NovelToon NovelToon
Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Enemy to Lovers / Rebirth For Love
Popularitas:540
Nilai: 5
Nama Author: Skyler Austin

Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.

Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.

Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?

Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Melepaskan Yang Tak Pernah Jadi Milikmu

Hari itu, rasanya kayak dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Gue lagi duduk di kafe favorit, ngeliat layar hape, mencoba fokus ke pesan-pesan yang masuk, tapi pikiran gue nggak bisa lepas dari kejadian kemarin. Nathan, Keira, dan gue… semuanya kayak mulai bercampur aduk, nggak ada yang jelas.

“Gimana, Aruna? Lo oke?” Nadira tiba-tiba nanya, nyenggol pundak gue dari samping.

Gue ngeliat dia sekilas, lalu senyum lemah. “Iya, gue fine. Cuma… agak bingung aja.”

“Bingung gimana?” Nadira ngelirik gue, matanya penasaran. “Lo kelihatan nggak tenang banget.”

Gue ngelirik keluar jendela, berusaha mikirin kata-kata yang tepat buat ngejelasin semua ini. “Kadang lo ngerasa, ya… ngerasa kehilangan sesuatu, meskipun lo nggak pernah punya itu? Itu yang gue rasain sekarang.”

Dia diem sejenak, terus narik kursi buat duduk di sebelah gue. “Lo ngomong soal Nathan, kan?” dia nanya pelan, nggak pengen ada yang denger.

Gue cuma ngangguk. “Iya, gue nggak tahu gimana ngelepasin perasaan gue ke dia, apalagi sekarang dia sama Keira.”

Nadira nyengir. “Lo tahu nggak, lo lebih kuat daripada yang lo pikirin. Kadang kita emang harus belajar buat ikhlas, meskipun rasanya sakit banget.”

Gue cuma tersenyum tanpa suara. Gue tau Nadira bener, tapi itu nggak gampang. Ngelepasin Nathan itu nggak semudah ngomong. Gue nggak bisa berhenti mikirin dia, apalagi setelah apa yang terjadi kemarin.

Tiba-tiba, gue ngeliat Nathan masuk ke kafe itu, bareng Keira. Mereka berjalan berdua, tertawa kecil, dan gue bisa ngerasain langsung suasana di sekitar gue jadi nggak nyaman. Gue pun buru-buru nunduk, berharap mereka nggak nyadar gue ada di sini.

“Aruna?” Nadira ngeliat gue dengan ekspresi bingung. “Lo kenapa? Jangan bilang lo mau lari, dong.”

Gue nggak jawab. Gue cuma megang gelas kopi gue erat-erat, kayak itu bisa ngurangi rasa sakit di hati gue. Gue tau, gue nggak bisa terus-terusan menghindari mereka, tapi rasanya baru banget kemarin gue coba jujur soal perasaan gue ke Nathan, dan sekarang… semua jadi lebih rumit.

Keira ternyata nyadar keberadaan gue. Dia ngajak Nathan ke arah meja gue. “Aruna, lo di sini juga?” katanya dengan senyum yang nggak sepenuhnya tulus. “Kita nggak ganggu, kan?”

Gue terpaksa ngangkat kepala, nyembul sedikit dari balik gelas kopi. “Nggak kok, gue lagi nggak ngapa-ngapain.”

Nathan cuma nyengir kecil, nggak tau mau ngomong apa. “Lo lagi ngapain di sini, Aruna?” katanya agak ragu, seolah nggak tau harus ngomong apa setelah kejadian kemarin.

Gue cuma mengangkat bahu. “Ya, gue cuman mau minum kopi aja.”

Keira masih aja nyengir. “Kapan-kapan kita ngopi bareng, ya?” katanya. “Lo pasti suka, kan?”

Gue cuma ngangguk, tapi hatinya udah nggak bisa bohong. Rasanya makin susah buat gue ngelihat mereka berdua bareng. Kadang, lo harus belajar buat ngelihat orang yang lo sayang bahagia dengan orang lain, meskipun hati lo nggak siap.

Setelah beberapa detik yang terasa kayak berjam-jam, Keira dan Nathan akhirnya duduk di meja sebelah. Mereka ngobrol santai, tertawa, sementara gue cuma bisa menatap ke arah mereka dari kejauhan. Rasanya sakit banget ngeliat mereka berdua bahagia, sementara gue cuma bisa bersembunyi di balik secangkir kopi yang semakin dingin.

Nadira yang ngeliat gue cemas, nanya lagi. “Aruna, lo bener-bener fine?”

Gue coba senyum. “Iya, gue cuma lagi mikir aja. Semua kayak serba nggak jelas gitu.”

“Lo tau, kan, nggak ada yang bisa lo ubah. Lo nggak bisa maksa Nathan buat milih lo kalau hatinya udah buat Keira,” kata Nadira pelan, mencoba nenangin gue.

Tapi, jujur aja, kata-kata itu lebih sakit daripada yang gue duga. Gue udah tahu itu, tapi menghadapinya itu yang susah. Kadang, lo pengen punya kekuatan buat ngerubah keadaan, buat ngebalikkan semua yang terjadi, tapi itu nggak mungkin.

Sekitar sepuluh menit setelah Keira dan Nathan duduk, mereka bangkit dan ngeluarin kartu kredit, siap bayar. Keira sempat ngelirik gue lagi, dan gue cuma bisa balas tatapan itu dengan senyuman yang terasa pahit.

Pas mereka pergi, Nadira ngomong dengan nada serius. “Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini, Aruna. Lo harus move on. Coba lo pikirin Reyhan, deh. Dia juga selalu ada buat lo.”

“Reyhan?” Gue nyengir kecut. “Gue nggak tahu, Nadira. Dia sahabat baru gue, tapi… rasanya aneh aja kalau gue berharap lebih dari itu.”

Nadira mencebik. “Lo kalau nggak coba, lo nggak akan tahu. Reyhan juga udah jelas peduli sama lo.”

“Apa iya?” Gue ragu-ragu. Memang, Reyhan selalu ada buat gue, dengerin gue, dan selalu ngasih dukungan. Tapi, apa itu cukup buat ngebuka hati gue? Apa gue siap buat menerima orang lain setelah semua yang terjadi sama Nathan?

Nadira cuma ngelirik gue dengan pandangan serius. “Lo harus berani, Aruna. Hidup nggak bisa terus dilihat dari satu sisi doang.”

Gue cuma diam. Nggak ada yang lebih nyakitin selain menyadari kalau gue harus melangkah maju, meskipun hati gue masih ngarepin Nathan. Tapi di sisi lain, gue juga nggak mau terus-terusan terjebak dalam perasaan yang nggak akan pernah berbalas.

Hari-hari setelah kejadian itu, gue mulai lebih sering nongkrong bareng Reyhan. Awalnya, gue cuma butuh temen ngobrol, tapi lama-lama gue sadar, ada sesuatu yang berbeda di diri Reyhan. Dia nggak pernah ngeliat gue dengan tatapan yang penuh harapan, dia cuma pengen gue bahagia. Kadang, itu yang gue butuhin lebih dari apapun.

Suatu malam, setelah pulang dari ngopi bareng Reyhan, gue tiba-tiba teringat kata-kata Nadira tadi. “Lo nggak akan tahu kalau lo nggak coba.”

Dan malam itu, gue mutusin buat ngirim pesan ke Nathan.

Gue duduk di atas kasur, pandangan teralihkan pada layar ponsel. Jari gue bergerak ragu-ragu di atas keyboard, ngetik dan ngebatalin pesan berulang kali. Gue nggak tahu harus nulis apa. Apakah ini langkah yang benar? Tapi, gue udah nggak bisa nahan perasaan gue lagi.

Akhirnya, gue nekat. Gue ketik pesan itu dan langsung kirim. “Nathan, gue cuma pengen bilang kalau gue ngerti kok, lo sekarang ada sama Keira. Gue juga gak mau ganggu hubungan kalian. Cuma… gue berharap, suatu saat nanti, lo inget kalau gue selalu ada.”

Setelah kiriman pesan itu terkirim, detak jantung gue makin kencang. Rasanya kayak ada yang ngencengin dada gue. Gue bingung, cemas, tapi juga lega karena akhirnya gue bisa ngomong langsung sama Nathan, meskipun lewat pesan.

Gue duduk termenung, menunggu balasan yang nggak kunjung datang. Beberapa menit kemudian, ponsel gue bunyi. Gue langsung ngeliat layar dengan buru-buru.

Dari Nathan.

“Aruna, gue nggak tahu harus ngomong apa. Lo selalu jadi sahabat yang baik buat gue. Dan gue nggak mau ada yang berubah di antara kita. Gue harap lo ngerti.”

Gue nahan nafas sejenak. Itu bukan jawaban yang gue harapin, tapi itu cukup jelas. Nathan nggak merasa sama seperti gue. Mungkin memang benar, apa yang dikatakan Nadira—lo nggak bisa terus-terusan nungguin sesuatu yang nggak akan datang.

Gue bales, “Gue ngerti, Nathan. Gue cuma pengen lo tahu, gue selalu ada buat lo.”

Pesan itu gue kirim, dan langsung gue simpan ponsel gue ke meja. Gue duduk tegak, merasa seolah beban berat udah hilang, walaupun hati gue masih terasa kosong. Gue tahu ini mungkin bukan yang terbaik buat gue, tapi setidaknya gue nggak lagi terjebak dalam kebimbangan yang nggak jelas.

Keesokan harinya, Reyhan ngajakin gue ngopi lagi. Gue sempat ragu, tapi akhirnya gue setuju. Gue butuh ngobrol sama seseorang yang ngerti gue tanpa harus menilai, yang bisa bikin gue merasa nyaman.

Di kafe, Reyhan udah duduk nungguin. Senyumannya terlihat lebih cerah dari biasanya.

“Gimana, nih? Udah lebih baik?” tanyanya sambil nyodorin cangkir kopi ke gue.

Gue angkat bahu. “Gue masih bingung, Reyhan. Tapi, gue rasa gue udah cukup ngelakuin apa yang gue bisa. Sekarang gue harus move on.”

Reyhan nyengir lebar. “Lo pasti bisa, Aruna. Gue tahu kok, lo kuat.”

Gue cuma senyum tipis. Mungkin dia bener, mungkin memang udah waktunya gue melepaskan semua yang nggak bisa jadi milik gue.

Hari itu, gue sadar kalau kadang lo perlu buat berhenti berharap, supaya bisa mulai jalan ke arah yang baru. Mungkin, satu-satunya cara buat melangkah maju adalah dengan melepaskan apa yang udah nggak bisa jadi milik lo. Dan entah kenapa, perasaan gue sedikit lebih ringan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!