Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Seperti ini.
Ansel sudah berganti pakaian dan duduk disofa, tempat Maya dirawat. Ia memegang foto hitam putih hasil USG.
"Aku hamil dan dia tidak mengakuinya. Dia membuangku!"
Ansel menghela napas, lalu bangkit mendekati Maya, yang terbaring dalam belum sadar. Ia mengelus rambut Maya yang sudah setengah kering.
"Apa begitu berat? Hm!"
Malam ini, untung saja, Ansel belum benar-benar pergi. Rombongan kepiting kecil, menarik perhatiannya. Ia berhenti untuk memotret dan mempostingnya di media sosial. Hingga suara tangis bercampur teriakan, membuatnya menoleh.
Ia pikir, kejadian ini akan sama, seperti sore tadi. Gadis itu, berteriak, menangis, lalu berenang. Namun, semakin diperhatikan, Maya pergi terlalu jauh dan tidak berenang.
"Sial!" umpat Ansel, saat itu. Lalu, berlari.
Hari ini, sudah dua kali dia berenang. Hari liburnya, diisi dengan berenang. Hahahaha, Ansel terkekeh, mengingat nasibnya.
Ponselnya berdering dan Ansel memilih keluar dari ruang inap.
"Kau dimana, Nak? Sudah malam, apa kau masih berenang bersama ikan di laut?" teriakan, yang sudah seperti makanan sehari-hari Ansel.
"Aku dirumah sakit, Ma. Aku ada pasien."
"Pasien, apa? Bukannya, kau libur?"
"Sudahlah, Ma. Aku ini dokter, wajar jika punya pasien dadakan."
"Lalu, kapan kau pulang?"
"Entahlah. Besok pagi, aku ada operasi. Mungkin, malam."
"Malam lagi?" Ansel menjauhkan ponsel, dari telinganya.
"Ma, dirumah ada papa dan tuan putri kecilmu. Kenapa terus memintaku pulang?"
"Selalu begitu. Ya, sudah. Besok anak teman mama mau datang. Sebaiknya, kau cepat pulang."
Belum juga dijawab, sambungan sudah terputus. Ansel kembali masuk dan mendapati Maya yang sudah duduk diatas bed.
"Kau sudah sadar?" Ansel menyambar gelas yang berisi air hangat. "Minumlah." Maya menerimanya, tanpa bertanya.
"Terima kasih," ujar Maya.
"Ini." Ansel memberikan foto hitam putih kepada Maya. "Mereka malaikat kecilmu," tunjuk Ansel.
Maya spontan membelalak dan menutup mulutnya, tidak percaya. Jantungnya berdegup dan matanya sudah memanas.
"Twins," lanjut Ansel, dengan tatapan hangat. "Aku tidak tahu, seberat apa, hidupmu. Tapi, bukankah lebih baik, kau terus maju? Menengok ke belakang, tidak memberikan apa-apa, selain pengalaman. Ambil hikmahnya dan jalani hidupmu. Diluar sana, ada hidupnya yang lebih berat, tapi mereka masih berusaha."
Terdengar suara tangis Maya, yang sudah pecah. Ia menutup wajah, dengan kedua tangannya.
"Dia sudah menikah dan menjalani hidupnya dengan baik. Kau bunuh diri, kau pikir dia akan menyesal dan menangis? Tidak, May. Kau salah, orang yang sudah pergi, akan dilupakan dan posisinya akan digantikan orang lain. Sudah seperti ini, aturan hidup. Yang lama, digantikan dengan yang baru. Ibarat sebuah barang. Kau memiliki tanggung jawab dan tujuan hidup yang baru. Jadikan, mereka motivasimu untuk bangkit. Buktikan, kau baik-baik saja tanpanya."
Suara tangis Maya, semakin menjadi dan menyesakkan. Ansel duduk di sebelahnya, membawanya dalam dekapan.
"Kau harus kuat dan bertekad, May. Didunia ini, tidak ada yang mudah. Semua manusia, punya masalah. Tergantung, kita menghadapinya."
"Aku takut, El. Aku sendirian dan tidak punya siapa-siapa. Tiga tahun, aku berjuang untuk impianku tapi, semua berhenti saat tinggal selangkah."
"Kau punya orang-orang di sekitarmu. Kau hanya perlu membuka diri dan berinteraksi. Jangan jadikan masa lalu sebagai beban dan menutup diri."
"Hiks, hiks, hiks...." Maya menenggelamkan wajahnya, didada bidang Ansel. Dan pria itu, menepuk punggungnya.
"Kau bisa menganggapku, teman."
Maya tidak menjawab, ia terlalu lelah. Ia hanya menangis dan mendengarkan Ansel, yang terus menceramahinya.
"Kau punya dua malaikat kecil. Pasti lucu, jika kembar identik. Kau memakaikan mereka pakaian yang sama." Ansel senyum-senyum sendiri, dengan imajinasinya. "Jika dia perempuan, kau bisa mengucir rambutnya. Jika laki-laki, belikan mereka topi yang sama."
Maya merasa sangat tenang. Cerita Ansel membuat tangisnya, berhenti. Ia melepaskan dekapan dan menatap pria yang baru dikenalnya hari ini.
"Apa aku bisa merawat mereka?"
"Tentu. Kau bisa. Kau tahu, ibu adalah pahlawan yang paling kuat. Dia bisa menahan apapun, apalagi untuk anak-anaknya. Kau hanya perlu, tersenyum, seperti ini." Ansel menarik kedua sudut bibir Maya, hingga membentuk lengkungan.
"Aku takut. Mereka menanyakan ayahnya. Aku takut, lingkungan tidak menerima, keberadaan mereka."
"Sebelum, kau memikirkan itu. Kau yang harus lebih dulu, menerima kehadiran mereka. Semua masalah ada solusinya, tinggal kita yang memutuskan untuk memilih yang mana."
"Terima kasih, El. Aku sangat berterima kasih. Maaf, aku sangat merepotkanmu."
"Tidak, apa. Sebagai, pelanggan kedai mu, itu sudah menjadi tugasku."
Kini Maya, tersenyum. Ia sudah merasa sangat tenang sekarang. Mungkin, inilah yang ia butuhkan. Seseorang yang mendukung dan berada disampingnya.
"Kau mau makan apa?" tanya Ansel, yang sudah bangkit.
"Aku sudah makan, sebelum berenang tadi."
"Hahahaha.... Iya, kau berenang dan tenggelam seperti batu," tambah Ansel, lalu tertawa bersamaan, "Aku akan keluar membelikan buah dan makanan. Ah, iya, kau butuh susu."
"Tidak perlu. Aku bisa membelinya nanti," tolak Maya, yang merasa sungkan jika harus berutang budi.
"Dipantai, tidak ada yang menjual susu, buah pun hanya beberapa jenis. Jangan menolak, anggap saja biaya kamar mandi."
Ansel sudah keluar ruangan, tidak peduli dengan penolakan Maya, yang ini itu.
"Maafkan, ibu, Nak. Ibu sangat minta maaf." Maya mengelus perutnya. Ia juga menatap foto hasil USG. "Ibu akan berjuang dari sekarang. Ibu berjanji, akan melupakannya. Kita tidak butuh ayah."
Di mini market, Ansel membeli banyak buah dan lima kotak susu ibu hamil. Ia juga membeli cemilan dan minuman, untuknya. Ia berencana untuk menginap, tidak peduli dengan si pemilik kamar, yang mungkin akan mengusirnya.
Keluar dari mini market, Ansel berjalan luar area rumah sakit. Ada banyak rumah makan dan restoran berkelas, yang berjejer. Ia ingat, menu di kedai Maya. Nasi ayam dengan sayuran dan telur rebus. Mungkin, ia harus membeli sesuatu yang berbeda dan sehat.
Tiga kotak makanan, kedua tangan Ansel, sudah penuh. Ia berjalan, kembali masuk rumah sakit.
"Bro, siapa yang sakit?" Pria berkemeja maron, dengan jas putihnya, bertengger dibahu.
"Teman. Kau baru mau pulang?" Ansel berhenti sejenak.
"Katanya, kau membawa gadis cantik, dengan pakaianmu yang basah. Pacarmu?"
"Bukan. Minggir, kau menghalangi jalanku!" Ansel berjalan cepat, tapi pria dibelakangnya masih mengikuti.
"Apa dia tipemu? Gadis-gadis disini sedang membicarakanmu. Kau bisa kehilangan penggemar, jika kau menikah."
"Pulang sana. Kenapa kau terus mengikutiku?"
"Aku mau melihatnya."
"Aku tidak ijinkan. Sekarang pergi!" usir Ansel, yang berdiri didepan pintu lift.
"Sekali saja."
"Tidak," tegasnya .
"Ya, sudah aku pulang. Kenapa kau sangat pelit?"
Ansel masuk dalam lift, setelah pria pengganggu itu menghilang. Sebelum masuk ruangan, Ansel. mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ada apa?" Ansel menatap curiga, pada tatapan Maya kepadanya.
"Apa ini pakaianmu?" tanya Maya dengan terbata.
Deg.
Sumpah, jantung Ansel seperti sedang berlari. Ia meletakkan semua makanan, sembari berpikir keras, jawaban yang tepat yang ia akan sampaikan.
"Ma-maaf. Aku terpaksa." Ansel menggaruk kepalanya, yang tidak gatal. "Aku hanya membukanya, sumpah. Aku tidak melihat apa-apa."
Siapa yang akan percaya, membuka baju orang lain, tanpa melihat apa-apa.
🍋 Bersambung