Bian, seorang pria berusia 30-an yang pernah terpuruk karena PHK dan kesulitan hidup, bangkit dari keterpurukan dengan menjadi konten kreator kuliner. kerja kerasnya berbuah kesuksesan dan jadi terkenal. namun, bian kehilangan orang-orang yang di cintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D.harris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan & Janji
Setelah kehilangan Nada, Bian menghadapi tantangan besar sebagai seorang ayah tunggal. Meski hatinya masih penuh luka, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi Sabda. Setiap hari dimulai dengan rutinitas baru: menyiapkan sarapan untuk Sabda, mengantar dan menjemputnya di sekolah, serta mengelola bisnis kedai kopi yang kini semakin berkembang.
“Papa nggak mau pergi, kan?” tanya Sabda suatu malam, sambil memeluk Bian erat.
Bian tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Nggak, Nak. Papa selalu ada buat Sabda.”
Sejak itu, Sabda menjadi pusat dunia Bian. Ia tidak ingin Sabda merasa kehilangan atau kekurangan kasih sayang.
Kedai kopi Bian di Bali semakin sukses. Konsep book cafe dengan suasana hangat dan koleksi buku yang terus bertambah menarik perhatian banyak pelanggan, termasuk wisatawan asing. Meski sibuk, Bian selalu memastikan untuk meluangkan waktu bersama Sabda.
Suatu hari, Bian mengajak sabda ke lombok. Sambil melihat sabda yang sedang bermain pasir di pantai, bian teringat akan keinginan istrinya untuk liburan ke lombok.
"nada, aku dan sabda lagi di lombok seperti keinginan kamu. Andai kamu disini bersama kami ..." ucap bian dalam hati
......................
Teman-teman dan keluarga bian sering mendesaknya untuk kembali menikah.
“Bian, kamu kan masih muda. Sabda juga butuh sosok ibu,” kata Fendi, sahabatnya, lewat panggilan video dari Australia.
Bian menggeleng tegas. “Aku nggak bisa, Fen. Aku nggak mau kehilangan lagi. Aku udah cukup bahagia sama Sabda.”
Malam-malam sepi masih sering menghampiri Bian, terutama saat ia teringat Nada. Namun, ia menemukan kekuatan dalam janji yang pernah ia buat untuk istrinya: untuk terus hidup demi Sabda.
Di meja kerja di kedainya, Bian menyimpan buku harian Nada. Setiap kali merasa ragu atau lelah, ia membacanya untuk mengingatkan dirinya bahwa Nada ingin ia bahagia.
Meski hidup sebagai single parent tidak mudah, Bian menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil: tawa Sabda, keberhasilan bisnisnya, dan kenangan indah bersama Nada yang terus hidup dalam hatinya.
......................
Suatu hari, Bian memutuskan untuk mengajak Sabda mengunjungi rumah neneknya, almarhumah Minah. Rumah itu telah lama ditinggalkan setelah Minah meninggal, namun tetap dirawat oleh salah satu kerabat.
“Papa, kita mau ke mana?” tanya Sabda di perjalanan, sambil memandang keluar jendela mobil.
“Kita mau ke rumah nenek Minah, Nak. Nenek yang dulu jaga papa waktu kecil,” jawab Bian sambil tersenyum kecil.
Ketika mereka sampai, rumah sederhana itu masih tampak seperti dulu. Aroma nostalgia menyeruak saat Bian memasuki rumah. Perasaan hangat bercampur sedih menyelimuti hatinya.
Di ruang tamu rumah itu, Bian mulai menceritakan kisah hidupnya kepada Sabda. Ia menceritakan masa-masa sulit ketika ia di-PHK, bagaimana ia bekerja serabutan sebagai ojek online, dan perjuangannya membangun bisnis kedai kopi yang kini mereka nikmati.
“Papa nggak selalu seberuntung ini, Sabda. Dulu, Papa sering sedih, tapi nenek Minah selalu bilang, ‘Jangan menyerah. Kalau kamu kerja keras, rejeki pasti datang.’”
Sabda mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun ia belum sepenuhnya memahami beratnya perjuangan ayahnya.
“Jadi, Papa mau Sabda tahu, kita harus selalu bersyukur dan menghargai semua yang kita punya. Semua ini nggak datang begitu saja,” kata Bian sambil mengelus kepala Sabda.
......................
Setelah selesai di rumah, Bian mengajak Sabda ke makam Minah. Mereka membawa bunga segar dan duduk di samping pusara neneknya.
“Nenek, ini Sabda, cucu kamu,” kata Bian pelan sambil menatap makam. “Sabda ini anak yang baik, bu. Kalau kamu masih di sini, aku yakin kamu akan sayang sekali sama dia.”
Sabda ikut meletakkan bunga di atas makam. “Papa, nenek Minah bisa dengar kita, nggak?” tanya Sabda dengan polos.
Bian tersenyum, menahan air mata. “Bisa, Nak. Nenek pasti dengar. Dan dia pasti senang kita datang ke sini. Sabda ikut berdoa ya, buat nenek.”
Di sana, Bian berdoa panjang, memohon kekuatan untuk terus melindungi Sabda dan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.