Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stasiun Radio
"Lihat ini!" Kinanti menunjukkan secarik kertas usang yang ia temukan di kamar 318. Setelah memecahkan kode Pupuh Maskumambang kemarin, mereka akhirnya berhasil menemukan petunjuk baru di ruangan tersebut.
Reza, yang baru selesai latihan basket, mendekat untuk membaca tulisan yang sudah memudar itu
"Suara-suara kami tidak akan hilang. 87.9 FM masih menyimpan jejak perjuangan. Temukan pemancar di tempat Pak Wiryo. -K"
"87.9 FM?" Dimas menggaruk kepalanya. "Aku tidak pernah dengar frekuensi radio itu di kota kita."
"Mungkin karena ini radio dari zaman dulu," kata Nadia sambil memotret kertas tersebut. "Tapi siapa Pak Wiryo?"
Bu Ratna, yang sejak tadi diam mendengarkan, tiba-tiba tersenyum. "Pak Wiryo adalah teknisi radio yang bekerja sama dengan jaringan Kartika. Rumahnya tidak jauh dari sini, di dekat bukit belakang kota."
"Masih ada rumahnya?" tanya Kinanti antusias.
"Ya, sekarang ditempati cucunya," jawab Bu Ratna. "Kebetulan saya kenal baik dengan keluarga mereka. Kita bisa mengunjunginya besok sepulang sekolah."
Keesokan harinya, setelah bel pulang berbunyi, keempat sekawan berkumpul di parkiran sekolah. Reza masih mengenakan seragam OSIS setelah rapat persiapan festival budaya.
"Maaf terlambat," katanya sambil mengatur nafas. "Rapatnya lebih lama dari perkiraan."
"Tidak apa-apa," jawab Kinanti. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia selalu merasa gugup setiap Reza ada di dekatnya.
Mereka berangkat dengan mobil Bu Ratna, melewati jalan berkelok menuju bukit. Pemandangan kota perlahan berganti dengan pepohonan rindang. Setelah sekitar 20 menit, mereka tiba di sebuah rumah tua bergaya kolonial.
"Selamat datang!" sapa seorang pria paruh baya yang berdiri di teras. "Saya Bambang, cucu Pak Wiryo. Bu Ratna sudah cerita tentang kalian."
Pak Bambang membawa mereka masuk. Interior rumah itu seperti museum mini, dengan berbagai peralatan elektronik tua yang dipajang rapi.
"Kakek saya memang kolektor barang-barang elektronik," jelas Pak Bambang. "Terutama radio. Dia yang membangun stasiun radio pertama di kota ini."
"Pak," Kinanti memberanikan diri bertanya, "apa Bapak tahu sesuatu tentang frekuensi 87.9 FM?"
Wajah Pak Bambang berubah serius. "Ah, frekuensi itu. Ya, itu adalah frekuensi rahasia yang digunakan jaringan Kartika. Kakek saya yang membuatkan pemancarnya."
"Apakah pemancarnya masih ada?" tanya Reza penasaran.
"Mari ikut saya," Pak Bambang membawa mereka ke ruang bawah tanah. Dinding-dindingnya dipenuhi rak berisi radio tua. Di sudut ruangan, sebuah pemancar radio besar tampak masih terawat.
"Ini dia," Pak Bambang mengelus pemancar itu dengan bangga. "Masih berfungsi sampai sekarang. Kakek selalu merawatnya, dan saya meneruskan tradisi itu."
"Tunggu," Nadia yang sejak tadi sibuk memotret tiba-tiba berseru. "Lihat ini!" Ia menunjukkan foto close-up bagian belakang pemancar. Ada ukiran kecil berbentuk bunga melati - simbol yang sama dengan yang mereka temukan di rumah sakit.
"Benar," Pak Bambang mengangguk. "Bunga melati adalah tanda untuk tempat-tempat yang terhubung dengan jaringan Kartika. Rumah sakit, gedung pertunjukan wayang, dan tentu saja, stasiun radio ini."
"Apakah... apakah kita bisa mencoba menghidupkannya?" tanya Kinanti hati-hati.
Pak Bambang tersenyum. "Tentu saja. Tapi yang lebih menarik adalah ini..." Ia membuka sebuah laci tersembunyi di bawah pemancar dan mengeluarkan beberapa rol rekaman tua.
"Rekaman siaran radio dari masa perjuangan," jelasnya. "Kakek menyimpannya dengan sangat hati-hati."
Dengan bantuan Pak Bambang, mereka memutar salah satu rekaman. Suara berderak terdengar, lalu sebuah suara wanita yang terdengar familiar mulai berbicara:
"Untuk saudara-saudara di garis depan. Bunga melati telah mekar di taman timur. Pengiriman akan tiba saat matahari terbenam. Pupuh Durma akan menuntun jalan..."
"Itu suara Kartika!" seru Kinanti. Ia mengenali suara itu dari rekaman yang mereka temukan sebelumnya.
"Dan dia menyebut tentang Pupuh Durma," tambah Reza. "Seperti kode yang kita pecahkan di gudang tua itu."
Mereka mendengarkan lebih banyak rekaman. Setiap siaran berisi pesan-pesan tersamar yang menggunakan kode serupa - bunga melati, pupuh-pupuh tradisional, dan istilah-istilah yang tampak biasa tapi menyimpan makna khusus.
"Jadi radio ini digunakan untuk koordinasi?" tanya Dimas.
"Tepat," jawab Pak Bambang. "Jaringan Kartika menggunakan siaran radio untuk mengirim pesan ke berbagai tempat. Gudang tua, rumah sakit, bahkan ke dalang wayang seperti Ki Sudarna."
"Tapi bagaimana mereka bisa yakin pesannya tidak disadap musuh?" tanya Nadia.
"Karena setiap kelompok punya kode khusus," jelas Bu Ratna. "Pupuh-pupuh yang berbeda untuk kelompok yang berbeda. Dan tentu saja, frekuensi yang berbeda-beda."
Saat mereka asik mendengarkan rekaman, Reza berbisik pada Kinanti, "Hebat ya, cara mereka menggunakan budaya tradisional sebagai kode."
Kinanti mengangguk. "Seperti yang kamu bilang waktu pertunjukan wayang kemarin. Mereka sangat cerdik memanfaatkan hal-hal yang tidak akan dicurigai."
Reza tersenyum. "Ngomong-ngomong, besok... um, kamu nonton pertandingan basket final kami kan?"
"Oh," Kinanti merasa pipinya memanas. "Tentu. Aku sudah janji sama Nadia mau bantu dokumentasi untuk mading."
"Bagus deh," Reza tampak lega. "Soalnya... aku mau kasih sesuatu setelah pertandingan."
Sebelum Kinanti sempat bertanya lebih jauh, suara Pak Bambang mengalihkan perhatian mereka.
"Nah, ini yang paling menarik," katanya sambil memutar rekaman lain. "Siaran terakhir sebelum Kartika menghilang."
Ruangan itu hening saat suara Kartika kembali terdengar:
"Untuk semua pejuang yang masih berjuang. Malam ini bunga melati akan tidur. Tapi akarnya tetap kuat di tanah pertiwi. Simpan baik-baik Pupuh Maskumambang, karena suatu hari nanti, generasi mendatang akan meneruskan perjuangan kita. Selamat tinggal, dan tetap berjaga..."
"Itu siaran terakhirnya?" tanya Kinanti pelan.
"Ya," jawab Pak Bambang. "Setelah itu, Kartika menghilang. Tapi seperti yang kalian lihat, dia meninggalkan banyak petunjuk untuk ditemukan."
"Dan sekarang kita yang meneruskan pencariannya," kata Reza, tangannya tanpa sadar menggenggam tangan Kinanti.
Bu Ratna tersenyum melihat mereka. "Kalian memang generasi yang dimaksud Kartika. Yang akan menemukan dan menjaga sejarah perjuangan ini."
Sebelum pulang, Pak Bambang memberikan mereka sebuah radio tua. "Bawalah ini. Radio ini bisa menangkap frekuensi 87.9 FM. Mungkin suatu hari nanti, kalian akan mendengar sesuatu yang menarik."
Di perjalanan pulang, mereka tak henti membicarakan temuan baru ini. Nadia sibuk mengedit foto-foto untuk dokumentasi, sementara Dimas mencatat semua informasi penting.
"Jadi sekarang kita punya radio yang bisa menangkap frekuensi rahasia," kata Kinanti sambil memperhatikan radio pemberian Pak Bambang.
"Dan besok ada pertandingan basket final," tambah Reza, memberikan senyum penuh arti pada Kinanti.
"Fokus dulu sama pertandingannya," goda Nadia. "Baru setelah itu mikirin hal lain."
Mereka tertawa. Di tengah misteri yang semakin dalam, persahabatan mereka juga semakin erat. Dan mungkin, seperti yang dikatakan Kartika dalam siaran terakhirnya, mereka memang generasi yang ditakdirkan untuk menemukan dan menjaga sejarah ini.
Malam itu, sebelum tidur, Kinanti mencoba menghidupkan radio tua itu. Ia memutar ke frekuensi 87.9 FM. Awalnya hanya terdengar desisan statis, tapi kemudian...
"Untuk para penerus perjuangan... Ini baru permulaan..."
Kinanti tersentak. Suara itu... Suara Kartika! Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya untuk menghubungi yang lain. Namun sebelum sempat mengetik pesan, ponselnya berdering lebih dulu. Telepon dari Reza.
"Kinanti! Cepat kembali ke rumah Pak Bambang! Ada... ada sesuatu yang harus kamu lihat!"
"Ada apa?" tanya Kinanti khawatir.
"Seseorang datang. Dia mencari informasi yang sama dengan kita. Dan... dia menanyakan tentang kamu."
Jantung Kinanti berdebar kencang. Tanpa pikir panjang, ia meminta izin orangtuanya untuk pergi dengan alasan ada tugas kelompok mendadak. Bu Ratna yang sudah dihubungi Reza menjemputnya.
Setibanya di rumah Pak Bambang, Kinanti melihat teman-temannya berkumpul di ruang tamu dengan raut wajah tegang. Dan di sana, duduk di sofa dengan segelas teh di tangan, adalah sosok yang membuat Kinanti terpaku.
"Arya?" nama itu meluncur dari mulut Kinanti tanpa sadar.
Pemuda berkacamata itu tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Kinanti."
Reza menatap bergantian antara Kinanti dan Arya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Nadia dan Dimas saling pandang, sementara Bu Ratna tampak sama terkejutnya dengan yang lain.
"Kalian... saling kenal?" tanya Reza akhirnya.
Sebelum Kinanti sempat menjawab, Arya bangkit dari duduknya. "Ceritanya panjang," katanya sambil menatap Kinanti penuh arti. "Dan kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."
Kinanti mengangguk kaku, masih tidak percaya dengan kehadiran sosok dari masa lalunya ini. Terlebih lagi, Arya kini meneliti hal yang sama dengan mereka - mencari jejak komunikasi rahasia masa perjuangan.
"Aku datang karena mendengar tentang pemancar radio ini," jelas Arya. "Tapi sepertinya kalian sudah selangkah lebih maju dariku."
Radio tua di tangan Kinanti terasa lebih berat sekarang. Kehadiran Arya membuka lebih banyak pertanyaan dalam benaknya. Mengapa dia ada di sini? Apa yang sebenarnya dia cari?
Malam itu berakhir dengan banyak tanda tanya. Dan saat mereka berpisah, Kinanti bisa merasakan tatapan Reza yang berbeda, Kebingungan, penasaran, dan sesuatu yang tidak bisa ia artikan.
Di dalam mobil Bu Ratna dalam perjalanan pulang, radio tua itu berbunyi lagi:
"Untuk para penerus perjuangan... Berhati-hatilah dengan siapa yang kalian percaya..."
Kinanti memejamkan mata. Misteri Kartika semakin rumit, dan kini masa lalunya ikut terbawa dalam pusaran teka-teki ini.
Awas ya kalau Hiatus Author.. Cerita nya bagusss Bangettt😭♥️♥️♥️
semangat nulis thor💪