Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Akibat Celotehan Arya
Bab 25
Argani duduk di meja yang menghadap taman. Sambil menunggu Andhira, dia melakukan video call dengan mamanya. Dia rindu dengan celotehan Arya yang semakin pintar diajak berbicara.
"Halo, jagoan papa!" ucap Argani ketika melihat wajah Arya.
"Halo, Papa!" Arya tersenyum lebar.
"Gani! Siapa yang mengajari Arya bilang mimik mama sekarang buat papa?" Tiba-tiba saja muka Mama Aini ikut muncul di layar.
Argani mepuk jidatnya. Ketika mencoba menyapih Arya, dia bilang kalau anak itu harus belajar tidak mimik lagi sama mamanya. Dia juga bilang kalau sekarang mimik itu sudah menjadi miliknya. Tentu saja Andhira tidak tahu karena itu adalah pembicaraan dua laki-laki berbeda generasi. Ternyata Arya langsung paham dan bisa disapih dengan cepat.
"Bukan aku, Ma. Mungkin Arya melihat anak-anaknya si Molly sudah tidak menyusu lagi, jadi dia ikut-ikutan," bantah Argani berbohong.
Molly adalah kucing peliharaan Andhira dan Arya sangat menyukainya. Apalagi anak-anak kucing yang berjumlah dua ekor itu terlihat lincah dan lucu. Terkadang Arya juga ikutan minta mimik jika melihat anak-anak si Molly lagi menyusu.
"Jangan bohong! Karena Arya tidak bisa berbohong," ucap Mama Aini.
"Oma, jangan malah!" Arya mengerakkan jari telunjuknya meniru sang ibu jika melarang sesuatu kepadanya. "Nanti ... tua."
Mama Aini langsung terdiam dan itu membuat Argani bersorak di dalam hati, "Pintar Arya. Ayo, bela papamu ini agar tidak dimarahi Oma."
"Arya suka menginap di rumah Oma dan Opa?" tanya Argani.
"Suka." Arya mengangguk. "Tapi, Opa ... tidurnya gini, ngok ... ngok." Arya meniru orang yang mendengkur. "Terus Oma pukul Opa." Arya memeragakan orang sedang memukul.
Argani tertawa dengan mulut ditutup oleh tangan karena takut mengganggu orang lain. Papa Anwar kalau lagi kelelahan dan kurang beristirahat memang terkadang mendengkur ketika tidur.
Meja Putri yang tidak jauh dari tempat Argani, bisa melihat laki-laki itu. Dia penasaran siapa yang sedang dihubungi olehnya sampai membuatnya tertawa terkekeh. Dia pun beranjak dan mendekati meja Argani.
"Hai, Argani!" Putri menyapa dan itu membuat Mama Aini yang ikut melihat kehadiran Putri melotot kepadanya.
Argani tentu saja merasa tidak suka dengan kehadiran Putri. Dia menatap tajam kepadanya, apalagi ketika tiba-tiba wanita itu menyapa ibunya.
"Halo, Tan!"
"Setan!" ucap Mama Aini pelan
"Halo, Setan," ucap Arya dengan cadel karena mendengar ucapan neneknya.
Mama Aini dan Argani terkejut mendengar ucapan Arya. Begitu juga dengan Putri yang terkejut sekaligus menahan marah ketika mendengar cucu papa tirinya memanggil dia dengan sebutan, setan.
"Halo, Arya. Ini Tante, bukan setan," ucap Putri sambil tersenyum menahan marah.
Wanita itu ikut duduk di samping Argani. Tentu saja membuat suami Andhira itu kesal.
"Ngapain kamu duduk di sini?" Argani menunjukkan raut wajah tidak suka. "Sana, aku tidak mau nanti Andhira marah."
"Aku, kan, cuma mau menyapa keponakan aku," ucap Putri.
"Anakku tidak perlu di sapa sama kamu. Jangan buat aku marah karena kamu sudah mengganggu kami," kata Argani dengan nada tegas.
"Sedang apa kamu di sini, Putri?"
Pak Sandi datang ke meja Argani. Dia melihat Mama Aini yang sedang memangku Arya. Laki-laki itu sejak muda menaruh hati kepada ibunya Argani.
"Aini?"
"Gani, sepertinya Arya sudah mau tidur. Sampaikan salam untuk menantu kesayangan mama." Terlihat kalau Mama Aini tidak nyaman melihat Pak Sandi.
"Oke, Ma." Panggilan itu pun terputus.
"Mamamu masih kelihatan muda meski sudah punya cucu," ucap Pak Sandi.
"Ya, karena papaku selalu membuat hidup mama bahagia. Jadi, kelihatan awet muda," balas Argani dengan tatapan sinis.
Andhira datang dan merasa heran ketika melihat ada Putri di meja bersama suaminya. Lalu, Pak Sandi berdiri di samping.
"Sayang, cepat duduk! Sebentar lagi pesanan kita akan datang," ujar Argani sambil berdiri, lalu menarik Andhira agar duduk di kursi yang ditempatinya tadi.
"Put, ayo, kembali ke meja kita!" titah Pak Sandi.
Putri beranjak dari meja itu. Dia mengikuti langkah laki-laki paruh baya yang pantas menjadi ayahnya.
Andhira terlihat diam sambil terus memerhatikan Pak Sandi dan Putri sampai ke mejanya. Dia yakin suara laki-laki itu sama dengan orang yang bicara ketika dia berjalan menuju toilet, tadi.
"Ada apa? Kenapa kamu melihat mereka seperti itu?" tanya Argani.
"Sejak kapan Mas Gani mengenal Pak Sandi?" tanya Andhira.
"Pak Sandi itu kenalan mama. Orang tua mereka berteman. Pak Sandi menaruh hati sama mama, tetapi mama tidak suka kepadanya. Makanya mama pergi kuliah ke luar negeri dan bertemu dengan papa ketika sama-sama mengenyam pendidikan," jawab Argani.
"Ada yang mau katakan sama kamu, Mas. Tadi aku mendengar seseorang berbicara melalui telepon," kata Andhira. Lalu, dia menceritakan apa yang dia dengar tadi dan mengatakan kalau suara orang itu mirip dengan suaranya Pak Sandi.
Tentu saja Argani terkejut. Dia tahu kalau Pak Sandi itu orang yang akan melakukan apa saja ketika berbisnis agar menguntungkan dirinya. Dia pernah diberi peringatan oleh Nusantara, temannya. Jangan mau terlihat kerjasama atau bersaingan dalam mendapatkan sebuah proyek dengan Pak Sandi.
Ketika Andhira dan Argani akan kembali ke kamar, mereka bertemu kembali dengan Putri dan Pak Sandi di dalam lift. Andai saja mereka masuk belakangan, pasti enggak mau. Keduanya masuk ketika pintu lift akan tertutup.
Andhira memegang erat tangan Argani. Dia tidak suka ketika Pak Sandi menatap ke arah mereka. Apalagi Putri masih terlihat terobsesi kepada suaminya.
Ternyata Pak Sandi dan Putri keluar lift di lantai tujuh. Tentu saja ini membuat heran Argani. Berbeda dengan Andhira yang merasa lega.
Lift beranjak naik kembali, kamar yang di sewa oleh Argani berada di lantai tujuh belas. Kamar yang kebanyakan presidential suite room dengan harga sewa yang mahal karena fasilitas yang disediakan itu paling terbaik.
"Kok, mereka turun di lantai tujuh? Bukannya tadi ketika kita akan masuk lift mereka sudah ada di dalam, ya?" Andhira baru sadar dengan keanehan itu.
"Mungkin mereka tadi habis dari lantai dua puluh," ujar Argani.
Di lantai paling atas ada restoran mewah yang biasanya buka dari sore sampai subuh. Bisa menikmati waktu matahari terbit dan terbenam, juga pemandangan malam. Itu merupakan tempat favorit untuk menghabiskan waktu bersama teman atau pasangan.
Argani dan Andhira berenang berdua dan mengadakan lomba. Seperti dugaan laki-laki itu, dirinyalah yang akan menang. Betapa senangnya dia karena sang istri harus memijat tubuhnya.
"Curang! Mas, kan, laki-laki? Pastinya tenaganya lebih kuat dari aku," ucap Andhira masang wajah cemberut.
Argani tertawa terbahak-bahak. Dia sengaja ingin memenangkan lomba ini agar mendapatkan ser-vis dari istrinya.
"Nanti kamu bisa belanja apa saja, bebas!" bisik Argani agar mood istrinya kembali lagi.
"Beneran?" Andhira memicingkan matanya.
"Tentu saja," balas Argani sambil mencolek gemas hidung wanita itu.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Argani. Namun, laki-laki itu tidak sadar karena sedang mengarungi nirwana dunia bersama istrinya.
***