Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22. Serahkan Padaku•
#22
Pria berperawakan tegap itu berjalan memasuki sebuah mansion mewah, pakaian rapi dan formal adalah bagian dari pekerjaannya, bukan hanya dia saja, namun semua pengawal yang bekerja di mansion ini wajib berpakaian formal.
Tanpa perlu melalui prosedur yang panjang, pria itu masuk ke dalam, menghampiri sang nyonya, istri dari pemilik mansion megah ini.
Pria itu adalah pengawal pribadi Renata, ia baru kembali dari mengerjakan tugas yang Renata berikan.
Melihat kedatangan pengawalnya, Renata segera menghentikan sarapan paginya. Ia berjalan menuju ruang kerja diikuti oleh pria tersebut. Pria itu bernama Marcus.
Renata duduk di kursi kebesarannya, di dalam ruang kerjanya ia tak bersua saja, namun ada juga sekretaris yang biasa menyiapkan segala sesuatu untuk Renata, namanya Inez.
“Katakan hasil penemuanmu.”
“Sejauh ini aktivitas Nona Alley memang tak mencurigakan,” lapor Marcus.
“Namun … ada pergerakan mencurigakan dari rekening Nona Alley.”
Renata menaikkan kedua alis matantanya, “Nona Alley mengirimkan sejumlah uang ke rekening seseorang, yang berada jauh di Indonesia.”
“Selidiki terus, aku mau bukti konkret.” Renata kembali memerintahkan.
Kedua tangan kanannya sudah sangat tahu seperti apa kehidupan yang Renata dan Gerald jalani, jadi mereka pun mengerti jika Gerald dan Alley bukan hanya sekedar bos dan sekretaris biasa.
Karena itulah, mereka tak perlu melaporkan apa yang terjadi ketika Renata tidak berada di tempatnya.
“Nyonya, Apakah kita akan tetap pergi ke Afrika?” tanya Inez memastikan kesediaan Renata dalam misi kemanusiaan kali ini.
“Iya, lanjutkan saja, aku bisa mati sesak jika tidak keluar dari mansion ini sesekali.”
Rumah megah serupa istana ini, menyimpan banyak kenangan Edgar, dan Renata sangat merindukan putra semata wayangnya tersebut. Edgar nyaris selalu ikut kemanapun ia pergi, jadi Edgar seperti sebuah hiburan yang tak bisa digantikan oleh apapun.
Karena itulah, hingga kini ia tak menyerah melakukan penyelidikan demi mengungkap siapa dalang yang telah tega menghabisi putra kesayangannya.
•••
“Aku rasa kita benar-benar beruntung,” ujar Dhera.
“Atau memang telah tiba saat kehancurannya,” timpal Danesh.
Sementara itu di tempat berbeda, Rara dan Bastian tengah melakukan pengintaian selama kurang lebih 2 malam di depan toko barang antik milik madame Vivi. “Toko barang antik, apakah ada tanda-tanda mencurigakan?”
“Sedikit,” jawab Bastian, “ada beberapa pria menggunakan masker, masuk ke toko barang antik, namun ada juga yang masuk, dan tidak pernah keluar sama sekali.”
“Rata-rata mereka masuk dengan membawa tas berukuran besar, lalu keluar dengan tangan kosong.” Rara mulai merinding ketakutan, membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.
“Sepertinya, Madame Vivi hanya menerima uang tunai saja, karena tak ingin ada pihak-pihak yang mengendus aktivitas rekening perbankannya,” gumam Dhera.
“Tepat sekali, jika demikian, kemana kira-kira mengalirnya uang itu?” tanya Marco.
“Itulah gunanya G.E.R Foundation, mencuci uang-uang haram hasil penjualan obat terlarang.” Dari tempatnya Danesh menjawab pertanyaan Marco.
“Bajingan-bajingan itu benar-benar … “ geram Bastian.
Mereka terus berkomunikasi via earphone, jadi dimanapun berada, diskusi tetap berjalan tanpa perlu mengganggu aktivitas harian.
“Baiklah, tetap waspada, sebentar lagi iring-iringan Baldi tiba.”
Tugas sudah mereka bagi, sementara Danesh dan Marco mengawasi dari kejauhan, Dhera bisa di posisi depan, karena sementara ini, dia adalah salah satu dosen yang bertugas menyambut kedatangan tamu penting hari ini.
Kampus ini menerima donasi yang tak sedikit dari G.E.R Foundation, karena itulah, kedatangan Baldi disambut bak yang mulia raja, yang telah menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Suguhan mewah, bahkan podium khusus mereka persembahkan untuk pria itu, karena Baldi pun akan memberikan sepatah dua patah kata sambutan.
Bagi yang tidak mengenal siapa Baldi, mereka hanya senyum-senyum saja, namun bu Maria alias Dhera harus menahan rasa mual karena ia sudah tahu siapa pria yang sedang ia hadapi saat ini.
“Kami berkomitmen akan menjadi pendukung penuh kegiatan pendidikan di Kampus ini, demi masa depan para bibit-bibit unggul generasi penerus bangsa.”
“Pesan kami untuk kalian semua, belajarlah dengan tekun, gali semua potensi dan sumber daya yang ada di sekitar kalian, dan jadikan itu semua peluang untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya.”
Begitulah kutipan singkat pidato Baldi, membuat Dhera semakin mual dan ingin memuntahkan isi perutnya.
‘Manis sekali gaya bicaramu, padahal kamu sendiri menjual dan menyelundupkan cherry pil untuk merusak otak generasi muda’, gumam Dhera dalam hati.
Hingga satu jam berlalu, acara tersebut pun usai.
“Panggilan untuk Kang service … panggilan untuk Kang service.”
“Secepat itu?”
“Kamu lupa siapa aku?” sesumbar Rara.
“Okey, Kang service siap meluncur. Kapt … aku bergerak ke lokasi selanjutnya,” pamit Marco.
“Hmm, hati-hati, dan tetap waspada.”
Marco meletakkan tangannya di kening, tanda mengiyakan pesan Danesh.
Beberapa jam yang lalu, Rara sudah mengirim virus untuk mengacaukan komputer milik sekretaris Baldi. Disamping itu, ia juga menyadap panggilan untuk tukang service yang bisa dipanggil oleh sang sekretaris. Dan waalah kini mereka siap masuk ke misi yang lebih serius.
Karena wajah Danesh yang sudah sangat di kenali oleh Baldi dan sekretaris nya, maka terpaksa Marco yang maju.
Tak sampai 30 menit, Marco tiba di alamat tujuan. Seorang wanita tengah mondar mandir di teras rumah sembari menggigiti kukunya.
“Service,”
Wanita itu bernafas lega, “Ah, syukurlah kamu tiba lebih dulu,” sambutnya dengan wajah berbinar, hingga ia tak menyadari perbedaan pakaian yang Marco kenakan, berbeda dengan tukang service yang biasa ia panggil ke rumah.
“Boleh tahu, ada masalah apa, Nona?” Mereka berbincang sepanjang perjalanan menuju ruang kerja.
“Aku membuka sebuah gambar, yang dikirimkan pacarku, tapi ternyata aku salah, itu hanya Virus, karena pacarku bilang, dia tak mengirimiku apa-apa,” jawab Clara panik.
Yah, wanita itu adalah Clara, adik sepupu kesayangan Baldi. Tentu hanya Clara yang bisa Baldi percaya mengoperasikan komputer pribadinya, karena ia tak mungkin mempercayakan benda maha penting tersebut ke tangan orang lain.
Mereka tiba di ruang kerja, dan Marco melihat virus kiriman Rara memang sedang bekerja. “15 menit. Bisakah kamu membereskannya dalam 15 menit?”
“Heh?!” Marco memastikan pendengarnya.
Clara tersenyum, namun wajahnya aneh, “Tolong aku, 15 menit lagi ia sampai di rumah ini, dan Kakakku bisa membunuhku kalau sampai tahu komputer ini bermasalah,” pintanya dengan wajah memelas.
Marco mengangguk, senyum di wajahnya pun tak kalah aneh, “Tapi aku butuh privasi, aku tak bisa bekerja jika diawasi.”
Clara mengangkat kedua jempol tangannya, “Aman, aku akan berjaga di depan pintu, sekaligus mengalihkan perhatian Kakakku. Setelah selesai Ku bisa langsung pergi, aku akan mentransfer biaya jasamu.”
“Percayakan padaku, Nona.” Marco menjawab, semakin mudah saja pekerjaannya.
Clara segera pergi meninggalkannya, ketika Marco mulai mengutak atik laptop tersebut. “Ra, aku sudah memasukkan USB-nya,” ujar Marco, sembari membuka permen yang ia ambil dari kantong bajunya.
“Okey, sisanya serahkan padaku.”
Jari jemari Rara mulai bergerak lincah, dari tempatnya saat ini, ia menyalin semua data dari komputer utama ke server yang sedang ia operasikan saat ini.
Sambil menunggu Rara bekerja, Marco menatap sekeliling ruang kerja tersebut, ia juga mengamati sekeliling meja, namun tak melihat ada yang mencurigakan.
Tiba-tiba…
Klek!
Seseorang membuka pintu ruangan tersebut.
“Kak, kamu sudah pulang?”