Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di Sekolah
Ina menikmati mie ayam nya di meja kantin bersama Kinara, dia sudah ceria kembali, seolah tidak pernah terjadi apapun kemarin yang membuatnya merenung cukup lama dan sedih.
Isha bersama teman-temannya datang ke kantin, mereka berjalan melewati Ina dan Kinara. Isha terus menatap Ina yang cuek padanya, seakan Ina tak melihat mantan kekasihnya sekaligus adik iparnya itu.
Ketiga pemuda itu duduk bersebelahan dengan meja Ina dan Kinara, sementara itu Isha terus saja menatap Ina dari samping, berharap Ina akan balik menoleh padanya.
"Kalau masih suka samperin dong, jangan didiemin aja, nanti diambil orang loh!" celetuk Zidan, teman Isha, yang menyadari kalau Isha sejak tadi terus menatap Ina.
"Iya, kenapa harus di tahan-tahan? Kalau lu masih suka sama dia, lebih baik lu samperin deh, keburu di ambil orang malah bakal bikin lu nyesek!" timpal Aris.
'Bukan keburu lagi, tapi udah di ambil orang, dia kakak ipar gue,' Isha membatin, membalas perkataan teman-temannya.
Melihat Ina semalam mesra dengan Izhar, Isha pun jadi menyesal karena telah mengkhianati kekasihnya itu disaat Ina benar-benar mencintainya. Andai saja Isha tidak terbakar oleh api cemburu gara-gara Ina terlihat bersama Andre di bioskop saat itu, mungkin Isha tak akan memutuskan untuk berhubungan dengan Vina demi memanas-manasi Ina.
Penyesalan terbesarnya adalah, karena itu pula lah hubungannya dengan Ina hancur dan kini Ina tak akan bisa dimilikinya lagi.
"Na, si Isha kayaknya lihatin lu terus deh!" Kinara berbisik pada Ina.
"Biarin, emang gue peduli?" jawab Ina cuek.
"Tapi dia lihatin lu terus dari tadi, Na, mungkin dia pengen ngomong sama lu. Gimana kalau gue tinggal lu sendiri disini, biar kalian bisa ngobrol berdua dan menyelesaikan masalah kalian?"
"Buat apa? Masalah gue sama dia udah clear, gue udah gak ada masalah apapun sama manusia yang satu itu, jadi gak ada yang perlu di bicarakan dan di selesaikan lagi."
Kinara menoleh kepada Isha, pemuda itu memalingkan mukanya.
Selang beberapa menit kemudian, tiga orang gadis datang ke kantin.
Ina dan Kinara langsung merasa mood mereka rusak dengan kedatangan mereka.
Mereka tak lain adalah Vina dan dua temannya bernama Gita dan Claire.
Vina bergabung dengan Isha dan teman-temannya di bangku mereka, lalu memesan mie ayam sesuai porsi masing-masing.
Vina mendekati Isha dan menggenggam tangan Isha, tetapi Isha menepisnya seolah tak suka.
"Nah, si gundik udah datang, mood gue rusak, mending kita balik ke kelas aja!" Ina beranjak dari duduknya hendak pergi, malas sekali melihat Vina yang telah menjadi benalu dalam hubungannya.
"Tapi, mie ayam nya belum habis, katanya lu laper, habisin dulu lah mie ayamnya baru kita cabut!"
"Ogah, gue udah kenyang, males gue disini!"
Ina beranjak pergi dari tempat itu, tanpa menoleh kesana kemari lagi.
Isha yang melihat Ina pergi, juga beranjak dari tempat duduknya.
Vina menahan tangan Isha, "Lu ma kemana?" tanyanya.
Isha menatap Vina dengan tatapan dingin, "Lepasin tangan gue," pintanya datar.
Tanpa menunggu gadis itu melepaskan tangannya, Isha melepaskannya sendiri dengan kasar, kemudian pergi dari kantin meninggalkan teman-teman dan juga mantan perempuan yang pernah jadi selingkuhannya itu.
Isha pergi untuk menyusul Ina yang sudah lebih dulu pergi, dia ingin berbicara dengan Ina lagi.
Isha berjalan agak cepat untuk menyusul Ina.
Ketika melihat Kinara berjalan di belakang Ina, Isha langsung menarik tangan gadis itu, dengan isyarat meminta Kinara membiarkannya berdua saja bersama Ina.
Kinara menurut, dia membiarkan Isha melakukan apa yang di inginkan, yang terpenting baginya hubungan Ina dan Isha bisa seperti dulu lagi, karena yang Kinara tahu kalau keduanya masih saling menyukai.
Ina yang tidak sadar tengah di ikuti oleh Isha, tidak berbicara sepatah kata pun, dia masih terus berjalan menyusuri koridor sekolah untuk kembali ke kelas.
Saat tiba di depan ruangan seni, Isha lagi-lagi menarik Ina masuk ke dalam ruangan itu.
"Isha! Kenapa lu lakuin ini lagi? Gue mau balik ke kelas!" Ina memarahi Isha.
Ina berusaha keluar dari ruangan itu, tetapi Isha berdiri di pintunya, menghalangi gagang pintu agar Ina tidak bisa membukanya.
"Lu cuma boleh keluar dari sini setelah kita bicara, Na. Please, kasih gue waktu sebentar aja buat bicara berdua sama lu," ujar Isha.
"Bicara soal apa? Jangan kira lu bisa ngelakuin hal yang sama kayak kemarin ke gue, gue gak rela dan bakal teriak kalau lu mau lecehin gue!"
Ina takut Isha akan melakukan hal yang sama, menciumnya seperti kemarin.
"Jangan salah paham dulu, gue cuma pengen ngomong doang, gak akan ngapa-ngapain, sumpah!" Isha mengacungkan dua jarinya sebagai tanpa keseriusan.
Ina tidak memaksa keluar lagi, jika memang Isha hanya ingin berbicara, maka Ina akan mendengarkannya.
Ina melipat kedua tangannya di depan, " Jadi, lu mau bicara soal apa? Gue gak mau lama-lama sama lu disini, gue gak mau ada yang salah paham karena kita berduaan." Ina tidak mau berbasa-basi, langsung ke inti lebih baik menurutnya.
Ina menjauh dari Isha, memberikan jarak dari pemuda itu untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Isha akan melakukan tindakan bodoh lagi padanya.
Ina memilih duduk di dekat jendel dan Isha berdiri di pintu masuk.
"Gue minta maaf soal kemarin, gue udah lancang cium lu." Isha meminta maaf juga pada akhirnya.
Ina menoleh, "Udah? Kalau lu cuma mau bahas itu, gue mau keluar sekarang juga, gue gak mau lama-lama disini!"
Ina beranjak pergi, namun Isha mencegah karena pembahasan dengan Ina belum selesai.
"Apa lu bisa maafin gue?" tanya Isha.
Ina dan Isha menjadi saling bertatap mata, kali ini Ina dapat melihat keseriusan di mata Isha dalam meminta maaf padanya.
"Gue gak tahu bisa maafin lu atau nggak, gue terlanjur kecewa dan sakit hati atas apa yang udah lu lakuin ke gue. Lu tahu? Om Iz belum pernah cium gue, dia masih menjaga dengan baik apa yang udah jadi hak nya karena gue masih sekolah. Jangankan buat menunaikan kewajibannya, dia bahkan belum pernah cium gue demi bisa menghindari hal yang lebih dari sekedar ciuman bisa terjadi. Tapi lu? Kenapa lu tega mendahului Kakak lu sendiri, yang udah jelas-jelas 'pemilik' gue? Apa lu gak pernah mikirin gimana perasaan Om Iz kalau dia tahu istrinya dicium adiknya sendiri? Kenapa lu jahat sama dia? Apa dia punya dosa sama lu?" papar Ina, berusaha memendam emosinya pada Isha, yang menurutnya sangat jahat.
Isha tercengang, dia baru tahu kalau Ina dan Izhar ternyata belum menjadi suami istri sungguhan, hanya sebuah status pernikahan saja.
Isha pikir, Ina dan Izhar itu benar-benar suami istri pada umumnya, yang tentu saja telah berhubungan suami istri. Namun, diluar dugaannya, mereka belum pernah berkontak fisik secara intim seperti yang dia kira.
"Ja--jadi... Lu sama Abang, cuma status?" tanya Isha.
"Iya, hubungan kita emang cuma status, tapi gue udah nyaman sama dia dan bukan gak mungkin kalau gue bakal jatuh cinta sama dia juga. Dari cara dia menghormati gue dan menjaga gue, itu udah bisa membuktikan kalau Om Izhar sosok suami yang baik, sekalipun gue istrinya yang sah, tapi dia gak menuntut apapun dari gue."
"Tapi, lu masih bisa keluar dari semua ini, Na, sebelum terlambat. Lu masih bisa cerai dari Abang dan jalani kehidupan yang lu mau seperti gadis pada umumnya tanpa terikat status pernikahan. Gue gak rela kalau lu jadi istri Abang gue, lu cewek yang gue cinta, Na, lu harus tahu itu." Isha berupaya meyakinkan Ina untuk lepas dari Izhar.
Isha tak akan sanggup bila harus menyaksikan gadis yang dicintainya bahagia dengan kakaknya sendiri.
"Lu jahat, Sha! Om Iz hampir gagal menikah gara-gara Tante gue kabur, setelah gue bersedia buat gantiin Tante Ratih dan menikah dengan Om Iz, justru lu adiknya sendiri yang berusaha buat pisahin gue sama dia. Adik macam apa lu? Kenapa lu gak biarin Abang lu itu bahagia?!"
"Na, maksud gue bukan gue gak mau lihat Abang bahagia, tapi gue gak rela kalau dia bahagia sama cewek yang gue suka. Lu tahu sendiri gimana perasaan gue ke elu, gue cinta banget sama lu, Na, gue gak sanggup kalau harus liat lu bahagia sama Abang. Gue gak akan masalah sama siapapun Abang nikah dan bahagia, tapi kenapa harus sama lu!"
Isha menjelaskan maksud dari perkataan nya tadi, agar Ina tidak salah paham.
"Itu takdir, Sha, lu harus bisa terima apa yang udah Tuhan takdirkan. Hubungan gue sama lu harus berakhir di bangku sekolah dan gue akhirnya nikah sama Abang lu, itu adalah takdir yang udah di atur oleh Tuhan buat kita. Dengan kata lain, kita bukan jodoh dan jodoh gue adalah Om Izhar, Abang lu."
Setelah mengatakan itu, Ina keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Isha sendiri dengan perasaannya yang hancur.
Isha sedih untuk pertama kalinya ketika Ina bersikap seperti itu padanya, rasa kehilangan Ina dalam hatinya semakin terasa setelah Ina mengatakan pendapatnya tentang takdir mereka.
"Ina... Kenapa harus kayak gini, Na? Kenapa? Aarrrghhh!!!" Isha marah dan kecewa saat ini.
'bugh bugh bugh!
Tangannya dengan kerasa memukul dinding, rasa sakit akibat memukul pun tidak terasa olehnya. Rasa sakit hatinya lebih pedih daripada sakit di tangan.
Isha tak henti memukuli dinding ruangan seni,
melampiaskan emosinya pada benda mati yang keras itu.
***
'teeettt...'
'teeettt...
'teeettt...'
Bel pulang sekolah berbunyi, Ina dan Kinara gegas memasukkan barang-barang mereka ke dalam tas dan dengan riang keduanya keluar dari kelas, berdiri di halaman sekolah.
"Na, hari ini kita main yuk! Kayaknya udah cukup lama deh lu sama gue gak main keluar." Kinara mengajak Ina untuk keluar bersamanya.
"Memangnya lu mau kita pergi kemana?" tanya Ina.
"Kita jalan-jalan aja pakai sepeda, terus kita beli es krim, beli sosis bakar dan sebagainya gitu, gue kangen banget kita ngedate, hehehe."
"Ngedate? Gila lu, emangnya gue cewek apaan ngedate sama cewek juga!"
"Hahaha... Kan sama-sama jomblo, gak apa-apa kali kalau kita pacaran!" canda Kinara.
"Idihhh... Amit-amit, gue masih normal, kaga demen cewek juga!"
"Hahaha..."
Kinara tertawa keras, memang hanya dengan Ina lah setiap momen bisa menjadi asyik.
"Gimana kalau kita ke pasar aja? Gue mau bantuin Mama jualan ikan," Ina mengusulkan.
Sejak dibawa ke rumah Izhar, Ina belum pernah bertemu lagi dengan Ibunya. Rasa rindu pun sudah menumpuk dalam hatinya, ingin sekali Ina bisa bertemu dengan Bu Aminah.
"Eh, boleh banget! Gue kangen bantuin Bu Aminah jualan ikan di pasar, hayuk kita kesana!" Kinara bersemangat sekali, padahal hanya akan pergi ke pasar saja.
"Tapi, apa nyokap bokap lu gak akan marah kalau lu ke pasar dan pegang-pegang ikan?" Ina agak worry, takut ikut sertanya Kinara ke pasar akan menimbulkan masalah.
Itu dikarenakan Kinara anak orang kaya, yang tak pantas berada di tempat seperti itu.
"Kapan sih nyokap bokap gue pernah ngelarang gue main sama lu? Mereka orangnya gak fanatik atau suka ngerendahin orang, justru nyokap sama bokap itu senang kalau gue punya banyak pengetahuan dalam banyak hal."
"Ya udah, yuk kita pergi sekarang aja!" ajak Ina.
"Yuk!"
Ina dan Kinara saling berpegangan tangan erat, keduanya terlihat sekali seperti sahabat sejati, selalu akur dan kompak.
Karen Ina selalu datang ke sekolah di antar oleh Izhar, maka Kinara menitipkan sepedanya kepada satpam penjaga, agar nanti sopir pribadinya tak kesulitan untuk mengambil.
Ina dan Kinara masuk ke dalam mobil angkot bersama dengan siswa siswi lain yang memang kurang mampu diantara mereka.
Karen akan pergi ke pasar, Ina berpikir harus meminta izin terlebih dahulu pada Izhar, jadi Ina mengirimkan pesan chat pada suaminya.
[Om, aku mau ke pasar buat bantuin Mama jualan, aku akan pulang nanti sore, aku izin ya. ] Bunyi pesan dari Ina untuk Izhar.
Belum ada balasan, Izhar sepertinya sangat sibuk.
Ina memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Lu chatting sama siapa?" tanya Kinara.
"Itu... Ummm... Gue chatting sama teman di sosmed, maklumlah gue lagi cari gebetan baru, hehehe." Jawab Ina asal-asalan.
"Iiih... Lu gak ajak-ajak gue ah! Masa iya nanti lu punya pacar dan gue masih jomblo aja, jahat deh!" Kinara cemberut karena tak di ajak oleh sahabatnya mencari pacar.
"Yaelah... Gue juga gak bisa sembarang cariin cowok buat Tuan Putri kayak elu, cowok buat lu itu harus sepadan juga sama kasta lu. Emangnya gue? Kalau gue mah bebas mau sama cowok yang gimana aja, gak peduli kastanya kayak gimana, toh gue juga dari kalangan bawah, gak akan ada masalah."
"Gitu amat lu sama gue, gue emang Tuan Putri, tapi gue juga pengen dong bebas pilih pasangan, yang penting baik dan setia. Soal materi sih buat gue gak apa-apa cuma dari kalangan ekonomi menengah, yang namanya manusia sama aja gak sempurna."
Kinara terkadang ingin hidup bebas seperti Ina, dimana bisa menentukan lelaki mana yang akan dijadikan pacarnya tanpa harus memandang kastanya. Tapi Kinara tampaknya kesulitan dalam hal memiliki pacar, karena kebanyakan lelaki akan minder padanya hanya karena dia anak orang kaya.
Tak lama perjalanan dari sekolah ke pasar, mobil angkot yang mereka tumpangi sudah sampai di depan pasar tersebut. Ina dan Kinara turun setelah membayar ongkos, kedua gadis itu masuk ke dalam pasar untuk bertemu Bu Aminah.
Suasana pasar di siang hari tidak seramai saat pagi hari, namun para pembeli cukup banyak, karena biasanya tak sedikit orang yang baru bisa pergi ke pasar di siang bolong seperti ini.
Ina dan Kinara pergi ke tempat penjualan daging dan ikan yang berada di bagian dalam pasar, Ina celingak-celinguk mencari lapak sang ibunda.
Ina tersenyum saat berhasil melihat Ibunya yang sedang melayani pembeli, dengan cepat Ina dan Kinara menghampiri.
"Assalamu'alaikum!" ucap keduanya.
Bu Aminah menoleh, "Wa'alaikumussalam!" jawabnya.
Ina langsung memeluk Ibunya penuh kerinduan, begitu pun Bu Aminah yang juga balas memeluk rindu.
"Mama apa kabar? Aku kangen..." Ina bermanja pada Ibunya.
"Alhamdulillah Mama baik, kamu juga kelihatannya baik."
"Alhamdulillah aku juga baik kok."
Kinara meraih tangan Bu Aminah dan menciumnya, "Tante, apa kabar?" tanya Kinara sopan.
"Alhamdulillah, Tante sangat baik. Kamu semakin cantik aja Ra, semakin terlihat juga aura anak sultannya!" puji Bu Aminah.
"Tante bisa aja deh!" Kinara tersipu malu.
Mereka di persilahkan untuk duduk, karena Bu Aminah masih melayani pembeli.
'ting'
Ponsel Ina berbunyi.
Ina yakin itu balasan dari suaminya, sehingga Ina langsung memeriksa.
[Saya akan pulang malam, saya gak akan bisa jemput kamu. Apa kamu bisa pulang sendirian?] Bunyi pesan balasan yang Ina dapatkan dari Izhar.
[Aku bisa pulang sendiri kok, Om, jangan khawatir.]
[Pede, siapa juga yang mengkhawatirkan cewek bar-bar kayak kamu? Orang mau jahat sama kamu aja pikir dua kali pastinya.]
Ina cemberut, bisa-bisanya Izhar membalasnya seperti itu.
"Menyebalkannya si manusia kulkas emang gak ada lawan!" gumam Ina, sebal pada Izhar.
"Manusia kulkas itu siapa? Kok lu ngumpat gitu?" Kinara tiba-tiba bertanya, membuat Ina terkejut.
"Eh... Anu... Temen sosmed yang gue bilang tadi itu, dia orangnya emang kayak kulkas dua pintu, dingin dan nyebelin pula!" Ina berbohong.
"Oalah... Lagian kenapa harus cari cowok yang kayak gitu sih? Masih banyak cowok yang asyik di dunia ini."
"I--iya... Namanya juga kenal di sosmed, wajarlah
kalau gak sesuai harapan."
Kinara mangut-mangut, cukup puas dengan jawaban sahabatnya yang mengada-ada.
Ina menghela nafas lega, akhirnya lolos juga dari kecurigaan Kinara.
[ Kalau aku menginap di rumah Mama, apa boleh?]
Ina kembali mengirimkan pesan.
[Nggak boleh, kamu belum ada seminggu tinggal di rumah saya, jadi belum boleh nginep dimana-mana.]
Balas Izhar.
'Hish! Nyebelin ih! Masa nginep di rumah ibu sendiri gak boleh!' Ina menggerutu dalam hati.
[Saya harus kembali bekerja, jangan chat atau telepon saya lagi, karena hp saya akan di off, saya sangat sibuk hari ini.] Izhar memberitahu.
[Oke.] Balas Ina.
Setelah itu, Ina menyimpan ponselnya.
Untuk menghabiskan waktu mereka, Ina dan Kinara membantu Bu Aminah berjualan ikan, mereka menawarkan ikan-ikan itu pada para pembeli dengan suara yang lantang dan manja, membuat banyak pembeli suka mampir di lapak Bu Aminah.
...***Bersambung***...