Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Jika aku tidak ada
Raya membisu sepanjang jalan. Ia hanya melihat keramaian lalu lintas dengan tatapan kosong. Suara klakson yang sahut menyahut, seolah tak menebus pendengarannya. Mendadak kedua netranya dikejutkan oleh dua anak perempuan yang seperti beda usia, terlihat dari perbedaan tinggi tubuh mereka. Keduanya bergandengan tangan, berhenti tepat disamping Raya. Di lampu merah, seperti ini adalah pemandangan sehari-hari. Dua anak perempuan itu, tiba-tiba bernyanyi, sembari menepuk-nepuk kedua tangan.
...Seiring waktu berlalu...
...Tangis tawa di nafasku...
...Hitam putih di hidupku...
...Jalani takdirku....
...Tiada satu tersembunyi...
...Tiada satu yang terlupa...
...S'gala apa yang terjadi...
...Engkau-lah saksinya...
Seketika tangis Raya pecah. Ditatapnya, kedua anak perempuan itu. Tampak menggunakan pakaian kusam dan banyak tambalan. Rambut panjangnya acak-acakkan, wajah kehitaman dan belepotan. Tubuh kurus, tampak tak terurus.
"Ya, Allah. Anakku!" Air mata Raya luruh hingga bahunya bergetar. Ia merintihkan luka hati seorang ibu, teringat nasib putri semata wayangnya. Bagaimana jika ia meninggal dunia? Apakah Lily akan hidup seperti ini? Hidup tanpa orang tua, merasakan panas, hujan, dinginnya malam dan kejamnya dunia, tanpa ada yang memeluknya.
Raya memberikan seluruh uang dalam dompetnya. Ia mengusap rambut kedua anak itu bergantian, lalu berkata, "sayang, sehat-sehat, Nak."
"Terima kasih, Tante."
Lampu kembali hijau dan Raya masih menatap kedua anak itu yang menepi diatas trotoar. Ia terisak dan memeluk Retno dengan erat.
"Ra, kamu kenapa?" Retno merasakan jaketnya seperti basah.
"Tidak ada."
Raya belum bisa melupakan wajah kedua anak itu. Yang satu bernyanyi sembari bertepuk tangan, sementara yang satunya menengadahkan kaleng yang tampak kosong. Gurat kelelahan, terlihat sangat jelas diwajah mereka yang masih polos. Saat itu Raya bertanya dalam hati. Dimana orang tua mereka? Apa mereka sudah makan atau belum? Apakah mereka tidur dirumah atau hanya dipinggir jalan dengan beralaskan karton? Sepanjang jalan, air mata Raya tidak berhenti menetes. Lagi-lagi, ia teringat akan nasib Lily, jika dia sudah tidak ada.
"Ra, kamu nangis?" Retno melihat wajah Raya yang sembab, maniknya masih memerah menyisakan air mata.
"Lily, Ret." Raya berlari masuk dalam kamar kos, sementara Retno mengatur posisi motornya didepan teras, lalu menyusul.
"Ra, Lily kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
"Aku takut. Bagaimana jika aku mati dan Lily masih sekecil itu? Siapa yang akan merawatnya?" isak Raya.
"Istighfar, Ra." Retno memeluk sang sahabat, keduanya duduk diatas lantai yang dingin. "Kamu harus berpikir positif dan rajin mendo'akannya. Semua akan baik-baik saja."
"Aku takut, setelah melihat anak kecil tadi, di lampu merah. Mereka mengingatkanku kepada Lily. Dia masih tiga tahun. Jika aku mati, bagaimana nasibnya? Ibuku sudah tua, ayahnya tidak akan peduli, apalagi sebentar lagi dia akan punya anak dari istri barunya." isak Raya semakin tak terbendung. Ia meraung-raung, sembari menghirup oksigen dengan susah payah.
"Ra, please! Tenanglah, aku mohon." Retno ikut menangis dan mengeratkan pelukannya. "Kamu harus kuat, Ra. Semua pasti baik-baik saja."
Raya mengangguk, namun tangisnya tak juga reda. Takdir Tuhan, siapa yang tahu. Ia benar-benar takut, jika Lily hidup sebatang kara.
"Lebih baik kamu telpon Lily. Biar perasaan kamu tenang," saran Retno.
Dengan cepat, Raya melakukan panggilan video call. Dan betapa senangnya, saat wajah Lily muncul dalam layar.
"Mama," panggil Lily.
"Anakku," Raya mencoba menahan air matanya yang nyaris jatuh. "Lily sudah makan, Nak?"
"Udah. Mam ikan goleng, mam sayul ijo."
"Alhamdulillah, ya Allah." Raya menghapus wajahnya, lalu tersenyum. "Lily, sehat-sehat, ya Nak. Jangan lari-lari, nanti jatuh."
"Mama, kapan puyang?"
"Nanti yah, sayang. Mama masih kerja, cari uang. Oma mana?"
"Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?" Wajah ibu Raya muncul di sebelah cucunya.
"Alhamdulillah baik. Bu, titip Lily, yah. Tolong, kalau ada apa-apa, langsung telpon aku. Jangan sembunyikan apapun, dari aku."
"Iya, Nak. Ibu paham, perasaan kamu."
Hampir satu jam, Raya melepaskan rindu pada ibu dan putrinya, meski ia tidak bisa memeluk mereka secara langsung. Namun, paling tidak, hatinya menjadi tenang.
"Bagaimana?" Retno menyajikan mie instan dalam mangkuk dan nasi ditempat terpisah.
"Alhamdulillah, aku jadi tenang. Terima kasih."
"Sama-sama. Aku kan sudah bilang, lebih baik kita tinggal berdua. Jika kamu sendirian, aku yakin kamu akan nangis tiap hari."
"Kamu benar. Tidak ada teman mengobrol, sepertinya aku akan benar-benar gila."
"Hahaha .... Ayo, makan. Libur nanti, sepertinya kita harus mengisi kulkas."
"Kita butuh stock. Tapi, aku belum gajian. Bulan depan, aku yang isi ya."
"Iya, aku mengerti. Kita bukan, baru berteman kemarin, Ra."
Keduanya menikmati makanan seadanya. Mie instan tanpa sepiring nasi, sepertinya perut mereka hanya akan bertahan beberapa menit saja. Untung, Retno menambahkan potongan sayur dan telur. Jadi, dua bungkus mie instan, terlihat lebih banyak.
"Teman kamu, sepertinya baik. Aku menyukai sifatnya." Retno menambahkan satu sendok nasi.
"Dia sudah lama kerja disana. Dia baik, mau membantu dan juga mengarahkan aku dalam bekerja."
"Baguslah, dengan begitu kamu bisa nyaman. Tapi, kenapa nenek penyihir itu berada di sana?"
"Oh, dia biasanya check in kesehatan setiap minggu. Dulu, aku yang sering mengantarnya."
"Aku yakin, dia pasti cuma duduk manis dan kamu yang harus mondar-mandir kesana kemari."
Raya kembali teringat, saat ia menjadi menantu penurut. Sang ibu mertua duduk manis menunggu, sementara Raya harus bolak balik mengurus administrasi. Belum lagi, diruang pemeriksaan dan pengambilan obat.
Tapi, entah mengapa, dimata mertuanya, ia tidak pernah benar. Apa yang ia lakukan selalu saja salah dan disalahkan. Apa hanya karena ia tidak bekerja?
Raya tidak akan pernah lupa, bagaimana ibu mertuanya selalu menyindirnya tanpa mengenal tempat. Saat itu dirumah sakit, ibu Arya duduk sembari memperhatikan perawat dan dokter yang lalu lalang.
"Andai aku punya menantu seorang dokter atau perawat. Aku tidak perlu mengantri lama seperti ini," celetuknya, namun ujung matanya melirik Raya.
Bukan hanya di rumah sakit, melainkan di semua tempat, ketika ia melihat para independen woman. Wanita karir, memang memiliki nilai tersendiri dimata para ibu mertua. Tapi, bukankah wanita yang menjadi ibu rumah tangga, tidak berleha-leha didalam rumah. Bahkan, pekerjaan mereka tidak ada habisnya. Apalagi, Raya yang harus mengurus dua rumah sekaligus. Memasak dan membersihkan, namun masih saja kena semprot.
"Jadi, apa yang dikatakannya sebelum kami bertemu?" tanya Retno, membuyarkan lamunan Raya.
"Dia memintaku mengambil akta cerai dirumah, minggu depan." Raya meletakkan sendoknya, tatapannya berubah serius. "Apa ditempatmu ada lowongan?"
"Kenapa? Kau mau kerja tambahan?"
"Benar. Aku butuh pekerjaan lagi, agar bisa cepat menyewa rumah. Tahun depan, adikku akan kuliah. Alangkah bagusnya, jika mereka tinggal bersamaku."
"Ra," Retno menghela napas.
"Aku tidak punya pendidikan, paling tidak adikku harus memegang gelar sarjana. Tolong, aku Ret."
"Oke, aku akan bantu. Tapi, bagaimana kamu akan mengatur waktumu?"
"Aku akan menyesuaikan jadwal shiftku, agar tidak bertabrakan."
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat