Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Suami Tak Tahu Diri
"Diantar kemana?" tanya Jaka setelah sambungan telepon ku dan Risa terputus.
"Tetangga aku, mas. Aku nitip anak-anak di sana."
Sepanjang perjalanan, aku dan Jaka membicarakan hal yang ringan-ringan saja. Tidak menyinggung masalah ku lagi, dia pun seperti sedang berusaha untuk menghibur ku.
Aku baru mengenalnya, tapi rasanya sudah seperti kenal lama. Dia mudah berbaur dengan orang baru dan bisa membuat nyaman saat bicara dengannya. Tidak beda jauh dengan Rifki.
Tak berselang lama, aku sampai di rumah Risa. Aku meminta Jaka untuk pulang, biar aku bawa anak-anak jalan kaki saja, toh rumah ku dan Risa hanya berjarak beberapa rumah saja. Akan aku bawa mereka bergantian.
Tapi dengan cepat Jaka menolaknya.
"Ya kalau begitu kamu yang capek, Yu. Lagian masa kamu buat nunggu yang punya rumah sih. Nungguin kamu selesai mindahin anak-anak. Bawa mereka semua ke sini. Aku antar ke rumah."
"Ini udah malam, mas."
"Ya justru itu, kalau pagi mah bodo amat kamu gendong bolak-balik. Justru sudah malam begini kan bahaya buat kalian kalau jalan. Meskipun jaraknya dekat, kita tetap harus waspada. Buruan ambil anak-anak, kalau debat terus sampai pagi juga nggak kelar."
Akhirnya aku mengalah. Sebenarnya aku sungkan sekali dengan Jaka. Dia pun seharian bekerja, pasti lelah sampai selarut ini belum pulang.
Akhirnya aku membawa anakku satu persatu ke dalam mobil. Aku tak lama-lama berasa di rumah Risa. Sudah terlalu larut untuk bertamu. Sempat Risa melempar pertanyaan, kenapa mata ku sembab dan wajahku sendu sekali, tak seperti saat berangkat tadi. Aku hanya menjawab, "Nanti akan aku ceritakan kalau ada waktu ya, Ris." Aku pamit setelah itu.
"Ibu, ibu baru pulang?" tanya Alif dari kursi penumpang.
"Eh, anak ibu bangun? Keganggu ya sama mobil yang jalan? Bangun bentar ya, nak. Sebentar lagi kita sampai rumah."
"Iya, bu. Ibu lama banget perginya. Aku sampai ketiduran."
Di detik berikutnya, kami sampai di rumah. Jaka memasukkan mobilnya ke halaman.
"Itu suami kamu, kan?" tanya Jaka yang mengejutkan ku.
"Iya, kamu pasti lihat tadi aku berantem sama dia di hotel ya? Ngapain juga di pulang?" gerutu ku kesal.
"Jangan bilang begitu, ada anak-anak. Akan jadi pertanyaan dalam kepalanya nanti, apalagi anak sulung mu dengar. Kasihan."
"Ya kan lama-lama aku harus menjelaskan ke mereka kalau kita akan melanjutkan hidup tanpa sosok ayahnya, mas."
"Iya aku paham, Yu. Tapi jelasinnya kan harus pelan dan pakai bahasa yang mereka paham. Tadi janjinya apa? Masak lupa? Jangan bawa kesedihan dan amarah ke rumah. Baru juga tadi, udah lupa aja."
"Astaghfirullah, iya aku lupa. Makasih sudah mengingatkan ya. Kamu teman terbaik, dalam waktu singkat kamu bisa buat aku merasa aku beruntung kenal kamu."
"Gombal, jangan gombalin aku, nggak mempan."
Entah kenapa bukannya aku turun dari mobil malah aku mengobrol dengannya. Bahkan aku tak sadar, Anang berjalan mendekati mobil Jaka.
"Yu, ngapain kamu di dalam nggak turun-turun?" tanyanya mengetuk jendela mobil.
Aku membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Alif dan Agil masih berada di dalam mobil. Dengan dekat aku meletakkan Anin di ranjang dan berlari ke luar rumah.
Alif sudah keluar dari mobil begitu aku sampai di halaman. Aku lalu menyuruhnya masuk dan aku mengambil Agil, sementara Anang hanya diam melihat semua pergerakan ku.
"Kamu ajak anak-anak tadi?" tanyanya setelah beberapa saat terdiam.
"Alif, masuk rumah istirahat!" pintaku
"Nggak, aku titipkan mereka di rumah Risa. Memang kamu pikir aku segila apa mengajak anak-anak datang ke hotel tempat ayahnya bercinta dengan wanita lain?" tanyaku sarkas.
"Ayu, aku sudah memberitahu mu kalau aku menikahi Winda karena ada alasannya. Jadi tolong pengertiannya. Coba kalau kamu jadi Winda juga kamu akan menuntut pertanggungjawaban yang sama."
Astaghfirullah, dimana sebenarnya otak suamiku ini. Jika tidak ingat dosa sudah aku cekik lehernya.
"Aku bukan Winda dan tidak akan pernah jadi Winda. Sudahlah, berbahagialah bersama istri siri mu itu. Dia lebih segalanya dari aku, kan? Biarkan aku pergi bersama anak-anak. Kamu nggak perlu khawatir kan aku dan mereka. Aku bisa urus anak tanpa bantuan dari mu. Seharusnya kamu senang, ini yang kamu inginkan, kan?"
"Ayu, ku mohon pengertian mu... "
"Apa yang harus aku mengerti? Apa?" Potong ku cepat.
"Ya kondisi aku, aku janji aku akan berubah. Jika kamu tidak ingin memiliki madu, maka la baiklah aku akan tinggalkan Winda, aku akan penuhi semua kebutuhan kamu dan anak-anak. Akan aku turuti apa yang kalian minta."
"Kenapa baru sekarang kamu berniat begitu? Kenapa tidak waktu gajimu naik kamu punya pikiran begitu? Aku mohon untuk terakhir kalinya. Tolong jangan bahas ini lagi, biarkan aku pergi."
"Nggak bisa, kamu nggak akan bisa pergi begitu saja. Kamu lupa dengan apa yang pernah aku peringatkan padamu? Kamu nggak akan pernah ketemu anak-anak mu lagi kalau sampai kamu berani keluar dari rumah ini bahkan jika hanya satu jengkal pun." Anang mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Terasa sakit, tapi aku mencoba tak memperlihatkannya.
Anang yang tadinya mengemis maaf dari ku kini berubah menjadi beringas. Sumpah demi apapun, aku baru tahu sifat Anang yang satu ini. Entah kemana saja aku selama ini.
"Kamu ancam aku? Aku tidak takut! Mau meributkan anak di persidangan? Aku juga tidak takut, aku menantang mu untuk memperebutkan mereka di meja hijau. Aku tunggu!" balas ku seraya berusaha melepas cengkraman yang terasa semakin kuat dan menyakitkan.
Brak!
Aku dan Anang menoleh ke samping. Aku baru sadar jika Jaka sejak tadi masih di sini.
"Maaf, bukannya saya ikut campur urusan kalian. Alangkah baiknya jika masalah di selesaikan di dalam rumah, atau besok pagi. Ketika kepala pasangan kalian sudah dingin, maka bukan lagi amarah yang akan jadi keputusan," selanya seraya melepaskan pagutan tanganku dan Anang.
"Kamu siapa? Berani sekali mengatur ku harus melakukan apa? Apa jangan-jangan kamu simpanan Ayu. Ini yang buat Ayu berani keluar rumah tanpa izin? Dan apa karena mobil mu ini Ayu juga berani pada suaminya sendiri?"
Aku melihat Jaka yang masih terlihat adem, sama sekali tak terpancing amarah dengan ucapan Anang. Aku merasakan dia cukup dewasa menghadapi setiap masalah.
"Saya hanya supir taksi online, pak. Saya bukan siapa-siapa. Saya ini orang miskin, mana mungkin istri bapak mau menjadikan saya simpanan, kalau istri bapak cari simpanan ya cari yang berduit. Saya nggak ada duit, pak. Untuk makan saja saya harus nyupir sampai malam. Ini saya masih di sini juga bukan karena apa-apa. Mbak Ayu masih belum bayar taksi saya, itu sebabnya saya menunggu di sini. Eh malah nonton live konflik rumah tangga," ujar Jaka tanpa dosa.
Aku lalu memberikan selembar uang seratus ribu padanya. Sebenarnya aku juga bingung apa yang benar-benar menjadi alasan Jaka, yang jelas dia masih di sini bukan karena uang. Karena tadi aku sudah memberinya uang saat sampai di rumah Risa. Pasti ada maksud lain, ah aku tak mau pusing, anggap saja Jaka adalah orang yang dikirim Allah untuk membantu ku.
ceritanya sperti di dunianya nyata.