Kecewa, mungkin itulah yang saat ini di rasakan Donny Adriano Oliver. Bagaimana tidak harapan untuk segera membangun rumah tangga dengan kekasih yang sudah di cintainya selama enam tahun pupus sudah. Bukan karena penghianatan atau hilangnya cinta, tapi karena kekasihnya masih ingin melanjutkan mimpinya.
Mia Anggriani Bachtiar, dia calon istri yang di pilihkan papanya untuknya. Seorang gadis dengan luka masa lalu.
Bagaimanakah perjalanan pernikahan mereka. Akankah Donny yang masih memberi kesempatan kepada kekasihnya bisa jatuh cinta pada istrinya yang awalnya dia perlakukan seperti adik perempuan yang dia sayangi. atau Mia yang sudah lama menutup hati bisa luluh dan jatuh pada perhatian dan kasih sayang yang Donny berikan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunis WM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Epis. 17 Menjadik kakak adik
Bu Mira yang selalu siaga di depan pintu mengantar Fiona ke bawah setelah menutup pintu kamar utama. Fiona hanya menunduk saat ada di hadapan Donny yang tidak lain adalah bos besarnya.
“Terima kasih sudah datang” ucapnya tulus.
“Mia tidak seperti yang anda lihat, dia gadis yang baik”, ujar Fiona akhirnya walaupun sedikit kaku. Donny mengangguk sambil tersenyum. “saya tahu”. Fiona sedikit membungkuk memberi hormat pada Donny sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan rumah itu.
Alfandi megantarnya pulang. Sepanjang jalan Fiona hanya diam, pandangannya hanya mengarah pada kaca di sampingnya. Sesekali Al melihat dia mengusap pipinya. Pemandangan yang sangat bebrbeda saat tadi menjemput gadis itu. Tadi dia begitu cerewet membuat Al sedikit frustasi. Sekarang Al jadi mengerti mengapa Mia sangat menyayangi Fiona, atau tepatnya mereka saling menyayangi.
***
Donny panik ketika bangun dia tidak melihat Mia di tempat tidur dan selang infusnya menggantung begitu saja di tiangnya. Ada suara gemercik air dari kamar mandi menandakan ada orang yang sedang beraktifitas di dalamnya.
“Harusnya kamu membangunkan saya”, ucap Donny ketika Mia baru saja membuka pintu kamar mandi. “Kamu mandi?”, Donny mengeryitkan alisnya melihat Mia dengan jubah mandi dan handuk kecil yang melilit di kepalanya.
“Aku mau siap-siap ke kantor”, jawabnya. Donny menghela nafas dan dengan sabar menunggu Mia keluar dari ruang ganti.
“Kamu masih sakit, Mia”, ucap Donny lembut. Mia tersenyum menatap Donny.
“Aku sudah sembuh, lagi pula kemarin aku sudah bolos kerja, masak hari ini bolos lagi”.
“Dokter bilang kamu masih harus istirahat”, bujuk Donny. “kamu juga tidak perlu khawatir masalah pekerjaan, Al sudah mengurusnya”.
Mia membulatkan matanya mencoba bertanya, bagaimana Al mengurusnya, maksudnya apa hubungan masalah ketidak hadirannya di kantor dengan Al.
“Al sudah meminta izin atas nama kamu dengan pimpinan kamu”, Donny menjawab pertanyaan Mia yang tidak dia sampaikan. Donny lalu mendekat dan mensejajarkan dirinya dengan Mia, itu artinya dia sedang berjongkok karena Mia saat ini sedang duduk di depan meja rias.
“Maafkan saya”
“Mas”, Mia berdiri dan membatu Donny untuk berdiri lalu mengajak Donny duduk di sofa, Mia merasa tidak enak melihat Donny berjongkok sambil minta maaf padanya.
“Aku yang harusnya minta maaf”, Mia menunduk, “aku tidak seharusnya mengeluarkan kata-kata serendah itu”, ucapnya tanpa menatap Donny. “Maafkan aku”. Mia menyadari apa yang dia katakan waktu itu adalah kata-kata yang harusnya dia ucapkan pada seseorang yang mengambil kekasihnya tujuh tahun lalu.
Adalah hak Donny untuk membawa siapapun kerumahnya, toh mereka hanya terikat sebuah pernikahan di atas kertas. Tapi saat melihat kemesraan suaminya dan wanita lain membuat sebuah bayangan masa lalu muncul begitu saja di kepalanya. Pada akhirnya Mia mengucapkan kata yang sangat ingin dia katakan pada seorang wanita tujuh tahun lalu.
Donny mengagukkan kepalanya, dalam hati dia kagum karena Mia juga mengakui kesalahannya. “Apakah kita bisa saling melupakannya”, Donny mengaktat alisnya meminta persetujuan Mia. Mia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kali ini dia sudah berani menatap suaminya itu. Donny lalu ikut tersenyum.
“Mia”, Donny menatap Mia lekat. “Karena kita mungkin tidak bisa seperti layaknya suami istri pada umumnya, bagaimana kalau kita menjadi kakak adik yang sesungguhnya?” Donny terlihat serius dengan tawarannya. Mia lalu tersenyum, “ide yang bagus”, katanya tanpa berfikir.
“Kalau begitu sebagai seorang kakak mulai sekarang saya yang akan menanggung semua biaya hidup kamu tanpa terkecuali”, Mia terkekeh mendengarnya, namun dia bisa melihat kesungguhan di mata Donny. Donny mengangkat sebelah alisnya “bagaimana?”.
“Aku kan tetap harus kerja” ucap Mia. “Lagi pula ketika pernikahan kita berakhir maka hubungan kita juga otomatis berakhir”, Donny nampak mencerna apa yang dikataka Mia.
“Hubungan kita sebagai kakak adik tidak akan pernah berakhir”, ucap Donny menegaskan. Entah mengapa dia merasa ingin melindungi gadis yang ada di hadapannya ini, Donny juga tidak mengerti.
“Aku nggak mau jadi benalu, aku juga nggak mau bergantung hidup pada siapapun”, kali ini Mia yang sedari tadi menanggapi Donny dengan sedikit bercanda mulai terlihat serius. Tentu dia tidak mau mengulang kisah masa lalu, tergantung pada satu orang, lalu pada akhirnya orang itu meninggalkannya. Mia tidak mau memulai dari awal, membiasakan diri melakukan semuanya sendiri. Sangat berat dia melalui semua itu beberapa tahun lalu.
Donny tidak mau memaksa lagi. Dia akan melakukannya perlahan. Dia tahu wanita di depannya ini memang unik, tidak seperti kebanyakan wanita yang bisa tergoda dengan materi dan kemewahan.
“Tapi hari ini tetap nggak boleh kerja”, putus Donny tidak mau di bantah. Mia menghela nafas lalu dengan malas beranjak ke ruang ganti dan mengganti bajunya dengan pakaian rumahan dan Donny bersiap ke kantor. Melihat mia sudah lebih baik, dia memutuskan untuk ke kantor. Donny tidak suka berlama-lama meningalkan pekerjaannya.
Mereka lalu sarapan pagi bersama, Mia sudah sangat rindu masakan koki di rumah ini. Tapi dia harus kecewa ketika yang tersaji di depannya hanya semangkok bubur, sama seperti yang dia makan semalam.
“Kenapa?” Donny melihat ekspresi wajah Mia yang berubah saat melihat menu sarapan untuknya. “Kamu nggak suka?” tanyanya lagi. Mia menggeleng manja membuat Donny mengulum senyum. Mia yang seperti ini adalah Mia yang Donny kenal beberapa hari yang lalu sebelum pertengkaran mereka. Donny sangat suka Mia yang manja.
“Saya lihat kemarin kamu habisin buburnya, jadi saya pikir kamu suka”. Mia menatap malas pada mangkuk berisi bubur yang ada di depannya.
“Kalo aku nggak makan, Fiona nggak akan berenti ngomel”, Donny tersenyum lalu melihat Bu Mira. Bu Mira yang mengerti segera masuk ke dapur meminta koki membuat sarapan kesukaan Nyonya mudanya, nasi goreng.
Mia bertepuk tangan seperti anak kecil ketika nasi goreng kesukaanya tersaji di depannya, lalu dengan suka cita menikmatinya. Donny menaikkan sudut bibirnya melihat kelakuan Mia. Sangat menggemaskan menurutnya, dia jadi tidak percaya ada sisi pemberontak dalam diri wanita itu.
Ketika sedang asyik menikmati sarapannya. Ponselnya bergetar pertanda ada pesan masuk.
“Astaga”, pekiknya menepuk keningnya setelah melihat siapa yang mengiriminya pesan tanpa membaca isi pesannya.
“Ada apa?”, tanya Donny menautkan alisnya.
“Aku lupa transfer”, Mia lalu mengetik di layar ponselnya. Donny serius mengamatinya.
“Done”, Mia menyimpan ponselnya lalu kembali menikmati nasi gorengnya.
“Transfer apa, Mi?”, Mia mengedip-ngedipkan matanya. Panggilan Donny terdengar sangat akrab baginya. Hanya orang-orang yang sudah lama mengenalnya yang memanggilnya seperti itu. Donny mengankat keningnya melihat Mia yang tak kunjung menjawabnya.
“Transfer ke bank, nggak penting kok”, elaknya. Donny mengangguk. Dia melap bibirnya dengan tisu lalu beranjak.
“Saya ke kantor dulu, kalau kamu ada perlu kamu bisa minta tolong Bu Mira”, Mia hanya mengagguk, mulutnya penuh nasi.
“Saya titip Mia, Bu”,ucap Donny sebelum masuk ke dalam mobil. “jangan sampai dia melewatkan makan juga minum obat harus tepat waktu”, perintah Donny.
“Baik Tuan”, Bu Mira memnadangi Mobil sedan yang mulai meninggalkan halaman sebelum masuk kembali ke dalam rumah.