Sebuah ramalan kuno mengguncang keseimbangan antara para Akasha dan para Moksa, mereka tinggal di pusat alam semesta bernama Samavetham. Ramalan itu meramalkan kelahiran seorang Akasha terkuat di sebuah planet kecil, yang akan membawa perubahan besar bagi semua makhluk hidup. Ketika para Moksa berusaha menggunakan pohon Kalpataru untuk mencapai ramalan tersebut, para Akasha berupaya mencegah kehancuran yang akan dibawanya.
Di Bumi, Maya Aksarawati, seorang gadis yatim piatu, terbangun dengan ingatan akan mimpi yang mencekam. Tanpa dia sadari, mimpinya mengisyaratkan takdirnya sebagai salah satu dari 12 Mishmar, penjaga dunia yang terpilih.
Ketika ancaman dari organisasi misterius semakin dekat, Maya harus berhadapan dengan kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya. Dibantu oleh reinkarnasi Mishmar yang lain, Maya harus menemukan keberanian untuk melawan atau menghadapi konsekuensi yang dapat mengubah nasib seluruh alam semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Feburizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM MENCEKAM
Sesampainya disana, udara malam semakin menusuk tulang saat Emma dan Olivia turun dari bus kota terakhir. Jalanan sepi Porvoo yang biasanya menenangkan kini terasa mengancam. Langkah mereka bergema di trotoar basah, menciptakan irama yang terganggu oleh detak jantung yang berdebar kencang.
Rumah mereka terlihat di kejauhan - sebuah bangunan Victorian dua lantai dengan cat putih yang mulai mengelupas. Namun pemandangan yang menyambut membuat langkah keduanya terhenti mendadak. Di bawah cahaya temaram lampu teras, sekelompok pria berjas hitam berdiri dalam formasi rapi, seperti bayangan-bayangan mengancam yang muncul dari kegelapan.
"Siapa mereka, Kak?" Olivia berbisik, jemarinya mencengkeram lengan mantel Emma.
Emma merasakan darahnya membeku. Tanpa pikir panjang, dia menggenggam tangan Olivia dan berbalik arah. "Lari!" perintahnya dengan suara tertahan.
Mereka berlari sekuat tenaga, sepatu bot mereka menghentak keras di trotoar licin. Namun baru beberapa meter, sesosok figur muncul dari balik bayangan, menghadang langkah mereka. Pria misterius yang mengikuti mereka sejak di café kini berdiri dengan senyum dingin, mata gelapnya berkilat berbahaya di bawah topi baseball-nya.
"Apa maksudnya ini?" Emma mendesis, wajahnya merah padam menahan amarah dan ketakutan. "Apa kalian dari Tree of Life? Apa yang kalian rencanakan?"
Pria itu memiringkan kepalanya, senyum sinisnya melebar. "Yah, baguslah jika kau sudah tahu identitas kami, jadi kami tak perlu menutupinya lagi." Suaranya sedingin es. "Kami ditugaskan untuk menyingkirkanmu dan seluruh keluargamu!"
"Apa?" Emma terkesiap, suaranya bergetar. "Kenapa? Apa yang telah kami perbuat sehingga kalian malah ingin menyingkirkan kami? Kami sudah melakukan sesuai keinginan kalian dan pohon aneh itu juga sudah kami kembalikan ke keadaan normal!"
"Kami tidak ditugaskan untuk berbicara," pria itu menjawab datar, tangannya memberi isyarat pada anak buahnya yang mulai mengelilingi Emma dan Olivia dengan senjata teracung. "Dan lebih baik kalian tak melakukan hal aneh jika ingin kematian yang tidak menyakitkan."
"Apa ini? Kenapa mereka mencoba membunuh kita, Kak?" Olivia berbisik panik, matanya melebar ketakutan melihat ujung-ujung senjata yang mengarah pada mereka.
Emma menangkup wajah adiknya dengan kedua tangan, matanya memancarkan keseriusan yang dalam. "Dengarkan Oliv, apa kau ingat yang selalu kakak katakan tentang jangan gunakan kekuatanmu kecuali dalam keadaan hidup dan mati? Nah, inilah saatnya, Oliv!"
Olivia menelan ludah, memahami maksud kakaknya. Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Perlahan, aura merah mulai menyelimuti tubuhnya, memancar seperti api yang berkobar dalam kegelapan. Para pria berjas hitam terkesiap, namun segera pulih dan mulai menarik pelatuk senjata mereka.
Dengan kecepatan yang hampir tak terlihat mata, Olivia meraih Emma dan melompat tinggi ke udara, meninggalkan para penembak dalam kebingungan. Setelah memastikan Emma aman di balik sebuah mobil yang diparkir, Olivia kembali menghadapi para penyerang. Aura merah di tubuhnya semakin intens, membuat rambutnya berkibar seperti api yang menari.
"Aku tidak akan membiarkan kalian melakukan apapun yang ingin kalian lakukan!" teriak Olivia, suaranya bergetar antara tekad dan ketakutan.
Olivia melesat maju dengan kecepatan luar biasa, aura merah di tubuhnya berpendar semakin terang dalam kegelapan malam. Setiap langkahnya meninggalkan jejak energi kemerahan di udara, seperti aurora yang menari-nari. Para agen Tree of Life mulai menembak, namun Olivia bergerak terlalu cepat - peluru-peluru hanya menembus udara kosong.
Dengan gerakan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, namun terasa begitu alami, Olivia menghantam barisan pertama penyerang. Pukulannya, yang diperkuat oleh energi Innérzjä, mengirim dua orang terbang ke belakang. Suara benturan keras terdengar saat tubuh mereka menghantam tembok.
"Mustahil!" salah satu agen berteriak. "Gadis ini... menggunakan Innérzjä!"
Olivia merasakan adrenalin mengalir deras dalam darahnya. Setiap gerakan, setiap pukulan, membuat tubuhnya bergetar dengan energi asing namun familiar. Dia berputar, menendang, melompat - tubuhnya bergerak dengan insting yang bahkan dia sendiri tidak tahu dia miliki.
Di balik mobil, Emma mengawasi dengan campuran bangga dan khawatir. Dia bisa melihat bagaimana adiknya, yang selama ini selalu menyembunyikan kekuatannya, kini bertarung dengan kepercayaan diri yang tumbuh setiap detiknya. Namun dia juga bisa melihat bagaimana penggunaan Innérzjä mulai membebani tubuh Olivia yang belum terlatih.
"Serang dia sekaligus!" Pria misterius itu berteriak, frustasi melihat anak buahnya jatuh satu per satu.
Lima agen menyerang Olivia secara bersamaan. Napas Olivia mulai tersengal, keringat mengalir di pelipisnya, tapi tekadnya tidak goyah. Dia menghembuskan napas, memusatkan energi Innérzjä ke seluruh tubuhnya, dan dalam sekejap mata, dia bergerak dalam pusaran energi merah.
BRAK! BRAK! BRAK!
Satu per satu penyerang terpental, tubuh mereka menghantam berbagai permukaan keras. Suara erangan dan rintihan memenuhi udara malam. Olivia berdiri di tengah kekacauan, napasnya berat tapi matanya masih menyala dengan tekad.
Pria misterius itu mundur selangkah, keterkejutan jelas di wajahnya yang biasanya tenang. "Tidak mungkin... level kekuatan ini..." Dia berbalik dan mulai berlari menjauh, meninggalkan anak buahnya yang tersungkur.
Olivia mengambil ancang-ancang untuk mengejar, tapi suara Emma menghentikannya.
"Oliv, biarkan dia pergi!" Emma berlari menghampiri adiknya. "Aku khawatir dengan kondisimu."
"Tapi, Kakak..." Olivia terhuyung, aura merah di tubuhnya mulai memudar. Keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat.
Emma meraih Olivia, menopang tubuhnya yang gemetar. Matanya menelusuri wajah adiknya dengan kekhawatiran mendalam. "Biarkan saja. Sekarang, yang penting adalah kamu. Apakah kamu benar-benar baik-baik saja?"
Olivia mengangguk lemah, mencoba tersenyum meski tubuhnya terasa seperti terbakar. "Iya, aku tak apa-apa."
Emma memeluk Olivia erat, merasakan getaran halus di tubuh adiknya. "Syukurlah," bisiknya. Dia menatap rumah mereka yang kini tampak asing dan mengancam. "Tapi sepertinya kita tidak bisa pulang kerumah malam ini."
"Lalu kita akan kemana, Kak?" Olivia bertanya, suaranya masih lemah.
"Tenang saja, kita akan baik-baik saja," Emma menenangkan, tangannya mengusap rambut Olivia yang basah oleh keringat. "Kita akan pergi ke tempat Leonard."
Mereka berjalan pelan kembali ke arah halte bus, Olivia bersandar pada Emma untuk mendapatkan dukungan. Di belakang mereka, para agen Tree of Life mulai bangkit perlahan, terlalu lemah untuk mengejar. Bulan purnama mengintip dari balik awan, menyinari jejak pertarungan yang akan mengubah hidup kedua bersaudara Taylor selamanya.