mengalir lembut, seolah membawa pesan harmoni untuk tanaman-tanamannya. Rumah sederhana di tepi danau itu kini terlihat lebih indah, seperti tempat persembunyian sempurna di tengah hutan liar.
Enzo menatap semua hasil kerja kerasnya dengan bangga, jika dilihat dari atas langit, rumah kecil itu, dengan kebun yang luas di belakangnya, tampak seperti oase damai di tengah ganasnya alam liar.
Malam yang dinanti akhirnya tiba. Dengan belati kecil yang ia gunakan saat menelusuri Hutan Kematian, Enzo duduk di atas atap rumah kayunya. Posisi itu memberinya pandangan luas ke segala arah, cukup untuk mengantisipasi serangan mendadak. Kali ini, ia benar-benar siap. Tak ada lagi rasa kantuk ataupun lapar yang mengganggunya—semua sudah ia persiapkan dengan matang.
"Kalian semua, cepatlah datang... Mari kita bermain-main lagi," gumam Enzo pelan namun penuh percaya diri. Tatapan matanya yang tajam memancarkan antisipasi, sementara senyum tipis adrenalin menghiasi wajahnya.
Namun, waktu terus berlalu. Hingga pukul tiga dini hari, suasana tetap sunyi. Hanya beberapa ekor monster yang muncul, itupun bisa dihitung dengan jari. Monster-monster kecil itu langsung mati begitu menampakkan diri, bahkan tanpa sempat memberikan perlawanan berarti.
Langit malam terlihat begitu indah. Cahaya bulan bersinar terang, memancarkan ketenangan yang kontras dengan kewaspadaan Enzo. Suara jangkrik dan burung malam saling bersahutan, membentuk harmoni alam yang menyelimutinya. Tapi bagi Enzo, ketenangan ini terasa salah—terlalu hening, seolah sesuatu sedang direncanakan.
Ia terus menatap tajam ke setiap sudut hutan, mencari tanda-tanda serangan yang tak kunjung tiba. Jari-jarinya mengetuk perlahan pada gagang belatinya, menahan kebosanan.
"Sialan!" teriaknya tiba-tiba, memecah keheningan malam. Suaranya menggema, membuat burung-burung malam di sekitar hutan berhamburan. "Apakah kalian semua sedang mempermainkan aku?!"
Sorot matanya penuh emosi bercampur frustrasi. Dia bersiap untuk pertarungan besar malam ini, tapi para monster yang ia tunggu seolah lenyap begitu saja. Keheningan di tengah hutan yang biasanya penuh bahaya ini terasa seperti ejekan. Enzo merasa seperti singa yang terkurung.
Jam terus berlalu, dan akhirnya waktu menunjukkan pukul lima pagi. Suara ayam hutan kembali menggema, membentang hingga ke seluruh sudut Hutan Kematian. Sinar matahari pagi perlahan menembus kabut tebal, memberikan pemandangan yang tak kalah indah dari hari sebelumnya.
Rasa kantuk mulai kembali menyerang. Semua persiapan matang yang Enzo susun dengan begitu rapi ternyata gagal total. Tidak ada tanda-tanda gerombolan monster besar seperti yang ia antisipasi. Hanya keheningan yang tersisa, meninggalkan rasa jengkel di hatinya.
"Tau gini aku tidur malam tadi... Memang monster-monster ini tidak tahu diri, benar-benar tidak bisa diprediksi," gumamnya pelan sambil melangkah menuju ladangnya.
Sebelum memutuskan untuk tidur, Enzo menyempatkan diri menyirami ladang kebunnya. Ia berjalan perlahan, memastikan setiap tanaman menerima air. Tidak ada satu pun yang terlewat dari perhatian penuh kasihnya.
Setelah selesai, ia kembali ke rumah. Kali ini ia berniat tidur sejenak untuk memulihkan tubuhnya yang lelah. Tapi sebelumnya, ia mandi untuk membersihkan tubuhnya dari debu dan peluh, meskipun rasa kesal masih tergambar jelas di wajahnya.
Agenda yang ia rencanakan untuk mengeksplorasi hutan kematian kembali harus tertunda. Dua hari terakhir benar-benar kacau akibat ulah monster-monster yang datang tanpa pola pasti.
Namun, sebelum langkahnya memasuki rumah, angin kencang tiba-tiba berhembus, disertai suara gemuruh sayap yang begitu keras. Enzo menoleh ke langit, dan matanya menyipit tajam. Gerombolan monster bersayap besar, kira-kira berjumlah tiga ratus ekor, melintas di udara, menciptakan pusaran angin yang meluluhlantakkan dataran di bawahnya.
Belum selesai rasa keterkejutannya, dari arah lain, barisan monster berbentuk kerbau dengan tubuh besar dan tanduk tajam muncul. Mereka bergerak rapat tanpa celah, menginjak apa saja yang ada di jalur mereka hingga menjadi puing-puing. Debu tebal membumbung tinggi, menutupi pemandangan sekitar.
Seakan-akan itu belum cukup, dari arah lain, muncul kawanan monster berbadan besar yang merayap dengan jumlah mencapai ribuan. Mereka menggunakan pohon-pohon besar sebagai pijakan, mencengkeram akar-akar yang menjulang kokoh hingga terlihat seperti gelombang hitam yang melahap segala sesuatu di jalan mereka.
Enzo yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa menghela napas panjang. Dirinya berusaha menahan emosi dan rasa kantuk yang semakin menekan. Hari yang ia harapkan bisa dimulai dengan damai kembali hancur oleh ulah monster-monster yang tidak pernah berhenti membuat kekacauan.
Dengan satu teriakan lantang, ia meluapkan frustrasi mendalam yang sudah tak bisa ia bendung lagi.
"Keparaaaaaaaat! Kalian benar-benar mempermainkan ku!" teriaknya, suaranya menggema hingga ke segala arah.
Frustrasi bercampur kantuk tergambar jelas di wajahnya. Enzo merasa seperti sedang diuji oleh semua ini. Sementara para monster terus bergerak, mendekati wilayahnya, ia hanya bisa mempersiapkan diri sekali lagi—meskipun kepalanya seperti akan meledak karena rasa kesal dan lelah yang menumpuk.
Begitulah hari-hari yang dijalani Enzo di Hutan Kematian, sebuah tempat yang awalnya penuh ketegangan kini berubah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Meski awalnya ia terganggu oleh serangan-serangan monster dan segala ketidakpastian, Enzo perlahan belajar menerima semuanya dengan lapang dada. Apa yang dulu terasa seperti beban kini menjadi rutinitas yang ia hadapi tanpa keluhan. Bahkan, para monster sudah dianggapnya sebagai "tetangga" yang tak bisa dihindari.
Tak terasa, sudah dua minggu berlalu sejak Enzo memulai kehidupannya di hutan ini. Suasana yang ia ciptakan dipenuhi kebahagiaan dan ketenangan. Ladang yang ia tanami dengan penuh harapan kini telah memberikan hasil yang luar biasa. Biji-biji kecil yang ia tanam telah tumbuh menjadi tanaman yang subur dan berwarna-warni, menciptakan pemandangan yang menyejukkan mata. Keajaiban tanah Hutan Kematian benar-benar tak terduga.
Enzo berdiri di tengah ladangnya, matanya berbinar saat melihat hamparan tanaman yang tumbuh dengan sehat. Tak hanya itu, kini ladangnya dipenuhi sarang lebah dengan madu melimpah di setiap sudut. Kehadiran lebah-lebah itu terasa seperti berkah tambahan yang melengkapi keajaiban di tempat ini.
"Sudah saatnya memanen," ucap Enzo penuh semangat. "Dengan begini, aku tak perlu makan daging terus-menerus." Ia tersenyum lebar, membayangkan berbagai makanan lezat yang bisa ia buat dari hasil panennya.
Di dekat ladangnya, berdiri sebuah gudang besar yang baru ia bangun seminggu lalu. Bangunan itu terlihat kokoh, dengan struktur yang dirancang sedemikian rupa agar bisa menyimpan hasil panen dalam jumlah besar. Namun, yang paling menarik adalah banyaknya sarang burung yang berjejer rapi di sekitar gudang itu. Entah dari mana burung-burung itu datang, tapi keberadaan mereka memberikan kesan hidup dan damai pada tempat itu.
"Tak ada yang lebih menyenangkan selain memanen hasil dari kerja keras sendiri," kata Enzo sambil tersenyum lebar. Ia mulai memasukkan tanaman yang telah dipanen ke dalam gudang penyimpanan. Setiap langkahnya penuh semangat, seolah rasa syukur tak henti mengalir di dalam hatinya.
Hidup di Hutan Kematian mungkin bukan pilihan bagi banyak orang, tetapi bagi Enzo, tempat ini telah menjadi rumah baru yang penuh keajaiban dan cerita. Monster-monster yang dulu mengganggu kini hanya menjadi bagian kecil dari tantangan yang selalu bisa ia hadapi. Sementara itu, ladangnya terus tumbuh, dan kehidupannya terus berjalan—sederhana, penuh warna, dan damai.
Sampai pada suatu hari, saat Enzo bersiap untuk rutinitas harian menjelajahi Hutan Kematian, ia merasa diikuti. Sesuatu yang besar, kuat, dan mengintimidasi, namun tetap menjaga jarak. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya. Namun setelah beberapa lama, perasaan itu semakin jelas.
Tanpa basa-basi, Enzo berhenti, memutar tubuh, dan menatap ke arah kegelapan rimbunnya hutan. Dengan suara tegas namun penuh tantangan, ia berkata, "Mengapa kau mengikuti ku sejak tadi? Apa kau ingin menantang ku bertarung?"
Senyum menyeramkan tersungging di wajahnya, penuh percaya diri. Ia mengira sosok itu hanyalah salah satu dari monster penghuni hutan yang sering mengganggunya—yang kini ia anggap sebagai "tetangga nakal".
Namun, suara gemuruh dari balik semak belukar segera menghancurkan semua anggapannya. Perlahan, makhluk itu menampakkan diri. Sosok naga raksasa berukuran hampir lima meter keluar dari kegelapan.
Tubuhnya diselimuti sisik hijau lumut yang memantulkan cahaya samar, dan lima garis hitam memanjang dari kepala hingga ujung ekornya. Matanya yang tajam dan dingin memandang Enzo tanpa berkedip, seolah mengukur kekuatan lawannya.
Enzo mengangkat alis, merasa sedikit terkejut. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Apakah kau pendatang baru?" tanyanya santai, meskipun instingnya mulai menyadari bahwa makhluk ini bukanlah monster biasa.
Namun naga itu tidak menjawab. Hanya aura tekanan yang semakin kuat memancar dari tubuhnya. Enzo tetap tenang, senyumnya tetap terukir, mengira naga itu sama seperti monster lain yang tidak mampu berbicara.
Apa yang tidak diketahui Enzo adalah bahwa ia sedang berhadapan dengan salah satu makhluk terkuat di Hutan Kematian: ras naga superior yang begitu terkenal.
Ras naga di Hutan Kematian terbagi menjadi dua: naga umum dan naga superior. Meski sama-sama berasal dari garis keturunan naga, perbedaan kekuatan keduanya sangat mencolok. Naga umum berjumlah banyak, tersebar di seluruh penjuru hutan. Sementara itu, naga superior sangat langka—jumlah mereka bisa dihitung dengan jari.
Ciri khas naga superior adalah garis hitam pada tubuh mereka. Semakin banyak garis, semakin besar kekuatan dan keagungan mereka. Naga superior adalah keturunan langsung dari empat tetua naga legendaris yang pernah memimpin pertempuran besar seratus ribu tahun lalu.
Mereka dianggap sebagai penguasa sejati Hutan Kematian dan 20 hutan besar lainnya, makhluk yang berada di puncak rantai makanan meskipun tidak tergolong sebagai salah satu dari mereka.
Namun, Enzo tidak peduli dengan semua itu. "Cepat katakan apa maumu! Atau aku yang akan memulai duluan!" bentaknya dengan nada menantang.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, sang naga membuka mulutnya dan meluncurkan bola api raksasa ke arah Enzo.
BOOOOM!
Enzo, alih-alih menghindar, mencoba menahan bola api itu dengan satu tangan. Namun, kekuatan serangan itu jauh di luar perkiraannya. Ledakan dahsyat terjadi, tubuhnya terlempar jauh, menghancurkan beberapa pohon besar sebelum akhirnya berhenti di belakang ladang kebunnya.
Duaaak!
Enzo meringis, bangkit perlahan dari tumpukan kayu tumbang sambil menyeka debu di wajahnya. "Sial... Kekuatannya jauh berbeda dari gerombolan monster biasa yang sering ku hadapi," gumamnya kesal.
Sebelum ia sempat mengatur napas, sang naga kembali melancarkan rentetan bola api. Semburan demi semburan menghujani area sekitar, menyebabkan kebakaran besar. Api menjalar cepat, membakar sebagian hutan wilayah pertarungan dan hampir mencapai ladang kebun Enzo.
Mata Enzo membelalak. Ia langsung menoleh ke arah kebunnya, memastikan kerusakan yang terjadi. "Hei, dasar bodoh! Jangan sampai ladangku terbakar!" teriaknya dengan frustrasi, amarah mulai memenuhi pikirannya.
Dengan langkah mantap, Enzo kembali berdiri tegak, tubuhnya diselimuti energi besar dan semakin membesar. Senyumnya yang menakutkan kembali muncul. "Baiklah... Kau memintanya sendiri," katanya penuh tekad.
Mengabaikan peringatan Enzo, sang naga superior kembali melancarkan serangan. Kali ini, semburan bola api yang dilepaskannya tampak jauh lebih mengerikan dibanding serangan sebelumnya.
Enzo mengamati dengan saksama. Sorot matanya tajam, menyadari bahwa serangan itu memiliki daya hancur yang luar biasa. Namun, ia tidak bergerak menghindar. Tepat di belakangnya, ladang kebunnya yang ia rawat dengan sepenuh hati berdiri sebagai alasan utama. Ia tidak akan membiarkan satu pun tanaman hancur.
Wushhh!
Bola-bola api itu melesat mendekat dengan kecepatan tinggi. Di detik terakhir, Enzo mengangkat tangannya, mengeluarkan dua pedang kembar andalannya dari dalam gumpalan asap hitam kecil yang muncul di udara. Dengan gerakan kilat, ia menebas bola-bola api tersebut, membelahnya menjadi serpihan-serpihan kecil.
BOOM!
Meski berhasil mengurangi dampak serangan, pecahan bola api itu tetap menyebar ke sisi-sisi ladang lainnya. Api sempat menyambar beberapa sudut tanaman, namun untungnya kerusakan tidak terlalu besar. Jika saja ia tidak membelah serangan itu, ladangnya pasti sudah habis terbakar.
Enzo menggertakkan giginya, emosinya memuncak. "Kau… akan membayar semua ini!" serunya penuh amarah, matanya menyala menatap tajam sang naga.
Namun sang naga tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Malah, ia mempersiapkan serangan lain, kali ini lebih besar dan lebih mematikan. Dari tubuhnya, energi panas mulai terpancar, menyebabkan hawa di sekitar menjadi membakar. Tumbuhan-tumbuhan di sekitar mulai layu, beberapa bahkan terbakar hangus sebelum api menyentuhnya.
Enzo menyipitkan mata, menyadari sesuatu. "Energi ini.... Jangan bilang naga itu…?" gumamnya penuh tanda tanya.
Bola api raksasa mulai terbentuk di depan mulut sang naga, dikelilingi oleh rentetan bola-bola api kecil yang berputar mengiringinya. Udara di sekitar terasa semakin berat. Aura destruktif dari serangan itu jelas menunjukkan bahwa ini bukan sembarang energi.
Energi Surgawi.
"Itu… Energi Surgawi!" desis Enzo dengan nada terkejut. Ia mengenal teknik itu—energi tingkat tinggi yang hanya dikuasai oleh segelintir prajurit langit. Bahkan di antara pasukan surga sekalipun, hanya mereka yang terpilih yang mampu menguasai energi ini.
Rasa panik sempat melintas di wajahnya. Namun, dengan cepat ia menguasai diri.
"Kau dengar ucapanku tadi tidak, naga jahat? Kau akan menyesali ini!"
Tepat saat sang naga hendak melepaskan serangannya, Enzo melesat seperti bayangan hitam. Dalam sekejap, ia sudah berada tepat di depan wajah naga itu. Dengan kedua pedangnya, ia menghantam kepala sang naga menggunakan tebasan super kuat yang memekakkan udara di sekitarnya.
CRAAACK!
Serangan itu menghantam langsung. Sang naga mengerang keras, tubuhnya terdorong mundur, sementara energi yang ia kumpulkan mulai buyar. Ledakan kecil terjadi di udara akibat benturan energi, namun Enzo tidak menunjukkan tanda-tanda mundur.
"Jika kau pikir aku hanya akan diam dan melihat ladangku dihancurkan, kau salah besar!" teriaknya dengan suara menggema, penuh tekad.
Sang naga terhuyung, namun tidak tumbang. Mata tajamnya kembali menyala, memperlihatkan bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.
Seolah belum kapok, naga itu melesat lagi. Dengan kekuatan buasnya, ia menyerang Enzo dari segala arah—cakar-cakar tajamnya membelah udara, mengincar tubuh Enzo tanpa ampun. Sayap besarnya menghantam angin, menciptakan badai kecil yang mengguncang pepohonan di bawah mereka. Ekor raksasanya menyapu ruang, menambah daya hancur setiap serangan.
Enzo hanya tersenyum dalam diam, seolah menikmati duel mematikan ini. Di udara, ia menari lincah menghindari serangan brutal lawannya. Tebasan pedangnya beradu dengan cakar naga, menciptakan ledakan angin dan percikan energi yang menerangi langit.
"Menarik! Ayo, tunjukkan semua kekuatanmu, kadal keparat!" ejek Enzo dengan nada menggoda, sambil terus melayani serangan sengit itu. Yang mencengangkan, Enzo bertarung tanpa sedikit pun mengandalkan energi kutukan menghadap sosok yang di anggap terkuat di hutan kematian.
Naga itu, yang awalnya penuh percaya diri, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kewalahan. Mata besarnya yang berkilat kini menyiratkan ketegangan. "Siapa iblis ini sebenarnya?" pikir sang naga, hatinya bergemuruh. Ia bisa merasakan sesuatu yang ganjil—tekanan energi surgawi nya seolah tak mempan pada iblis di depannya.
Namun, nasib buruk naga itu akhirnya tiba. Satu tebasan penuh kekuatan dari pedang Enzo menghantam tubuh raksasanya. Naga itu terpental puluhan meter, menabrak bebatuan dan pepohonan hingga semua runtuh bagai domino. Tubuhnya terhempas ke sana kemari tanpa kendali.
"Hahaha! Apa cuma segini kekuatanmu, kadal bodoh?" Enzo tertawa terbahak, puas melihat musuh yang telah menghancurkan ladang kebunnya kini terkapar di tanah.
Tapi naga itu bukan makhluk yang mudah menyerah. Sambil terhuyung bangkit sama seperti sebelumnya, ia mengumpulkan energi surgawi ke dalam mulutnya. Bola api yang menyala terang mulai terbentuk, siap menghancurkan segalanya.
Mata Enzo menyipit, bayangan kebakaran yang menghancurkan ladangnya terlintas beberapa saat. "Tidak akan kubiarkan terjadi lagi!" teriaknya lantang. Dalam sekejap, tubuhnya melesat seperti kilat, muncul di depan naga tepat sebelum semburan api itu terlontar.
Tinju Enzo menghantam rahang naga dengan kekuatan luar biasa. Udara memekik, seolah langit bergetar menerima dampaknya.
"Jangan berani-berani merusak kebahagiaanku lagi, dasar kadal keparat!" Suaranya menggelegar, penuh amarah yang membakar.
Energi surgawi yang sempat terkumpul di dalam mulut naga meledak dengan dahsyat, menghancurkan dirinya sendiri. Tubuh raksasa naga itu menghantam tanah dengan keras, menciptakan kawah besar di bawahnya. Sang naga tersungkur, tak berdaya, hanya tinggal bayangan dari kegagahannya tadi.
Enzo berdiri tak jauh dari sang naga, menatapnya dengan ekspresi datar, meski matanya penuh kewaspadaan.
"Pada akhirnya, kau berakhir sama seperti yang lainnya," gumam Enzo pelan. la menghela napas sejenak, lalu tersenyum miring. "Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi lupakan saja. Itu harga yang pantas untuk monster yang berani menghancurkan kebun-kebunku."
Tubuh Enzo tak menunjukkan satu pun luka- hanya debu tipis menempel di kulitnya, bekas pertempuran sengit barusan. Di hadapannya, sang raja hutan kematian itu terkapar tak berdaya, ibarat seekor kadal yang bahkan tak mampu melawan Enzo dalam kondisi biasa, tanpa energi kutukan.
Namun, satu hal membuat Enzo masih bertanya-tanya: bagaimana mungkin naga itu bisa menggunakan energi surgawi?
Tanpa banyak bicara dan pikiran, Enzo membalikkan badan, bersiap melangkah lebih dalam ke hutan kematian sesuai agenda yang sudah ia susun. Namun, sebelum ia benar-benar menjauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Sang naga tiba-tiba bangkit kembali, auranya berubah drastis. Kekuatan yang jauh lebih mengerikan terpancar dari tubuhnya. Dalam sekejap, bola api raksasa-seratus kali lebih besar dari sebelumnya-terbentuk di udara. Aura panasnya menjalar, menciptakan suasana yang membuat siapa pun merinding.
"Jangan anggap telah selesai! Ini... teknik terakhirku," gumam sang naga, suaranya terdengar lelah. Tubuhnya tampak hampir habis daya, namun matanya memancarkan tekad bulat. "Dulu, aku bisa menggunakan skill ini sepuluh kali sehari... tapi sekarang hanya sekali sebulan. Tak apa. Dengan ini, kau akan mati, iblis!"
Suaranya menggema di udara, mengiringi bola api yang memancarkan cahaya terang, terlihat hingga radius seratus kilometer. Harmoni kehancuran itu begitu luar biasa, benar-benar di luar nalar.
Makhluk-makhluk di hutan berlarian panik, mencoba menyelamatkan diri. Burung-burung beterbangan, monster-monster melarikan diri dengan tergesa, tapi mustahil mereka bisa luput dari efek ledakan tersebut.
Rumah sederhana Enzo perlahan memercikkan api, seolah menunggu waktu untuk terbakar sepenuhnya. Beberapa ladang kebunnya yang belum sempat di panen kini tak menyisakan apa pun, hangus menjadi abu. Tekanan panas dari bola api itu benar-benar mengerikan, hingga tanah pun seakan merekah di bawahnya.
"Sialan! Apa kau berniat menghancurkan semuanya?!" Enzo berteriak dengan nada panik, giginya terkatup erat. la mengepalkan tangan, mencoba mencari cara menghentikan kekuatan destruktif itu.
Di udara, naga itu tertawa dingin, sorot matanya penuh kebencian. "Ha-ha-ha! Jangan sombong, iblis bodoh! Aku akan menghancurkan semua kebahagiaan yang kau ciptakan!" Darah segar mengalir dari sudut mulutnya, namun ia tetap terlihat puas.
Amarah Enzo memuncak. "Kau sudah melampaui batas!" bentaknya. "Hentikan ini, atau aku akan menghancurkan mu sehancur-hancurnya!"
Sang naga menatapnya dengan tatapan meremehkan. "Kau adalah iblis yang harus segera diakhiri. Aku adalah penjaga hutan kematian, dan keberadaan mu adalah ancaman!"
Namun, saat sang naga mulai melepaskan bola api itu, tubuhnya mendadak bergetar hebat. Rasa sakit luar biasa menyerangnya, seolah jiwanya terkoyak oleh energi kutukan yang sangat gelap dan mengerikan.
Enzo berdiri dengan sorot mata tajam, auranya berubah drastis. "Kau memaksaku melanggar sumpahku," gumamnya, suaranya penuh nada dingin. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan energi kutukan raja iblisnya keluar, memancarkan tekanan yang begitu luar biasa hingga bahkan udara di sekitarnya terasa berat.
Energi kutukan itu mencabik-cabik jiwa sang naga superior, membuatnya terhuyung tak berdaya. Serangan pamungkasnya tak pernah sempat dilepaskan. Tekanan itu benar-benar busuk tak tertandingi.
"Intimidasi ini... Jauh lebih mengerikan dibanding milik ayah! Tidak! Ini tidak bisa disandingkan—terlalu jauh!"
Kepanikan dan keterkejutan jelas tergambar di wajah sang naga. Tubuhnya terus bergetar, tidak mampu menahan tekanan luar biasa yang melampaui segala yang pernah ia rasakan.
Ia tahu, makhluk yang berdiri di hadapannya bukanlah iblis sembarangan. Sosok ini kemungkinan berada di tingkatan Mistis. Tubuh besar sang naga semakin bergetar, menggigil tak terkendali.
Energi tekanan kutukan raja iblis yang dilepaskan oleh Enzo semakin mengerikan. Aura busuk itu menyeruak, menyerang langsung ke inti jiwa sang naga. Bola energi api raksasa yang semula menyala terang kini mulai menyusut, meredup dengan cepat.
"Mistis... bukan! Ini lebih tinggi lagi," gumam sang naga dengan suara parau, mata besarnya dipenuhi ketakutan, keringat menetas deras.
Namun, sebelum ia sempat menyusun pertahanan dari tekanan itu, tubuhnya tersentak hebat. Sorot matanya memutih, kesadarannya hilang seketika. Energi kutukan itu benar-benar telah menghancurkan kekuatannya, melumpuhkan sosok yang sebelumnya begitu perkasa.
"Buum!"
Tubuh raksasa sang naga jatuh menghantam tanah dengan keras, menciptakan lubang besar yang menggetarkan seluruh area. Tanah berguncang, debu tebal mengepul, dan keheningan seketika menyelimuti hutan kematian. Hanya dengan tekanan intimidasi, Enzo berhasil menaklukkan ancaman besar yang nyaris menghancurkan segalanya.
Dari balik persembunyian, sosok kurcaci menyaksikan pemandangan luar biasa itu. Kedua mata mereka terbelalak, sulit mempercayai bahwa naga superior—makhluk yang mereka anggap tak terkalahkan—jatuh hanya dengan satu tekanan aura intimidasi.
"Gawat! Nyawa Brock dalam bahaya!" seru kurcaci dengan suara gemetar. Ia segera keluar dari tempat persembunyian, berlari tergesa-gesa menuju Enzo.
Sementara itu, Enzo berjalan perlahan mendekati tubuh sang naga. Sorot matanya dingin, memastikan bahwa ancaman ini benar-benar berakhir. Naga brutal seperti itu tidak boleh dibiarkan hidup.
"Aku adalah sosok yang akan membawa perdamaian bagi tiga alam. Siapa pun yang berbuat jahat, aku akan menghentikannya!"
Suaranya menggema, penuh keyakinan dan otoritas. Kata-katanya bukan sekadar ancaman, tetapi sebuah janji yang tak tergoyahkan.
Langkah Enzo yang tegas membawa ketenangan, namun sekaligus menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikannya. Sosoknya adalah perwujudan kekuatan dan keadilan yang tak tergoyahkan.