Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02
Ina terkejut karena tubuhnya nyaris terhempas.
Akan tetapi lebih terkejut lagi karena suaminya bahkan tidak menolongnya. Suaminya malah membiarkan tangannya digenggam oleh wanita yang tadi memutus pelukan mereka.
Ina melihat ke arah wanita itu. Yang dia rasa usianya tak jauh beda dengannya. Hanya saja wanita itu kelihatan lebih muda. Mungkin karena tubuh dan wajahnya lebih terawat. Tidak seperti dirinya yang kucel dan kusam. "Apa dia majikan suamiku?" batin Ina. "Tapi kenapa mereka begitu akrab hingga saling berpegangan tangan?"
“Siapa dia, Sayang?” Ina melihat wanita itu bertanya pada suaminya, sambil menatap tidak suka ke arahnya.
Ina merasa ada yang salah dengan kupingnya. Apa tadi? Dia memanggil suaminya apa? Sayang? Apa Ina tidak salah dengar?
“Dia istriku yang di kampung, yang pernah aku ceritakan padamu.” Ina tertegun. Suaminya menjawab pertanyaan itu dengan enteng. Seakan Dia sudah biasa saja dipanggil dengan sebutan itu tadi.
Yang membuat dadanya terasa sesak adalah, suaminya melihatnya seperti orang asing. Ada apa ini? Kenapa suaminya bahkan seperti tidak mengharapkan kehadirannya. Tak terlihat setitik pun rindu di sorot mata suaminya.
“Ohh ..!” Ina kembali tertegun, Tampaknya wanita itu tidak terkejut mendengar statusnya. Artinya dia sudah tahu kalau Ranu punya seorang istri, kan? Tapi kenapa dia masih menempel pada suaminya?
“Assalamualaikum, Nyonya. Saya datang untuk bertemu dengan mas Ranu.” Ina masih mencoba berpikir tenang.
“Ya sudah, ajak istrimu masuk!” Ina heran. wanita itu masuk tanpa melepaskan tangannya dari suaminya, dan suaminya pun mengikutinya.
“Mas..?” Ina memanggil suaminya.
Ranu menoleh pada Ina dan berseru, “Masuklah!” Tapi dia tak menunggunya. Dia masih setia menggandeng tangan wanita itu. Hingga mau tak mau Ina harus mengikutinya.
“Ada apa sih di depan? Kok sepertinya sedikit berisik?”
Belum lagi mereka sampai ke dalam. Tapi ada suara yang sangat tidak asing di telinga Ina. Itu seperti suara…
“Itu, Bu. Ada istri kampungnya mas Ranu.” Jawab wanita yang Ina pikir majikan suaminya.
“Apa? Inna? Mau apa dia ke sini? Dan bagaimana dia bisa sampai di sini?”
Ina tercengang saat suara familiar itu kembali terdengar.
“Ibu..?” Ina benar-benar syok. Itu ibu mertuanya? Kenapa ibu mertuanya bisa ada di rumah majikan suaminya? Ina menutup mulutku saat melihat wajah tua itu. Dan wanita yang sedang duduk di sampingnya. Ratna? Adik suaminya itu. Kenapa Dia juga ada di sini? Bukankah katanya dia sedang ada di rumah suaminya.
Mereka, keluarga suaminya, bagaimana mereka bisa mengenal majikan Ranu? Ina putar otaknya sedemikian rupa pun, tetap tak bisa menyimpulkan jawabannya.
“Ibu dan Ratna kenapa bisa ada di sini?” Akhirnya Ina tak lagi bisa menahan rasa penasaran yang bercokol di benakku. Ina metatap wajah mereka yang malah saling pandang tanpa sepatah kata.
“Sudahlah Sayang. Dia sudah ada di sini juga. Apa lagi yang mau disembunyikan!” Seru wanita yang sejak tadi tak mau lepas dari Ranu. Ina melihat suaminya mengambil nafas dalam.
“Sudah biar ibu saja yang bicara!” Ibu mertua Ina berseru sebelum Ranu sempat mengeluarkan sepatah kata. “Wanita cantik yang ada di samping suamimu itu, adalah Siska. Dia istri Ranu juga.”
Duarr..
Ina menoleh ke arah suaminya dengan kepala tergeleng. “Itu tidak benar kan, Mas?” tanyanya. Air mataku lolos tanpa permisi. Sama sekali tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ina berharap itu bohong. Tapi sayangnya, suaminya mengangguk, membenarkan pernyataan ibunya.
“Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa mas menikah lagi, dan itu pun tanpa izin dariku.” pekik Ina.
“Heh, perempuan udik. Memangnya kalau Ranu ijin sama kamu, kamu bakalan ijinkan?” sahut mertuanya.
“Tentu saja tidak Bu. Mana ada seorang istri yang rela melihat suaminya menikah lagi.” Ina tidak habis pikir dengan jalan otak ibu mertuanya.
“Memangnya Mbak Inna itu siapa, sampai mas Ranu butuh ijin dari Mbak?” Bukan suaminya, adiknya yang menyahuti perkataan Ina.
“Aku istrinya, kalau kamu lupa.” Ina berteriak kencang.
“Sayang, istri udik mu ini benar-benar gak bisa lihat diri sendiri ya. Sudah penampilan dekil, kucel, banyak omong, sok iyes lagi.” perempuan yang oleh ibu mertuanya disebut dengan nama Siska menatapnya penuh cemooh.
“Pantas saja selama ini ibu tenang-tenang saja meskipun Mas Ranu tidak pulang ke rumah. Jadi ini alasannya Bu? Jadi sebenarnya Ibu sudah tahu kalau Mas Ranu menikah lagi?” Ina kembali hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus jatuh berlinang.
“Ya iyalah sudah tahu. Mbak Inna ini bagaimana sih? Ya mana mungkin Mas Ranu itu menikah lalu kami tidak datang.” Ratna berbicara sambil meniup kukunya yang tampak mengkilap karena dipoles kuteks.
Ina benar-benar sakit hati melihat situasi yang saat ini ada di hadapannya. Mereka semua terlihat tenang-tenang saja, sama sekali tak ada rasa bersalah sedikitpun di riak muka mereka.
“Bu, kenapa sih, mas Sugi harus memberikan alamat rumah ini pada wanita itu? Menyebalkan tau gak?”
Ina tertawa sambil memegang dadanya. Fakta apa lagi ini. Wanita itu bahkan mengenal Sugi. Apakah itu artinya pernikahan mereka memang telah direncanakan sejak lama. Apakah itu berarti kepergian Ranu ke kota sebenarnya bukan untuk bekerja tetapi untuk menikah lagi dengan wanita bernama Siska itu? Sungguh, itu adalah persekongkolan yang sangat sempurna.
"Ya Tuhan kenapa aku begitu bodoh. Siang dan malam, Aku menantikan dengan cemas kepulangan laki-laki yang telah mengucap ijab atas diriku. Takut terjadi sesuatu padanya. Takut dia sedang tidak baik-baik saja, hingga sampai tak bisa memberi kabar.Tetapi ternyata yang aku nantikan, malah sedang hidup berbahagia dengan istri barunya." Ina menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Kenapa kamu tega lakukan ini padaku Mas? Apa salahku padamu? Apa kurangku dalam pengabdianku selama ini? Aku selalu ikhlas menemanimu meskipun kita dalam kesusahan. Sebelas tahun Mas. Kita tidak pernah ada masalah sedikitpun. Tapi kenapa tiba-tiba saja kau berpaling?” Ina memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.
“Dasar lebay kamu Mbak. Sok paling berkorban. Lagian mikir dong Mbak. Coba diingat, yang katanya sebelas tahun berjuang bersama. Mana hasilnya Mbak. Mas Ranu tidak pernah ada peningkatan ekonomi sedikitpun bersama dengan Mbak. Malah semakin melarat iya. Siapa yang betah Mbak.”
Lagi-lagi Ratna yang paling vokal. Sedangkan suaminya terlihat seperti kerupuk yang melempem tersiram air. Dia sama sekali tak bersuara. Membiarkan ibu, adik, dan wanita yang katanya istri keduanya itu saja yang terus berbicara menyahuti setiap perkataan Ina.
“Lalu jika kami melarat, itu salahku? Kenapa tidak salahkan saudara laki-lakimu yang tidak mau mencari pekerjaan. Mas Ranu yang sama sekali tidak pernah mau berusaha. Selama ini aku sudah melakukan apapun yang aku bisa. Dan itu masih kurang menurut kalian, dan itu tetap aku yang salah karena kami miskin?” Ina tidak habis pikir dengan jalan pikiran mereka.
“Ya tentu saja kamu yang salah Mbak. Karena kamu itu bukan perempuan pembawa hoki. Kamu itu perempuan pembawa kemelaratan. Buktinya setelah menikah dengan Mbak Siska, kehidupan mas Ranu jadi lebih baik. Kamu tidak buta kan untuk tidak bisa melihat perbedaan Mas Ranu ketika masih bersamamu dengan mas Ranu yang sekarang?”
Wah luar biasa. Pembelaan yang sangat sempurna. Ina bahkan sampai tak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adik iparnya. Lagi-lagi Ina hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan diri yang selama ini terlalu bodoh.
Sebelas tahun. Ina yang seorang wanita rela bekerja banting tulang. Apapun dia lakukan agar keluarganya bisa makan. Bahkan suaminya yang seorang pria, yang notabenenya adalah lulusan sarjana, tidak ada yang dia lakukan setiap hari selain hanya duduk ongkang kaki saja di rumah.
Setiap kali ina memintanya untuk mencari pekerjaan, Dia selalu bilang merasa gengsi, jika bekerja tidak sesuai dengan ijazahnya. Ditambah ibunya yang selalu mendoktrinnya, jika lulusan sarjana seharusnya hanya boleh bekerja di kantoran.
Lama-kelamaan menjadi pengangguran terlalu membuatnya merasa nyaman. Sehingga pada akhirnya justru membuat dia hanya tergantung pada istrinya saja.
Ina memang tahu keluarga suaminya tak pernah menyukainya, tetapi Ina pikir seiring berjalannya waktu mereka bisa melihat ketulusannya dan itu akan merubah sedikit saja cara pandang mereka terhadapnya, tetapi nyatanya dia salah. Dia yang terlalu naif, dengan berpikir, bahwa suatu saat mereka pasti akan bersikap baik padanya.
Pada akhirnya tetap kemiskinan mereka yang diungkit. Dan pada akhirnya tetap saja dia yang salah. Sekarang dia pun berakhir kalah.
Yang Ina heran adalah mereka tidak melihat bagaimana mereka dari awal. Mereka berjuang dari nol dan bahkan tanpa modal apapun selain tangan dan kaki, menghidupi seorang anak dan bahkan terkadang juga ikut membantu makan sehari-hari keluarga ibunya.
Lalu sekarang dia dibandingkan dengan Siska, yang pada saat Ranu baru masuk saja dia memang sudah kaya raya. Apakah itu masuk akal?