Pesan Masa Lalu

Pesan Masa Lalu

Jurnal Tua

Debu beterbangan ketika Kinanti membuka pintu loteng yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh. Sinar matahari sore menerobos masuk melalui celah-celah genteng, menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang memotong keremangan ruangan. Gadis berusia tujuh belas tahun itu mengeratkan genggaman pada senter di tangannya, meskipun cahaya yang masuk sudah cukup untuk menerangi sebagian besar ruangan tetapi ada sedikit rasa takut dalam hatinya.

"Eyang bilang kopernya ada di sekitar sini," gumamnya sambil menyapukan pandangan ke sekeliling loteng.

Ruangan itu dipenuhi berbagai barang tua, mulai dari lemari kayu yang sudah dimakan rayap, beberapa kursi rotan yang anyamannya sudah lepas, dan tumpukan kardus yang menguning dimakan usia. Aroma kayu tua dan kertas lama memenuhi udara, menciptakan atmosfer nostalgia yang entah mengapa terasa familiar.

Kinanti melangkah dengan hati-hati di atas lantai kayu yang berderit, menghindari beberapa papan yang tampak rapuh. Matanya tertuju pada sebuah koper kulit tua yang tersembunyi di balik tumpukan kardus. Koper itu, meski berdebu, masih tampak elegan dengan aksen kuningan di sudut-sudutnya.

"Itu dia!" serunya pelan, lebih kepada diri sendiri.

Dengan hati-hati, ia menarik koper itu keluar dari persembunyiannya. Debu tebal yang menyelimuti koper itu membuat Kinanti terbatuk-batuk. Tangannya yang lentik menyapu permukaan koper, memperlihatkan warna cokelat tua yang masih tampak mengilap di balik lapisan debu.

Kunci kecil yang diberikan Eyang Karso terasa dingin dalam genggamannya. Kinanti segera memasukkan kunci itu ke lubangnya, dan dengan bunyi 'klik' pelan, koper itu terbuka.

Aroma kertas tua yang khas segera menyeruak keluar. Di dalam koper, tertata rapi berbagai dokumen dan buku-buku tua. Namun yang menarik perhatiannya adalah sebuah buku jurnal bersampul kulit yang tampak paling terawat di antara tumpukan itu.

"17 Agustus 1945"

Kinanti membaca tulisan yang tertera di halaman pertama jurnal. Tulisan tangan yang rapi namun sedikit memudar itu seolah berbisik padanya, mengundangnya untuk menyelami kisah yang tersimpan di dalamnya.

Dengan rasa penasaran, Kinanti duduk bersila di lantai loteng dan membuka jurnal yang kini ada di pangkuannya. Halaman demi halaman mulai ia buka, membiarkan dirinya tenggelam dalam catatan sejarah yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

"Hari ini, semuanya berubah. Proklamasi telah dibacakan. Indonesia telah merdeka. Namun perjuangan kami masih jauh dari selesai. Soekarno-Hatta mungkin telah mengucapkan kata-kata yang menggetarkan jiwa kami, tapi di jalanan Surabaya, dentuman meriam masih terdengar. Kami masih harus berjuang..."

Jantung Kinanti berdebar kencang membaca setiap kata. Ini bukan sekadar catatan sejarah yang biasa ia baca di buku pelajaran. Ini adalah kisah nyata, ditulis oleh seseorang yang benar-benar ada di sana, menyaksikan dan merasakan langsung detik-detik bersejarah itu.

Tiba-tiba, saat Kinanti sedang membuka halaman berikutnya, selembar foto terjatuh. Kinanti memungutnya dengan hati-hati. Foto hitam putih yang sudah menguning itu menampilkan seorang gadis muda, mungkin seusianya, sedang mengenakan kebaya sederhana. Ia berdiri di depan sebuah gedung yang Kinanti kenali sebagai gedung tua di pusat kota.

Napasnya tercekat.

Gadis dalam foto itu... wajahnya... seperti melihat ke cermin. Rambut hitam panjang yang sama, mata yang sama, bahkan lengkung senyumnya...

Kinanti seolah melihat dirinya sendiri dalam foto yang diambil hampir 80 tahun yang lalu.

Di belakang foto itu, ada tulisan tangan yang sama dengan yang ada di jurnal

"Kartika, Surabaya, 10 November 1945"

"Kartika?" bisik Kinanti. Nama itu terasa familiar, meski ia yakin tak pernah mendengar dimana sebelumnya.

Suara langkah kaki di tangga loteng tiba-tiba mengejutkannya.

"Kinanti? Kamu masih di atas?" Suara serak Eyang Karso terdengar dari bawah.

"Ya, Eyang! Aku... aku menemukan sesuatu!"

"Turunlah, Nduk. Sudah sore."

Kinanti menatap foto itu sekali lagi sebelum menyelipkannya kembali ke dalam jurnal. Sesuatu membisikkan padanya bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang akan mengubah hidupnya. Dengan hati-hati, ia membawa jurnal itu bersamanya, meninggalkan loteng yang kini tampak berbeda di matanya, bukan lagi sekadar ruangan berdebu, melainkan sebuah portal ke masa lalu yang masih menyimpan begitu banyak rahasia.

 Saat ia menuruni tangga loteng, sinar matahari sore yang menerobos jendela menciptakan bayangan panjang di dinding. Untuk sesaat, Kinanti merasa seolah bayangan itu bukan miliknya sendiri, tapi milik Kartika, gadis dalam foto yang seolah mengikutinya dari masa lalu yang jauh.

 Di ruang tengah, Eyang Karso sudah menunggunya dengan secangkir teh jahe hangat dan wajah yang penuh arti. Kinanti segera mendekati eyangnya dengan jurnal tua di tangan, siap mendengarkan kisah yang mungkin akan menjelaskan mengapa ia begitu mirip dengan gadis bernama Kartika dalam foto tua itu.

"Duduklah, Nduk," kata Eyang Karso sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Kinanti duduk di samping eyangnya, jurnal tua itu masih erat dalam genggamannya. Matahari sore mulai tenggelam di horizon, menciptakan latar sempurna untuk sebuah kisah yang akan membawanya menjelajahi lorong waktu, menguak rahasia keluarga yang telah tersimpan selama hampir delapan dekade.

Terpopuler

Comments

TENANG

TENANG

keren ceritanya semngat terus melanjutkan ceritanya

2025-01-03

2

mndnll

mndnll

keren kak ceritanyaa bagus sekalii semangat kak

2025-01-28

1

salsa

salsa

bagus banget ceritanya aku suka /Scream/

2025-01-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!