Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suatu Hal yang Tertunda (1)
Anak pertamaku lahir di bulan Desember, sama sepertiku. Dari bulan kelahirannya itu, mas Arwan menamainya Desian.
Beentang Desian, yang lahir di bulan Desember. Aku suka. Namanya terdengar keren dan indah.
Kehadiran Sian, berhasil melengkapi keluarga kecilku dengan mas Arwan. Rumah besar yang kita tinggali jadi terasa lebih ramai, berkat kehadiran buah hati kami.
Sian, kini sudah hampir memasuki usia enam tahun. Tak terasa, dia akan memasuki dunia sekolah.
Rasanya, baru kemarin aku melahirkannya di rumah sakit.
Dan lucunya, rumah sakit tempat aku melahirkan Sian juga merupakan tempat yang sama, di mana aku hendak memeriksakan kesehatan ibuku yang ternyata sudah pergi jauh, menyusul ke tempat ayah berada. Takdir, terkadang memang suka bergurau.
Setelah menjemput Sian dari TK tempatnya belajar, aku dikejutkan oleh kedatangan seseorang di kediamanku. Dia adalah ibunda mas Arwan yang juga merupakan ibu mertuaku.
Tanpa sadar, aku selalu menghela napas lelah setiap kali berjumpa dengannya.
"Cucuku sudah pulang, ya?" sambut nyonya besar Beentang ini. Ya, beliau ini memanglah nyonya besar yang sesungguhnya.
Sianku tumbuh dengan baik dan terkadang juga sedikit bandel. Wajarlah, anak usia segini memang lagi lucu-lucunya. Namun, Sian berbuat begitu hanya kepada orang-orang yang tidak disukainya, termasuk ibu mertuaku.
Saat ini, Sian telah mengabaikan sambutan hangat dari Ibunda mas Arwan. Jangan salah paham. Aku tidak pernah mengajari anakku hal semacam itu.
Sian sebenarnya adalah anak yang pemalu, jadi dia selalu bersikap tenang dan sopan. Sifat tenang itu, sepertinya menurun dari mas Arwan, karena sifatku sendiri tentu saja sangat berkebalikan dengan mereka berdua.
"Ibu nggak bilang mau dateng hari ini." Aku memulai pembicaraan dengan ibu keduaku ini.
"Kamu tadi nungguin Sian di TK-nya, nggak?" tanya ibu mertuaku dengan ekspresi garang.
Andai, aku bisa bilang kepada ibuku ini, aku ingin ia melemaskan sedikit wajahnya dan merendahkan nada suaranya saat bertanya, agar tidak terdengar seperti seseorang yang mau mengajak berduel.
'Fiuh~' Aku harus sabar.
Aku tersenyum, sebelum menjawab pertanyaan dari ibu mertuaku ini. "Karna Sian sudah besar, jadi dia sendiri yang minta saya tinggal."
Ibunda mas Arwan, mendelik tajam seketika. "Hah?! Besar dari mana? Masih kecil gitu, kok, malah ditinggal sendirian di sana!"
'Barang siapa bersabar, maka beruntunglah ia.' Aku mengingat kata mutiara itu agar kobaran api dalam hatiku lekas memadam.
Aku berusaha tetap menyunggingkan senyuman terbaikku. "Mungkin karna Sian anak cowok, dia pasti sudah merasa malu sama temennya kalau masih saya tungguin terus," jelasku kepada ibu mertua terhormat yang berada di hadapanku ini.
Padahal, aku sudah menuruti semua perintah dari beliau untuk terus menunggui Sian selagi masih berada di TK. Tapi, aku juga harus menghormati keputusan anakku sendiri, jika ia menginginkan hal yang lain.
Selain itu, di sana juga sudah ada banyak guru TK yang akan menjaga para anak didiknya.
Bukannya aku cuek terhadap anakku sendiri, aku hanya tidak ingin terlalu mengekangnya.
Sebagai ibu, aku juga sempat merasa was-was dan khawatir, tapi kemudian aku sadar bahwa perasaan itu tidak berguna jika terus dipelihara, sebab bisa semakin membesar dan aku bisa menjadi orang tua yang overprotective terhadap anak.
"Aduh duh, kalau kamu nggak mau nungguin cucuku, biar aku aja kalau gitu. Emang anggak becus ya, kamu itu!" Ibu mertuaku tampak menggelengkan kepalanya sambil mengomel.
Aku hanya bisa diam, tidak menanggapi ucapan ibu mertuaku barusan. Selama ini, aku juga selalu seperti itu. Diam adalah jawaban terbaik. Mas Arwan sendiri yang berpesan begitu, agar tidak membuat ibu marah. Sebagai istri yang baik, tentu saja aku harus menurut.
Jujur, aku sebenarnya agak kaget ketika melihat suamiku terkena omelan dari Ibundanya. Selama ini, aku tak pernah sekali pun, dimarahi oleh ibuku sendiri. Ah, aku jadi merindukan ibu dan ayahku yang sudah tenang di surga.
Aku akhirnya menyadari satu hal. Ternyata, ada juga sesuatu yang membuatku merasa lebih beruntung dari mas Arwan.
Kehidupan suamiku yang awalnya kupikir sudah sempurna, ternyata memiliki sebuah lubang yang tidak tampak. Yaitu, kasih sayang orang tua. Kedua orang tua mas Arwan terlihat begitu tegas, dan di mataku terlihat sangat galak.
Suamiku sendiri sepertinya tidak dekat dengan ayah dan ibunya, melihat dari setiap kali ia berbicara dengan orang tuanya, mas Arwan terus menundukkan kepala di hadapan mereka. Tentu saja, itu bukanlah suatu hal yang salah. Namun, aku merasakan tekanan yang kuat dari mereka terhadap suamiku.
Entahlah. Mungkin, karena mas Arwan adalah seseorang yang akan menjadi harapan keluarga besarnya. Terlahir sebagai penerus generasi ketiga keluarga Beentang, merupakan takdir yang harus ditanggungnya.
Ternyata, menjadi keturunan konglomerat itu memiliki beban berat yang harus dipikul. Kupikir, hanya tinggal menikmati hasilnya saja.
Aku selalu merasa sedih, setiap melihat mas Arwan yang terus bekerja siang malam. Waktu liburannya di rumah pun, ia gunakan untuk bekerja. Sama saja dia tidak punya waktu untuk istirahat.
Tapi, aku tidak bisa memaksanya untuk beristirahat, karena jika pekerjaannya kacau, hal itu hanya akan menambah beban pikirannya. Lebih baik aku diam saja dan fokus mengurus anak kami.
Dan hari ini, aku berhasil dibuat terkejut. Ibu mertuaku ternyata ingin menginap di rumah keluarga kecilku dengan mas Arwan. Kebetulan, suamiku akan lembur sehingga tidak pulang ke rumah.
'Oke, alamat!' Sepertinya, aku akan mendapat kuliah dadakan lagi.
Benar, karena ini bukanlah pertama kalinya ibu mertuaku menginap di sini, ketika mas Arwan masih sibuk bekerja di kantor. Sepertinya, beliau memang sengaja.
...~...
Bersambung.....