Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva
Sebulan yang lalu.
Hari itu, pagi-pagi sekali mas Seno sudah berangkat kerja. Aku bergegas masuk ke dalam rumah bersama anakku Seina untuk menghitung jumlah celengan ayam besar di dalam kamarku.
Sejak aku menikah dengan mas Seno, aku selalu menyisihkan sisa uang belanja ku setiap hari, entah itu lima ribu, sepuluh ribu, bahkan terkadang lima puluh ribu jika bahan makanan di dapur masih ada.
Dengan hati yang sangat bahagia aku menghitungnya hingga hampir satu jam, dan Alhamdulillah terkumpul jumlah yang lumayan banyak, cukup untuk membeli emas tiga gram, dan masih ada sisanya.
Aku sudah lama ingin membeli cincin emas murni dengan desain sederhana, polos saja agar tak mencolok. Toh bukan untuk bergaya tapi untuk tabungan ketika kepepet bisa ku gunakan.
Ku titipkan Seina sama Mbok Yun, jarak antara pasar dan rumah sekitar setengah jam naik ojek, tentu aku tidak ingin mengajak seina panas-panasan.
Tiba di pasar yang lumayan ramai, aku langsung menuju pusat pertigaan jalan yang menjurus ke kota, karena toko mas yang bagus itu ada di sana. Akupun berjalan cepat tak ingin meninggalkan Seina terlalu lama.
"Ada yang bisa saya bantu Bu?" sapa seorang pria, lebih tua sedikit dari Mas seno, pemilik toko emas tersebut
"Pak, aku mau beli cincin polos. Tiga gram berapa?" tanyaku, langsung saja.
"Oh sebentar." Bapak-bapak itu mengeluarkan dua cincin yang polos, untuk di cocokkan pada jari tengahku, karena jari manis sudah terisi dengan cincin pernikahan dari Mas seno.
"Yang ini Pak." kata ku, meletakkan salah satunya.
"Baik, ini nota-nya Bu." kata pria itu. Alhamdulillah, aku tersenyum senang mengantongi cincin beserta nota dari toko tersebut.
"Wah, ini uang akan saya simpan Bu, soalnya tukar uang receh sulit." katanya senang, melihat uang yang ku ikat tebal, padahal jumlahnya tak sampai empat juta.
"Iya pak, hasil nabung dari uang belanja kataku.
Akhirnya pria itu selesai menghitung uang receh milikku itu, kini sudah berpindah menjadi miliknya. Akupun segera pergi.
Masih ada sisa uang beberapa ratus ribu, akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa kue untuk mbok Yun, juga untuk di rumah, karena malam hari aku sering lapar.
Tiba-tiba aku teralih fokus ketika melihat ibu mertuaku berjalan tergesa-gesa menuju jalan utama.
"Lho, ibu mau kemana?" gumam ku heran, membawa kantong besar berisi kotak makanan. Apakah dia sedang mengantar kue? Pikirku. Tapi jauh sekali, biasanya ibu tidak mau terima order bayar di tempat, maunya orang yang datang dan bayar di rumahnya. Alasannya gak mau repot, gak ada yang nganterin juga.
"Bu!" panggilku, tapi perempuan lima puluhan itu tak mendengar, dia terus berjalan menuju gang belakang pasar. Mau kemana sebenarnya ibu? Ku putuskan untuk menemuinya sebelum pulang. Aku mengejarnya.
Langkah ibu cukup lincah, aku sampai keteteran menyusulnya diantara keramaian orang berlalu lalang.
"Lho, itu ibu mau kemana?" aku penasaran, karena ibu semakin masuk ke dalam gang sempit, sepertinya kos-kosan.
Hingga tiba pada kos-kosan paling belakang, paling sudut dan sepi.
"Ibu, akhirnya datang juga." aku mendengar suara tak asing dari dalam sana. Aku mengernyit sambil memiringkan kepalaku, memasang telinga lebih tajam.
"Maaf, tadi itu ada pembeli yang sedikit bawel. Ndak enak juga di tinggalin, udah langganan." kata ibu.
"Oh, tidak masalah asalkan ibu datang." Kata perempuan itu lagi. Aku semakin penasaran. Akhirnya ku putuskan untuk mengendap-endap mendekati jendela samping. Halaman belakang ini sangat sepi, tak ada orang, bahkan ada gedung terbengkalai di belakang ini.
"Sudah datang?" suara seorang lelaki kali ini. "Aku sedikit berjinjit, mencoba mengintip dengan hati-hati.
"Sudah Mas, ibuku sudah datang." kata perempuan itu, aku memberanikan diri untuk lebih dekat, ku sibak tirai jendela yang terbuka itu, sedikit menyipitkan mata lalu ku lihat siapa di dalam sana.
"Lusia?" gumamku, ku lepaskan tirai yang bergoyang di terpa angin. Aku menyandar di sudut bangunan dengan nafas gugup.
Kenapa Lusia bilang ibunya Mas Seno adalah ibunya? Aku mencoba menenangkan diri, tak mungkin aku pergi begitu saja setelah di sini. Ibu pun sepertinya sangat santai di dalam sana. Aku penasaran.
"Bu, apakah Mas Seno sering berkunjung?" tanya Lusia.
"Nggak pernah, mesti ini gara-gara gak di izinin sama istrinya." kata Ibu. Aku terkejut mendengarnya.
"Ibu bujuk dong, desak Mas Seno untuk menceraikan istrinya. Bukankah ibu sudah janji?"
Ya Allah, apa yang sedang mereka bicarakan, mengapa Lusia ingin aku bercerai dengan Mas Seno? Lalu ibu, Mengapa ibu sampai berjanji sama Lusia? Hatiku sakit mendengar ibu mertuaku seperti itu.
"Sabar! Kan ibu sudah janji, nanti akan ibu tepati. Ibu juga tidak mau perempuan itu menikmati jerih payah Seno, aku sudah membesarkan Seno dari masih bayi. Harusnya uang Seno itu aku yang menikmati. Paling tidak ya kamu, kamu anak ibu."
Degh.
Jantungku berdenyut ngeri, apakah maksud dari kata-kata ibu?
"Aku akan segera menyelesaikan urusanku sama Dias Bu, setelah itu aku ingin ibu menepati janji untuk menjodohkan aku sama Mas Seno, anak tiri ibu yang ganteng." Lusia terkekeh.
"Iya Nak, ibu janji." jawab Ibu.
"Jelas sekarang!" aku mengepalkan tanganku penuh amarah, tak akan ku biarkan dua wanita jahat itu merencanakan perceraian ku dengan Mas Seno!
Ah, satu lagi. Dia bilang urusan sama Dias, apakah dia itu sebenarnya juga hanya berpura-pura menerima Mas Dias, ataukah dia kecewa dengan Mas Dias lalu ingin bercerai?
Apapun itu, aku tidak akan membiarkan perempuan licik itu menghancurkan dua pria yang aku kenal baik, salah satunya suamiku.
Aku keluar dari sudut dinding belakang, menuju ke satu sudut lainnya untuk menemui Lusia.
"Dasar peremp_"
Huft.
Aku terkejut, seketika mulutku di bekap erat dari belakang, tubuhku di tarik paksa entah akan di bawa kemana.
"Eva! Ini aku!"
"Hah! Hah! Hah!" aku segera berbalik dengan nafas terengah-engah, dan ku dapati Mas Dias menekan telunjuk pada bibirnya.
"Sssuuttttt! Diam!" katanya.
Aku terperangah heran, sambil mengatur nafas yang sempat ngos-ngosan. Dia membawa aku ke dalam bangunan terbengkalai itu.
"Mas? Kamu ngapain di sini?" kataku.
"Justru aku yang nanya kamu, kamu ngapain di sini?" katanya penuh penekanan, dia menatap aku khawatir sekaligus gemas, ucapannya setengah berbisik.
"A_aku..."
"Dengar, kamu harus segera pergi dari sini. Jangan pernah datang lagi ke sini meskipun kamu lihat ibu mertuamu, atau siapapun ke sini. Mereka semua bukanlah orang baik." kata Mas Dias, dia berbicara padaku seperti berbicara kepada anak kecil yang polos.
"Aku tahu Mas, tapi Mas Seno_." Aku mengatur nafas agar lebih tenang.
"Sekarang pergi!" titahnya.
Aku memegang erat tas di antara lenganku. Sepertinya aku harus menunda untuk melabrak dua perempuan jahat itu. "Baiklah."
Baru saja aku akan melangkah keluar, terdengar langkah beberapa orang berlari ke arah kami.
"Gawat!" Mas Dias menarik tanganku ke belakang, mengajakku berlari menghindari beberapa orang pria menakutkan yang akan segera masuk kemari.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya