Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Permainan Akan Segera Dimulai
"Dimana Malvin?" tanya Sean lagi, karena mbak Ajeng-nya malah diam dan papanya pun diam saja.
Sean bisa melihat dengan jelas ada peluh di dahi kedua orang dewasa ini. Papa Reza dan mbak Ajeng benar-benar kelelahan karena mengejar Malvin.
"Malvin-nya kabur Sen, papa Reza yang suruh mbak Ajeng lepas tadi," cicit Ajeng, menjawab dengan suaranya yang sangat pelan. Dia dilema, antara takut dimarahi Sean atau papa Reza.
Jadi Ajeng putuskan untuk memilih dimarah papa Reza saja, lagipula kedepannya dia akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sean, bukan pria berwajah dingin sekaligus menyeramkan ini.
Dan papa Reza yang disalahkan oleh Ajeng seketika menganga mulutnya, dia seperti di tusuk tepat di hadapannya.
Reza menoleh dan menatap Ajeng, namun wanita bertubuh mungil itu malah menunduk dan menyembunyikan wajahnya.
Maafkan aku Pa. ucap Ajeng, tapi hanya mampu dia ucapkan di dalam hati. Karena mulutnya tidak seleluasa itu untuk bicara dengan pria ini, lidahnya selalu kaku.
"Kenapa papa minta mbak Ajeng buat lepas Malvin?! itu kan hewan kesayangan ku! teman ku!!" pekik Sean, mulai berlagak tantrum, marah-marah dan menatap sang ayah dengan tatapan nyalang, penuh amarah.
Padahal percayalah, di dalam hatinya dia tertawa. Karena permainan akan segera di mulai.
Reza tergugu, selalu tak tahu mau menjawab apa tiap kali sang anak bertanya seperti ini. Dia tidak pandai membujuk, tak bisa merayu. Lidahnya betah diam dan akhirnya hanya diam.
"Pokoknya aku tidak mau tau! pokoknya Malvin harus kembali!!" pinta bocah itu dengan satu kakinya yang menghentak-hentak tanah.
"Sen, sabar Sen," ucap Ajeng, terpaksa ikut buka suara karena dilihatnya Sean mulai keterlaluan, membentak tidak sopan pada sang ayah.
"Mbak Ajeng juga! kenapa menuruti keinginan papa! memangnya Mbak Ajeng pengasuhnya papa?"
Ajeng mendelik, kenapa jadi serba salah begini pikirnya.
"Tapi Malvin sudah masuk ke danau itu Sen, tidak mungkin kita ambil lagi," lirih Ajeng.
"Ya sudah cari katak yang lain, pokoknya aku mau yang seperti Malvin! Titik!"
"Carinya dimana?" tanya Ajeng lagi, disini tidak ada sungai seperti di kampungnya, tidak ada hutan atau kebun pisang. Ajeng bahkan selalu bertanya-tanya dimana Sean mendapatkan katak itu.
"Baiklah," jawab papa Reza akhirnya, akhirnya dia buka suara meski hanya 1 kata.
Tujuannya datang kesini memang untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang anak, dan mungkin memang ini lah jalannya.
Mencari Malvin yang lain.
Ajeng sedikit tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Baiklah apa?" tuntut Sean.
"Ayo kita cari katak yang lain," balas papa Reza, bicara seperti itu dengan wajahnya yang masih nampak dingin.
"Papa serius?"
"Tentu saja, mungkin di taman ini kita akan menemukan pengganti Malvin."
"Ya sudah sana cari!"
"Ayo kita cari berdua." Papa Reza mulai beranjak dari sana, dia tidak menggandeng Sean, namun bocah itu seperti tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah sang ayah.
Karena memang inilah yang dia inginkan, menghabiskan waktu bersama-sama.
Ajeng tergugu, ini seperti baru pertama kali dia melihat interaksi antara ayah dan anak itu. Meski masih terkesan dingin, namun setidaknya mereka sudah saling bicara.
"Mbak Ajeng! kenapa diam saja! ayo ikut!!" ajak Sean dengan suara yang masih menggebu-gebu.
Sampai Ajeng tersentak dibuatnya.
Dengan jalan perlahan, mereka bertiga beriringan menyusuri taman tersebut.
Sangat berharap bisa menemukan Malvin.
Ryan yang telah kembali tersenyum kecil melihat kedekatan Sean dan sang ayah.
Kedua orang itu memang harus banyak menghabiskan waktu seperti ini.
Senyum Ryan makin tersenyum lebar saat melihat Ajeng yang berjalan di belakang, gadis itu kadang tertinggal karena kelamaan berjongkok dan entah mencari apa.
Lalu berlari dan bersama lagi, lalu ketinggalan lagi.
"Ajeng Ajeng," gumam Ryan tanpa sadar, kalimat itu seperti otomatis keluar dari mulutnya.