Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9.
"Besok pagi kita berangkat ke Amerika, bang Riki ada urusan di sana. Jadi sekalian kita ikut, naik pesawat pribadi." Sinta memberi tahu Fadila dan Dwi.
"Kita mau tinggal di mana nanti?" Tanya Fadila.
Saat ini ketiganya sudah sampai di rumah orang tua Dwi dan bersiap untuk tidur.
"Di apartemen, bang Riki."
Fadila dan Dwi mengangguk bersamaan.
"Dwi, aku bis aminta tolong gak?" Dwi dan Sinta menatap Fadila penasaran.
"Apa?" Tanya Dwi.
"Aku mau jual saja apartemennya." Fadila memilih untuk menjual apartemen itu.
"Tapi kenapa?" Tanya Dwi dan sinta bersamaan.
"Kalau apartemen itu ku pertahankan, itu sama saja mempertahankan kenangan dari Febri. Karena aku mau mulai hidup baru, jadi semuanya harus baru. Kenangan lama harus di bersihkan semuanya, jangan ada yang di tinggalkan. Lagi pula kita mau tinggal lama di Amerika."
Fadila menjelaskan semua maksudnya, niat awal untuk mempertahankan apartemen. Kini Fadila sirna saat mengingat hinaan Febri di pesta tadi.
"Kamu mau jual tiga apartemen itu di perusahaan Devan?" Tanya Dwi di angguki Fadila.
"Iya, karena besok kita pergi. Akan lebih mudah kalau jualnya sama orang yang bisa di percaya. Dia pacar kamu, kan?"
Dwi melengos mendengar ucapan Fadila, telingan gadis itu juga sedikit memerah.
"Gak, kami gak pacaran kok." Sangkal Dwi yang malah membuat Fadila dan Sinta terkekeh kecil.
"Sudah-sudah, tidur." Dwi merebahkan tubuhnya sembari menutupi dirinya dengan selimut hingga kepalanya.
"Malu-malu meong dia," ucap Sinta yang di angguki Fadila.
Ketiganya tertidur bersama di satu ranjang yang sama. Semua itu biasa mereka lakukan dulu ketika masih kuliah dan Fadila belum menikah.
------
Pagi hari ....
Setelah bersiap dengan semua barang-barang mereka. Kini ketiganya di antarkan oleh supir Dwi menuju perusahaan Devan.
Pukul 10 pagi mereka sudah tiba di bandara dan langsung menuju pesawat yang sudah menunggu.
"Sudah siap ladys?" Canda Riki layaknya pilot yang akan menerbangkan pesawat saja.
"Siap, Kapten." Mereka tertawa bersama karena candaan sederhana itu.
Baru beberapa menit pesawat mengudara, Fadila sudah merasakan mabuk udara. Wanita itu bahkan hampir muntah jika saja tidak memakan buah pir yang di berikan Dwi.
Buah pir itu benar-benar membuat perut Fadila nyaman dan terasa dingin. Setelah makan beberapa buah pir, Fadila di suruh tidur di kamar yang ada di pesawat itu.
Tentu saja Dwi dan Sinta menemani Fadila karena takut terjadi sesuatu lagi pada teman mereka.
Beberapa jam berikutnya, mereka tiba di Amerika. Supir telah menjemput mereka untuk ke rumah sakit terlebih dulu, karena kondisi Fadila yang semakin lemah.
"Bagaimana Dokter?" Tanya Dwi dan Sinta bersamaan.
Mereka hanya bertiga di rumah sakit, karena Riki sudah harus pergi menemui seseorang.
(Percakapannya langsung pake bahasa Indonesia, supaya lebih mudah di pahami).
"Perkiraan saya, nona itu sedang hamil. Untuk lebih jelas, bawa ke Dokter kandungan."
Dwi dan Sinta kaget mendengar ucapan Dokter di depan mereka.
"Dokter gak bohongkan? Beneran teman kami hamil?" Tanya Sinta meyakinkan dirinya kalau yang di dengarnya tadi tak nyata.
"Saya tidak mungkin berbohong, Nona. Silahkan periksakan saja ke Dokter kandungan kalau tidak percaya. Saya permisi."
Dokter itu pergi meninggalkan Dwi dan Sinta yang segera berlari menemui Fadila.
Tanpa mau membuang waktu lagi, mereka segera pergi ke Dokter kandungan dan melakukan pengecekan.
Hasilnya sama seperti yang di katakan oleh Dokter sebelumnya.
"Aku gak sangka bakalan punya keponakan. Aku jadi bibi sekarang." Senang Sinta sembari mengangkat kedua tangannya bahagia.
"Sst!" Dwi mengingatkan Sinta kalau teman mereka diam saja.
Sinta memperhatikan Fadila juga seperti Dwi.
Fadila masih saja terdiam setelah tahu kalau dirinya hamil. Bahkan tangan kanan wanita itu memegangi perutnya dan tangan kiri memegangi hasil usg.
"Kamu ... Menyesali kehadirannya?" Tanya Dwi pelan.
"Dia ... Sudah 4 bulan. Kalau kamu menggugurkannya, aku rasa itu bukan ide yang baik." Sinta memegang bahu Fadila dan meremasnya pelan.
Fadila masih diam, sudah 4 bulan kehadiran janinnya dan dia tidak mengetahuinya. Bahkan Fadila tidak menyadari kalau perutnya membuncit.
Ia mengira kalau itu hal biasa karena Fadila yang jadi suka makan dan makanannya juga jadi lebih banyak.
"Walaupun dia anaknya Febri, tapi dia gak bersalah, Fa." Dwi mencoba mengajak Fadila bicara lagi.
"Kamu gak akan hilangkan dia juga kan?" Tanya Sinta.
Mengingat tadi malam Fadila mengatakan akan menghilangkan semua kenangan yang tersisa dari Febri. Dan janin itu adalah satu-satunya yang tersisa.
"Fa ..." lirih Dwi dan Sinta merasa sedih dengan keterdiaman Fadila.
Fadila menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
"Kalian kira aku setega itu untuk bunuh anakku sendiri?" Dwi dan Sinta bernapas lega mendengar ucapan Fadila.
Mereka sudah takut kalau Fadila akan bertindak nekat.
"Trus sekarang bagaimana?" Tanya Sinta.
"Aku akan membesarkan anakku sendiri. Aku bakalan lakukan semua yang terbaik untuk anakku." Tekat Fadila sembari mengusap perutnya sayang.
Apapun masalahnya dengan Febri, anaknya memang tak bersalah. Jadi tidak sepantasnya mendapatkan hukuman hanya karena ayahnya.
"Jangan lupakan kami," ucap Dwi.
"Iya, kami juga bakalan ikut besarkan si baby ini. Karena kita bakalan tinggal sama-sama terus mulai sekarang." Sinta sudah semangat lagi dan bisa menyuarakan kebahagiaannya.
"Tapi kalau di pikir-pikir, karena kamu sudah hamil 4 bulan. Itu artinya perceraian kamu sama Febri belum sah secara agama. Tunggu anak kamu lahir dan masa nifas kamu selesai, baru perceraian kalian sah."
Dwi mengatakan sedikit yang ia tahu mengenai perceraian untuk wanita yang sedang hamil.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kasih tahu Febri? Atau biarkan saja? Gimana kalau suatu saat nanti Febri tahu dia punya anak sama kamu dan ambil hak asuh anak ini?" Sinta yang duduk di samping Fadila mengelus perut temannya.
"Kalian tenang saja, dia gak akan bisa ambil apapun lagi dari ku. Karena salah satu surat yang di tanda tanganinya ada hak penuh dari semua yang ku dapatkan setelah perceraian. Dia gak akan bisa ambil apapun yang ku punya setelah pisah, dalam bentuk apapun."
Fadila memberitahu teman-temannya tentang salah satu surat yang di buatnya.
"Kalau begitu aman semuanya, kita juga sudah di sini. Untuk apa lagi kasih tahu dia, yang ada nanti kamu di bilang mau rebut suaminya di bayi ngeselin itu lagi." Dwi menatap Fadila yang duduk di belakangnya.
"Baby, Dwi. Baby, bukan bayi. Gemesin banget dia kalau bayi" Sinta meralat ucapan Dwi.
"Baby kan artinya bayi. Tapi khusus dia, bayi yang ngeselin bukan gemesin." Dwi tak mau kalah.
Fadila hanya diam mendengarkan keributan dari kedua temannya. Yang di lakukan wnaita hamil itu hanya mengelus perutnya.
Sudah lama Fadila mengharapkan kehadiran seorang bayi di perutnya. Dan kini akhirnya dia bisa memilikinya, meski baru mengetahuinya setelah perceraian.
Itu lebih baik dari pada anaknya kelak harus menanggung kebencian dari nenek dan pengacuhan dari ayahnya.
Fadila ingat kalau saat itu Febri pulang kerumah dalam keadaan marah. Karena Fadila yang selalu mendesak Febri dengan pertanyaan karena pria itu pulang larut malam tanpa berkata apa-apa.
Febri marah dan memaksakan dirinya pada Fadila. Dari sejak itu Fadila memendam kekecewaan dan mulai berani melawan pada Febri dan ibunya.
Kamu harus kuat menemani ibu, Nak. Batin Fadila seraya memejamkan matanya menyalurkan kehangatan pada bayinya di dalam.