Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Elowen berusaha mengatur napasnya yang memburu, tetapi tubuhnya terasa kaku, seolah tidak mematuhi perintahnya. Suara tidak keluar dari tenggorokannya; bibirnya terbuka, tetapi hanya keheningan yang menyertainya. Ketakutan membelenggunya, mencengkeram setiap inci dirinya dengan erat.
Tangannya gemetar, mencoba meraih ujung meja rias untuk menopang tubuhnya. Namun, sebelum ia sempat bangkit, pandangannya mulai kabur. Tubuhnya terasa semakin lemah, seperti kehilangan semua tenaga yang tersisa. Dalam diam, Elowen perlahan luruh ke lantai, matanya tertutup, dan kesadarannya menghilang begitu saja.
Kamar itu kembali sunyi, hanya terdengar embusan angin yang menyelinap masuk melalui balkon. Dari kegelapan, terdengar suara "klik"—suara jentikan jari yang begitu halus namun bergema dengan aura kekuatan.
Tubuh Elowen yang tak sadarkan diri perlahan terangkat dari lantai. Tidak ada tangan yang menyentuhnya, tidak ada tali yang menarik, tetapi seolah kekuatan tak terlihat mengangkatnya dengan lembut. Ia melayang menuju tempat tidur, terbaring sempurna di atas kasur, seperti seorang ratu yang ditidurkan oleh dunia magis.
Di balik tirai balkon yang berkibar pelan, sosok lelaki berdiri diam. Rambut cokelat gelapnya berkilau dalam temaram cahaya bulan, dan matanya yang berwarna olive memancarkan kilatan penuh misteri. Senyum tipis menghiasi bibirnya, menciptakan kombinasi antara keteduhan dan bahaya.
Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berbisik lirih ke arah Elowen yang tertidur lelap, "Tidur yang nyenyak, my mine. Semoga mimpi indah menemanimu... dan melupakan apa yang baru saja terjadi."
Angin dari arah balkon bertiup lebih kencang, menerpa tirai hingga terbang tinggi. Dalam sekejap, lelaki itu perlahan menghilang bersama embusan angin, meninggalkan kamar Elowen dalam keheningan yang tak biasa, seolah tidak pernah ada sesuatu pun yang terjadi.
...➰➰➰➰...
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyinari kamar tidur Elowen. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, seolah-olah ada tekanan yang mengendap di dalam dirinya. Elowen meraba-raba kepalanya, mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi yang ia temui hanya kekosongan yang tak dapat dijangkau. Suasana semalam terasa seperti mimpi, tapi anehnya, ia tahu—bahwa mimpi itu terasa sangat nyata. Bayangan lelaki dengan mata olive dan senyum tipis itu masih membayangi pikirannya, namun ingatannya mengenai kejadian tersebut tampak kabur, seperti dilapisi kabut.
"Apakah itu hanya imajinasiku?" gumamnya pelan, merasakan pusing yang semakin mengganggu.
Setelah beberapa saat, Elowen memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Ia melangkah menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin untuk mencoba menghilangkan rasa pusing itu. Namun, meskipun wajahnya terasa segar, kepalanya tetap berdenyut, seperti perasaan yang tertinggal setelah sebuah mimpi buruk yang tidak bisa dilupakan.
Setelah membersihkan diri, Elowen mengenakan pakaian dengan cepat dan keluar dari kamarnya. Ia berjalan perlahan menyusuri lorong panjang menuju ruang makan, di mana aroma sarapan pagi yang menggugah selera mulai tercium. Para pelayan dan maid yang ada di sekitarnya dengan cekatan menuntunnya sepanjang jalan, memberikan perhatian penuh pada setiap langkahnya, seakan-akan mereka tahu apa yang ia butuhkan tanpa harus berkata sepatah kata pun.
Saat langkahnya semakin mendekat ke ruang makan, suasana yang lebih tenang dan nyaman mulai mengalir ke dalam dirinya. Wajah-wajah yang ramah dari para pelayan di sekitar istana menyambutnya dengan senyuman, namun di dalam hatinya, ada rasa kekhawatiran yang masih tersisa. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa semalam bukan sekadar mimpi, meskipun semuanya terasa begitu jauh dan kabur.
Setibanya di ruang makan, Elowen melihat suasana yang berbeda dari biasanya. Semua orang sudah berkumpul di meja makan, dan suasana pagi yang tenang kini berubah menjadi lebih hidup. Valerie, Harison, Delta, Elliot, Beta Aldrick, dan Gamma Loreon sudah duduk di meja, berbincang santai. Namun, di antara mereka, ada satu sosok yang membuat Elowen berhenti sejenak di ambang pintu—Alpha Lucian.
Ketika matanya bertemu dengan mata lelaki itu, detak jantung Elowen seketika berdebar tak karuan. Perasaan takut dan cemas langsung menyelubungi dirinya, sementara rasa ingin menjauh sekuat tenaga muncul begitu kuat. Namun, anehnya, tubuhnya terasa seperti terikat, seolah ada penghalang tak terlihat yang membuatnya tidak bisa bergerak maju atau mundur. Seperti ada kekuatan yang menariknya tetap berada di tempat itu, membuatnya hanya bisa berdiri, terdiam beberapa detik, merasakan ketegangan yang semakin memuncak.
Lucian duduk di salah satu sisi meja, matanya yang tajam seolah menembusnya, membuat Elowen merasa terperangkap dalam pandangannya. Senyum tipis menghiasi bibir lelaki itu, senyum yang seolah-olah tahu segalanya—termasuk apa yang terjadi dalam diri Elowen.
Valerie yang duduk di samping Elowen, menyadari ketegangan itu, menoleh dengan tatapan penuh perhatian. "Elowen, mari duduk," ujarnya lembut, memecah keheningan yang menggelayuti udara.
Tapi Elowen tetap terdiam, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia ingin mendekat dan bergabung dengan mereka, namun di sisi lain, ketakutan akan Lucian membuat langkahnya terasa terhalang.
"Apakah ada yang salah?" tanya Loreon, memperhatikan Elowen yang tampak ragu.
Sebelum Elowen bisa menjawab, suara Lucian terdengar lembut namun tegas, "Apakah kamu takut padaku, Elowen?"
Elowen menelan ludah, terkejut mendengar suaranya yang begitu dekat. Lucian tidak hanya tahu apa yang dirasakannya, tetapi seolah-olah bisa membaca setiap gerakan tubuhnya. Mata Elowen teralihkan, menghindari tatapan lelaki itu.
"Lucian, jangan terlalu mengganggu," Valerie berkata dengan nada tenang, mencoba meredakan ketegangan yang mulai merambat di ruang makan.
Namun, Lucian hanya tertawa pelan, tetap dengan senyumnya yang misterius. "Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang tamu kita yang baru."
Elowen merasa perasaan takut dan kebingungannya semakin menguat. Ia ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya terasa seperti terhimpit oleh sesuatu yang tak terlihat, memaksa dirinya untuk tetap tinggal.
Loreon yang duduk di sisi lain meja, memperhatikan ketegangan yang semakin terasa di antara Elowen dan Lucian. Meskipun ia mencoba untuk tetap tenang, ada rasa gelisah yang mulai memunculkan dirinya. Tatapannya yang dingin dan penuh perhitungan, kini beralih ke Lucian.
"Lucian," kata Loreon, suaranya terdengar cukup tenang namun tegas, "jangan berlebihan." Ia berbicara dengan cara yang seolah-olah tak ada masalah, namun setiap kata-katanya terasa seperti peringatan halus. "Elowen baru saja datang. Kita harus memberinya ruang, bukan?"
Lucian menoleh dengan senyum licik di wajahnya, namun kali ini ada kilatan ketajaman di matanya. "Tentu, Loreon," jawabnya dengan suara lembut namun ada sedikit nada mengejek. "Aku hanya ingin sedikit mengenalnya lebih dekat."
Loreon meletakkan gelasnya dengan pelan, menatap Lucian dengan tatapan yang masih tenang namun penuh arti. Suasana di ruang makan itu terasa sedikit lebih tegang, dengan Elowen yang masih merasa tidak nyaman di hadapan Lucian. Loreon kemudian meluruskan punggungnya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara yang tegas namun tetap terukur.
"Lucian," kata Loreon, matanya tidak lepas dari pria itu. "Kita semua ada di sini sebagai tamu, dan sebagai tamu, kita harus tahu batas." Ia mengucapkan kalimat itu dengan lembut, namun dengan kekuatan yang tak terbantahkan. "Seperti kita menghormati Alpha Harison sebagai pemimpin di sini, kita harus menunjukkan rasa hormat yang sama kepada rumah ini dan semua yang ada di dalamnya."
Lucian menatap Loreon dengan tatapan tajam, namun kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di balik matanya. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, meskipun itu tidak mencapai matanya. "Tentu," jawab Lucian singkat, namun ada nada yang tersirat dalam kata-katanya yang tidak sepenuhnya meyakinkan.
Loreon tetap diam beberapa detik, memastikan bahwa pesan yang ia sampaikan telah diterima, sebelum akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya ke Elowen yang masih terlihat cemas. "Mari kita semua tetap tenang dan saling menghormati," lanjutnya, "agar kita bisa menikmati waktu kita di sini tanpa ada ketegangan yang tak perlu."
Suasana kembali menjadi sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan antara Loreon dan Lucian masih terasa di udar
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏