6 tahun tidak bertemu banyak sekali hal yang berubah dalam pertemanan Adrian dan Ansara. Dulu mereka adalah sahabat baik namun kini berubah jadi seperti asing.
Dulu Ansara sangat mencintai Adrian, namun kini dia ingin menghapus semua rasa itu. Karena ternyata Adrian kembali dengan membawa seorang anak kecil.
"Hidup miskin tidak enak kan? karena itu jadilah sekretarisku," tawar Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SYM Bab 8 - Malah Bingung
"Kenapa menatapku dengan tatapan seperti itu? Apa ada yang salah?" tanya Adrian, suaranya terdengar serius sekali tapi sebenarnya dia ingin tertawa karena melihat wajah Ansara yang serius begini, nampak lucu di kedua matanya.
Bagi Ansara Mungkin dia sudah seperti seekor singa yang marah, tapi di mata Adrian Ansara seperti kucing kecil yang merajuk.
"Tidak ada, saya akan menyiapkan makanannya," balas Ansara, masih dengan raut wajah yang terlihat ditekuk. Dia mundur satu langkah dan pergi lebih dulu.
'Tadi minta dibangunkan, sekarang dimasakkan, sekalian saja aku mandikan!' gerutu Ansara yang mulai sibuk menyiapkan makanan untuk Adrian.
Di lemari pendingin cukup banyak bahan makanan yang tersedia, Ansara memasak nasi dan disetting matang dalam waktu yang paling cepat.
Meski dapur ini sangat asing baginya, namun Ansara bisa bergerak cukup lincah. Sebab saat bekerja di cafe dia juga sering melihat alat-alat masak canggih ini.
Sementara di dalam kamarnya Adrian tidak langsung mandi, dia lebih dulu melihat ponselnya dan membaca pesan yang dikirim oleh sang adik.
Bibir Adrian tersenyum kecil dan langsung menghubungi bidadari cantik tersebut.
Naura memang sebenarnya bukanlah anak Adrian, melainkan adiknya. Tapi ceritanya panjang sekali, ketika usianya 22 tahun tiba-tiba sang ibu kembali hamil.
Naura begitu dekat dengan Adrian, bahkan berpendapat bahwa sang kakak lebih cocok jadi ayahnya ketimbang ayahnya sendiri. Bagi Naura ayahnya lebih cocok jadi kakek.
Karena itulah Naura selalu memanggil Adrian dengan sebutan Papa, bukan mas Adrian.
Awalnya pihak keluarga sudah melarang, tapi gadis kecil itu sulit sekali untuk dinasehati, hingga kini akhirnya semua keluarga Abraham telah terbiasa.
Kondisi ini sedikit pun tidak memberatkan Adrian, dia justru senang saat semua orang mengetahui bahwa Naura adalah anaknya. Sebab dengan begini Adrian bisa fokus pada pendidikan dan juga karirnya, tanpa ada gangguan dari para wanita.
"Halo Sayang," ucap Adrian saat panggilannya terhubung pada sang adik.
"Papa kapan kecini cih?" tanya Naura langsung.
"Papa sibuk Sayang, sangat sibuk."
"Cibuk apa?"
"Kerja dong."
"Kalau begitu aku ikut."
"Baiklah, besok om Juan yang jemput ya?"
"Ye, oke!!"
"Ibu mana?" tanya Adrian pula, mempertanyakan tentang ibu mereka.
"Ibuuu!!" panggil Naura pada sang ibu, hingga tak berselang lama kemudian ibu Adrian bersuara dalam sambungan telepon tersebut.
"Halo, Nak," jawab ibu Aruni, suaranya lembut sekali.
"Bu, besok Naura biar aku yang jaga. Ya?" izin Adrian.
"Iya, tapi ibu mohon, jangan membiarkannya terus Memanggil mu papa. Nanti orang salah paham," pinta ibu Aruni.
"Tidak apa-apa, Bu. Jangan cemas tentang hal itu. Ayah di mana?"
"Ini ada, kamu ingin bicara?"
"Tidak usah, sampaikan saja salamku pada ayah."
"Iya Nak."
Panggilan telepon pun berakhir, hubungan di dalam keluarga Abraham memang sangat hangat. Semuanya tak segan untuk saling menunjukkan kasih sayang satu sama lain.
Setelahnya Adrian segera membersihkan tubuh dan keluar untuk melihat pekerjaan Ansara. Pria dengan postur tubuh tegap itu langsung menuju dapur, mencium aroma masakan yang terasa enak.
Dulu saat SMA, Ansara sering sekali membawa bekal dan saat jam istirahat Ansara selalu membagi bekalnya dengan Adrian. Kata Ansara, bekal itu adalah masakannya sendiri dan Adrian menyukainya.
Kerena itulah ini Adrian tidak segan saat meminta Ansara untuk menyiapkannya makanan, karena Adrian tahu makanan Ansara memang sangat enak.
"Silahkan duduk, Tuan," ucap Ansara saat melihat Adrian akhirnya datang.
'Mandi saja lama sekali, apa dia luluran dulu?' batin Ansara menggerutu, mana Ansara tahu jika sebelum mandi Adrian terlebih dulu menelpon sang adik.
"Duduklah juga, temani aku makan," titah Adrian, seraya menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk degan nyaman.
"Baik."
"Kamu tidak ingin makan lagi?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Sudah kenyang."
"Benarkah? Dulu saat SMA makanmu cukup banyak, sudah membawa bekal tapi tetap jajan di kantin."
Ansara mengendalikan diri agar kepalanya tidak mendidih. Yang dia perhatikan bukan tentang Adrian yang mengingat semua kebiasaannya dulu, tapi dia berpikir kini Adrian tengah meledeknya.
Mungkin ingin menyebutnya gadis yang rakus.
Sudut pandang Ansara pada Adrian benar-benar telah berubah, di matanya Adrian bukan lagi pria yang santun, tapi sudah berubah jadi pria yang sangat sombong.
"Biar saya ambilkan makanan untuk Anda," balas Ansara, mengalihkan pembicaraan dan ingin segera menyumpal mulut pria ini dengan makanan agar diam.
Adrian tak menolak, dia perhatikan saat Ansara mengambil piringnya dan mulai menyajikan makanan.
Dengan senang hati Adrian melahapnya, menikmati rasa yang selama ini hanya mampu dia bayangkan.
Duduk berdua di meja makan ini seperti sama dengan keadaan dulu, saat mereka hanya berdua di dalam kelas dan memakan bekal milik Ansara.
Melihat Adrian yang menghabiskan makanannya membuat sudut hati Ansara menghangat, senang saja saat masakannya dihargai seperti ini.
Namun sebelum kembali berdebar Ansara langsung membentengi diri. 'Kamulah yang rakus, bukan aku!' gerutu Ansara.
Menjelang siang mereka baru tiba di kantor. Penampilan Ansara siang ini cukup membuat Jessi merasa heran, sebab cepat sekali Ansara terlihat berubah.
Kemarin seperti gadis miskin dan cupu, namun kini mendadak berubah jadi gadis yang modis, bahkan terlihat lebih elegan.
"Siang, Kak," sapa Ansara yang baru saja tiba di meja kerja. Dia duduk setelah memastikan sang tuan masuk ke dalam ruang kerjanya. Kini gantian asisten Juan yang menghadap sang boss.
Siang ini Ansara tidak memiliki jadwal di luar, tapi nanti malam ada undangan perjamuan makan malam di rumah salah satu kolega.
"Pagi tadi kamu menemani tuan Adrian bermain golf?" tanya Jessi dengan nada tak suka. Biasanya tuan Adrian selalu pergi dengan asisten Juan.
Tapi tadi pagi asisten Juan ada di kantor sementara Ansara tidak.
"Iya, Kak," jawab Ansara apa adanya.
"Aku hanya ingin mengingatkan mu satu hal," kata Jessi dengan nada serius.
"Apa, Kak?"
"Apa kamu sudah mendengar rumor tentang tuan Adrian yang telah menikah?"
Deg! Ansara terdiam, dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Jika kamu sudah tahu mulai sekarang berhati-hatilah, meski perkerjaanmu mengharuskan selalu berada di samping tuan Adrian tapi kamu harus tetap memberi jarak," ucap Jessi dengan tegas.
Membuat Ansara makin terdiam.
"Kabarnya tuan Adrian menikah saat beliau tinggal di Amerika dan sekarang memiliki satu anak. Memang, tuan Adrian tidak pernah mengumumkan tentang istrinya pada publik, tapi ku rasa itu adalah sebagian dari privasi beliau. Jadi kamu jangan terlalu dekat dengannya," kata Jessi lagi.
"Iya, Kak," jawab Ansara patuh, lengkap dengan hati yang terasa sesak.
Padahal Ansara sudah tahu tentang hal ini, tapi tiap kali dibahas selalu mampu membuatnya terluka.
Ternyata untuk melupakan perasaan cinta tak semudah mengucapkannya dengan kata-kata.
"Sekretaris Jessi, mana dokumen yang harus ditandatangani tuan Adrian?" tanya asisten Juan yang tiba-tiba berdiri di depan meja kerja Jessi dan Ansara.
"Ini asisten Juan, saya akan menyerahkannya," jawab Jessi.
"Berikan pada sekretaris Ansara, biar dia yang lakukan."
"Tapi asisten Juan, Ansara mungkin tidak tahu dimana letak yang harus ditandatangani tuan Adrian."
"Dia pasti tahu, iya kan sekretaris Ansara?" tanya Juan dengan sorot mata yang berpindah pada Ansara.
"Iya asisten Juan," jawab Ansara sedikit gugup.
Jessi makin terpojok, merasa kini pekerjaannya pun diambil alih oleh anak baru ini.
Dengan sangat terpaksa Jessi menyerahkan beberapa dokumen itu pada Ansara. Membiarkan anak baru itu masuk ke dalam ruangan sang CEO.
Jessi pikir asisten Juan juga akan kembali masuk, tapi ternyata hanya Ansara sendiri yang masuk ke dalam sana.
"Tuan, ini beberapa dokumen yang harus Anda tandatangani," ucap Ansara, dia meletakkan dokumen itu di atas meja. Mengambil salah satu dan membukakannya untuk sang Tuan.
Adrian tak banyak bicara dan fokus pada pekerjaannya. Adrian tak pernah tahu kegalauan yang dirasakan oleh Ansara.
Kegalauan yang Ansara buat-buat sendiri, sedih-sedih sendiri.
"Tuan," panggil Ansara setelah Adrian selesai tandatangan.
"Apa?"
"Siang ini tidak ada jadwal di luar, apa boleh saya belajar mobil saja di tempat kursus?" tanya Ansara, dia harus bisa mengemudi agar menciptakan jarak yang semakin nyata.
Kelak jika Ansara sudah bisa membawa mobil, maka tuan Adrian akan duduk di kursi belakang.
"Baiklah, aku yang akan mengajari kamu," jawab Adrian dengan entengnya.
"Tidak Tuan, biar saya pergi ke tempat kursus."
"Mobil di tempat kursus berbeda dengan mobilku, sementara kamu harus belajar dengan menggunakan mobilku," balas Adrian.
Ansara tak mampu berkata-kata. 'Apa iya harus seperti itu?' batinnya malah bingung.