Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Letak ruang dosen ada di lantai satu dan menghadap ke sisi lapangan basket. Dari ruang kelasku yang berada di lantai dua, tepat berhadapan dengan ruang dosen, aku bisa melihat para mahasiswa lalu lalang dan istirahat di area lapangan. Dari sini aku juga bisa melihat mas Sagara yang saat ini tengah berbincang-bincang dengan bu Silmi.
Dia janda anak satu, dan di lihat dari gerak-geriknya, bu Silmi seperti menaruh hati pada mas Sagara. Tapi karena mas Sagara sudah menikah, dia tak terlalu menunjukkan keterpesonaannya pada dosen yang menjadi suamiku.
Kalau boleh menerka-nerka, jika mas Sagara belum menikah, mungkin bu Silmi berusaha mendekatinya. Tapi entahlah, ini hanya insting seorang istri.
Istri??
Tertawa dalam hati.
"Istri di atas perjanjian yang nggak tertulis" gumamku tanpa sadar.
"What?? Istri di atas perjanjian?" Tiba-tiba Gabby berdiri di sampingku, lalu sepasang netranya menatapku dan kemudian beralih ke mas Sagara. "Maksud kamu, istrinya pak Saga hanya istri di atas perjanjian, begitu Ji?"
"Ish... Apaan si kamu" Bisa ku pastikan kemungkinan tadi Gabby mendengar gumaman kecilku dan memergokiku sedang memusatkan pandangan ke arah mas Sagara. Jadilah dia berfikir seperti itu.
"Tadi kamu bilang gitu sambil menatap pak Saga, ya ku kira istrinya pak Saga yang kamu maksud"
"Bukanlah"
"Ah Jihan, kamu PHP-in aku, tahu nggak?"
Aku melengos mencari bola mata Gabby, menatapnya dalam-dalam.
"PHP-in gimana maksudmu?"
"Ya aku berharap ucapan kamu itu memang buat pak Saga, kalau istrinya hanya sebuah perjanjian, jadi kan ada kemungkinan cerai, dan aku punya kesempatan buat deketin pak Saga"
"Aduh Gabby, bisa nggak si, kamu jangan terlalu berharap sama pria yang jelas-jelas sudah menikah"
"Tapi pak Saga ganteng banget, Ji. Pesonanya tak terlupakan"
"Tapi dia sudah punya istri, istrinya juga lebih cantik darimu?" Kembali menatap lurus ke depan. Ah aku memuji diriku sendiri.
"What?? Dari mana kamu tahu kalau istri pak Sagara cantik"
Aku membatu, tak tahu harus jawab apa.
"Ji?" Panggil Gabby ketika aku hanya diam terpaku.
"Y-ya, pak Sagara kan tampan kata kamu, jadi sudah pasti istrinya juga cantik, kan?"
"Tapi belum tentu juga Ji, biasanya di hukum alam itu, kalau suami tampan, istri jelek, kalau istri cantik, suaminya jelek, tua lagi, iya kan? Kita sering jumpa sama sepasang suami istri yang kayak gitu kan?"
"Nggak semua Gabby"
"Ih tapi aku berharap gitu, istrinya pak Saga jelek, terus pak Saga jadi bosan, terus cerai deh"
Aku mendesis, menggelengkan kepala untuk merespon ucapan teman konyolku. "Dimana Emma?" tanyaku menengok ke belakang.
"Dia tadi pergi ke toilet" Sahutnya dengan tatapan mengarah ke mas Sagara.
"Kamu lihatin apa Gab?"
"Pak Saga, siapa lagi?"
"Sadar Gabby, dia sudah beristri"
"Ah, nggak peduli, aku pengin jadi selingkuhannya"
Selingkuhannya? Bagaimana kalau Gabby tahu akulah istri pria yang dia idam-idamkan?
Apakah dia akan marah padaku, memusuhiku? Akan membenciku, atau nggak mau lagi temenan sama aku?
Kenapa ada saja yang aku pikirkan?
"Jihan, Gabby, sudah waktunya mata kuliah pak Saga, ayo masuk" Ucap Emma menyentuh pinggangku dari sisi kiri.
"Jam ini pak Sagara?" tanyaku.
"Hmm, kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa"
"Ayo masuk"
Aku dan Emma pun masuk, menarik tangan Gabby yang bisa ku pastikan sedang ngelamunin mas Sagara.
Segitu terpesonanya dia sama pria yang ternyata suamiku??
****
Sebelum memulai pembelajaran, mas Sagara selalu mengabsen nama kami, padahal dosen lain jarang sekali melakukannya. Mungkin kehadiran mahasiswanya menjadi catatan tersendiri baginya.
Sudah beberapa kali jam mata kuliah mas Sagara di kelasku, tapi selama sesi pembelajaran berlangsung, aku sama sekali tak menatapnya barang sebentar. Fokusku hanya pada apa yang dia jelaskan di whiteboard serta mata kuliahnya saja.
Mungkin karena tinggal satu atap, jadi bosan, plus orangnya menyebalkan. Beda dengan teman-temanku yang lain terutama perempuan, mereka seringnya justru mencuri pandang wajah mas Saga yang kata Nia terlampau tampan.
"Jihan Giska Anggara"
"Ada, mas" Tiba-tiba Emma menendang kursiku dari arah belakang.
"Mas?" Kata salah satu mahasiwa.
Saat aku menyadari tatapan menghujam teman-temanku, aku langsung membungkam mulutku sendiri.
"Maksud saya, pak" Kataku dengan suara teredam, sebab tanganku masih bertahan menutup mulutku.
"Yang benar saja Ji, masa panggil mas, ke pak Saga si"
"Iya, nggak sopan tau Ji" ucap Yang lain.
"Haduuhh... ngelamun lagi, ngelamun lagi. Secinta apa kamu sama Bara Ji? Sudah di boboin berapa kali sampai gagal move on gitu" Jelas suara itu keluar dari mulut Nia yang selalu sentimen padaku.
"Nia, tolong jangan bawa nama yang jelas tidak ada di kelas saya" Tegur mas Sagara dengan nada galak. Mulut Nia pun langsung terkatup rapat.
Sementara aku hanya diam. Selain memikirkan banyak hal, aku juga tengah menahan rasa nyeri di perutku karena efek datang bulan. Rasanya aku tak punya tenaga untuk mendebat mereka.
Pak Sagara sendiri kembali memanggil nama selanjutnya.
"Benar Ji, kamu ngelamunin Bara?" Bisik Emma selagi mas Sagara mengabsen kami.
"Enggak"
"Tapi maaf ya Ji, kok aku jadi kemakan ucapan Nia"
"Ucapan apa?" Balasku lirih.
"Kamu nggak pernah tidur bareng sama Bara kan?"
"Ish, ya enggak lah"
"Tapi kenapa kamu suka melamun sekarang?" Tanyanya dengan dada menempel di sisi meja. " Kalau ada masalah crita ke aku, siapa tahu aku bisa bantu"
"Nggak ada, Em.. Aku baik-baik saja. Tadi itu aku lagi inget mas Ryu, semalam kami sama-sama di marahin ayah karena kami ribut di tengah malam"
"Nggak ada kerjaan, ribut tengah malam?"
"Pak Sagara sudah selesai mengabsen tuh, nanti kalau dia tahu kita ngobrol, kita bisa di keluarin dari kelas"
Emma pun kembali menegakkan duduknya setelah ucapanku berakhir.
Huhhff padahal itu hanya alasanku.
Kami mulai konsentrasi dengan apa yang mas Sagara jelaskan, hingga tahu-tahu dua jam sudah berlalu, mata kuliah mas Sagara pun berakhir. Pria itu sudah meninggalkan kelas beberapa saat yang lalu.
Baru saja aku akan mengecek ponselku, sebuah pesan dari nomor mas Sagara masuk. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pola kunci dan langsung menyentuh pesan yang tertera di layar pop up.
Mr. S : "Sudah tidak ada jadwal kelas lagi kan? Aku tunggu di tempat parkir. Aku lagi jalan ke sana sekarang"
Tumben dia pulang lebih awal, biasanya ba'da asar baru pulang. Ada apa??
Saat tengah berfikir, pesan kedua kembali masuk dari nama yang sama.
Mr. S :"Lala masuk rumah sakit, bunda minta jemput ke kantornya, minta di antar ke rumah sakit sekalian karena tadi pagi di antar ayah, sekarang ayah lagi ke kalimantan buat cek situasi sana"
Kakak sakit??
Tak ingin buang waktu, dengan gerak cepat aku mengemasi buku-bukuku dan akan langsung ke tempat parkir.
Tiba-tiba suara Emma ku dengar di telinga sebelah kananku.
"Mr S?" Ucapnya yang sontak membuatku terperanjat saking kagetnya. "Siapa mr S?"
"B-bukan siapa-siapa"Jawabku gugup. "Aku pulang dulu ya, bundaku minta jemput ke kantornya"
"Tapi ada apa, Ji?"
"Nanti malam saja kita Video Call. Nanti ku critain"
Dengan langkah lebar aku segera berlari menuju parkir. Sepasang mataku juga sesekali melirik ke kanan, kiri dan belakang untuk memastikan tak ada teman yang melihatku memasuki mobil mas Sagara.
Soal pertanyaan Emma tentang mr S, aku bisa jelaskan nanti.
Begitu langkahku sampai di arena parkir khusus untuk para dosen, mataku kembali menelisik sekitar.
Saat kondisi aman, maksudnya tak ada seorangpun yang melihatku, aku bergegas menuju mobil suamiku dan langsung membuka pintunya.
Mas Saga yang sudah berada di dalam, langsung menyalakan mesin mobil.
"Apa bunda telfon mas?"
"Hmm" Responnya sambil melirik ke arah spion luar di sebelah kiriku.
"Kok bunda nggak telfon aku?"
"Kalau telfon kamu, kamu mau jemput pakai apa? Toh nggak ada bedanya kan, bunda mau telfon aku atau kamu"
Dalam situasi seperti ini, dia masih saja bicara dengan nada tak peduli. Padahal jelas sekali aku sedang was-was saat ini. Ya setidaknya lembut sedikit atau dengan nada yang enak di dengar, begitu.
Menghembuskan nafas berat, aku merasa sedikit kelelahan sebab baru saja berlari.
Setelah memasang seatbelt, aku langsung menyerobot botol air minum milik mas Saga yang ia simpan di dekat tuas gigi. Meminumnya tanpa berfikir kalau botol ini bekas ia minum.
Rasa asam karena jus lemon yang ku buat tadi pagi, membuat rasa dahagaku berkurang. Hanya sedikit, sebab air lemon itu tersisa sedikit.
"Kak Lala sakit apa?" tanyaku usai meneguk habis air lemonnya, lalu meletakkan kembali botol itu ke lobang tempat semula.
"Aku bukan siapa-siapanya, jadi nggak tahu"
Hufftt... Benar-benar menguras emosi.
Bersambung