Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Pagi itu, Dylan sudah bersiap dengan pakaian formalnya. Ia akan menghadiri proyek penting di luar kota, sebuah langkah strategis yang sudah lama direncanakan oleh perusahaan. Namun, di balik wajah tegasnya, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Ny. Eleanor semalam.
Saat supir pribadinya mengantarnya ke bandara, ia membuka ponsel, menatap nomor Rose yang tersimpan di layar. Tangannya ragu untuk mengetik pesan. “Apakah aku terlalu memikirkannya?” pikirnya. Namun, ia segera menggeleng, berusaha mengalihkan fokusnya pada proyek yang akan dihadapinya.
Di kantor, suasana berjalan seperti biasa. Rose sedang sibuk menyelesaikan dokumen-dokumen yang menjadi tanggung jawabnya. Ia mencoba menahan lelah dan ketegangan yang terus menumpuk akibat perlakuan Nathan dan Elise—dua senior yang sering kali menyalahgunakan posisinya untuk membebankan pekerjaan mereka padanya.
“Rose, ini revisi laporan untuk klien Jepang. Kau harus menyelesaikannya sebelum jam makan siang,” kata Elise dengan nada dingin, sambil meletakkan setumpuk dokumen di meja Rose.
Rose mendongak dengan tatapan bingung. “Tapi ini bukan tugas saya, Nona Elise. Bukankah ini tugas Anda?”
Elise menatapnya tajam. “Kau pikir aku punya waktu untuk hal sepele seperti ini? Kau kan masih magang, sudah seharusnya kau membantu pekerjaan atasanmu.”
Nathan yang duduk di dekat mereka hanya tertawa kecil, ikut-ikutan memberi komentar. “Ayo, Rose. Jangan membuat suasana jadi rumit. Toh, kau juga tidak sibuk, kan?”
Rose menggertakkan giginya, mencoba menahan emosi. Namun, di dalam hatinya, ia merasa marah sekaligus lelah. Apalagi, Dylan tidak ada di kantor hari ini untuk melindunginya.
Tanpa sepengetahuan Elise dan Nathan, Dylan sebenarnya telah menugaskan seorang staf terpercaya, Jonathan, untuk mengawasi keadaan Rose selama ia pergi. Jonathan adalah salah satu karyawan lama yang dikenal Dylan sebagai orang yang dapat diandalkan dan memiliki integritas tinggi.
Saat Jonathan memperhatikan tindakan Elise dan Nathan dari jauh, ia segera mengirim laporan singkat melalui pesan ke Dylan, yang baru saja sampai di lokasi proyek.
Jonathan:
Pak Dylan, Nathan dan Elise lagi-lagi menyuruh Nona Rose melakukan tugas yang bukan tanggung jawabnya. Mereka tampaknya tidak peduli pada peringatan Anda sebelumnya.
Pesan itu membuat Dylan berhenti sejenak dari aktivitasnya. Ia menghela napas panjang, merasa kesal. “Mereka benar-benar tidak belajar,” pikirnya. Ia mengetik balasan dengan cepat.
Dylan:
Pastikan Rose tidak terlalu terbebani. Jika perlu, kau bantu dia menyelesaikan tugas itu. Aku akan segera ambil tindakan setelah kembali ke kantor. Untuk sekarang, amankan posisi Rose.
Jonathan membalas dengan singkat, Siap, Pak Dylan.
Di kantor, Jonathan mendekati Rose, yang terlihat frustasi di meja kerjanya. “Nona Rose, boleh saya lihat dokumen itu?” tanya Jonathan dengan nada lembut.
Rose menatapnya bingung. “Tapi ini tugas saya…”
“Saya diinstruksikan langsung oleh Pak Dylan untuk memastikan tidak ada yang membebani Anda dengan tugas tambahan yang tidak sesuai,” kata Jonathan tegas. “Biar saya bantu.”
Rose terdiam sejenak, merasa lega sekaligus bingung. Dylan selalu peduli, bahkan ketika dia tidak ada di sini. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin terlihat lemah di depan kolega lainnya.
“Tapi… jika mereka tahu, saya takut akan ada masalah,” katanya pelan.
Jonathan tersenyum tipis. “Percayalah, Pak Dylan akan mengurus semuanya. Anda hanya perlu fokus pada pekerjaan Anda sendiri.”
Sementara itu, di luar kota, Dylan mencoba menyelesaikan pertemuan proyek secepat mungkin. Tapi pikirannya terus melayang kembali ke kantor, membayangkan bagaimana Rose harus menghadapi tekanan dari Nathan dan Elise. Setelah pertemuan selesai, ia mengambil ponsel dan menghubungi Ny. Eleanor.
“Ibu, apa kau sibuk?” tanyanya.
Ny. Eleanor terdengar ceria di telepon. “Oh, Dylan! Kau jarang sekali menelepon saat sedang di luar kota. Ada apa?”
Dylan ragu sejenak sebelum menjawab. “Tentang pembicaraan kita semalam... Mungkin Ibu benar. Aku harus melakukan sesuatu, tapi aku tidak ingin melakukannya dengan cara yang salah.”
Suara Ny. Eleanor menjadi lebih lembut. “Kau sudah memikirkan langkahnya, Nak?”
“Aku sedang mencobanya,” jawab Dylan. “Tapi aku butuh waktu. Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan benar, tanpa membuat Rose merasa tertekan.”
Ny. Eleanor tersenyum di ujung telepon. “Dylan, Ibu tahu kau akan menemukan cara. Ingat, gadis seperti Rose tidak datang setiap hari. Jangan biarkan kesempatan ini berlalu begitu saja.”
Percakapan itu memberikan Dylan sedikit ketenangan. Ia tahu, begitu kembali ke kantor, ia harus mengambil langkah nyata untuk melindungi Rose—bukan hanya dari orang-orang seperti Nathan dan Elise, tapi juga dari ketidakpastian yang ada di antara mereka.
***
Dua minggu berlalu.
Dylan masih berada di luar kota, menyelesaikan proyek besar pengembangan mobil listrik perusahaannya. Proyek ini, yang awalnya direncanakan selesai dalam tiga hari, ternyata membutuhkan waktu lebih lama karena beberapa aspek teknis, termasuk pengujian keamanan dan efisiensi teknologi. Dylan, yang dikenal sangat perfeksionis, memastikan setiap detail diperiksa dengan teliti agar produk ini memenuhi standar tinggi sebelum diluncurkan di pasar internasional.
Meski fokus pada pekerjaannya, Dylan tetap tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Rose. Ia selalu menerima laporan dari Jonathan, yang mengabarkan bahwa situasi Rose di kantor sudah lebih baik. Namun, Dylan tidak tahu bahwa magang Rose hampir selesai—informasi ini terlewat karena sibuknya ia menangani proyek besar ini.
Di kantor pusat, hari terakhir magang Rose tiba. Gadis itu berdiri di depan cermin kecil di ruang kerjanya, memperbaiki blazer yang ia kenakan. Ia ingin memastikan penampilannya rapi untuk berpamitan kepada rekan-rekannya, termasuk CEO mereka, Dylan Wang, yang selama ini menjadi sosok yang begitu memengaruhinya, baik secara profesional maupun pribadi.
Namun, ketika Rose meminta waktu untuk bertemu dengan Dylan, sekretarisnya, Irene, memberikan jawaban yang tidak diharapkannya. “Maaf, Pak Dylan masih di luar kota untuk proyek pengembangan mobil listrik. Beliau kemungkinan baru kembali minggu depan.”
Rose menatap Irene dengan sedikit kecewa, tetapi ia mencoba menyembunyikan perasaannya. “Oh, begitu. Kalau begitu, tolong sampaikan rasa terima kasih saya kepada beliau atas semua pembelajaran selama saya magang di sini.”
Setelah itu, Rose berjalan menuju meja kerja Dylan, tempat yang sering ia lihat dari kejauhan. Di sana, ia menuliskan memo singkat di atas kertas berlogo perusahaan.
Memo Rose:
*Pak Dylan,
Terima kasih atas bimbingan dan perhatian Anda selama saya magang di sini. Saya banyak belajar, tidak hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang bagaimana menjadi profesional yang lebih baik.
Saya mohon maaf karena tidak bisa berpamitan secara langsung. Hari ini adalah hari terakhir saya di perusahaan ini. Saya akan kembali ke Korea Selatan untuk melanjutkan karir yang sempat tertunda.
Sekali lagi, terima kasih atas semuanya. Saya berharap sukses selalu menyertai Anda dan perusahaan ini.
Hormat saya,
Rose.*
Rose menatap memo itu sejenak sebelum meninggalkannya di atas meja kerja Dylan. Dengan langkah ringan, tetapi hati yang terasa berat, ia berjalan keluar dari kantor, meninggalkan kenangan dan perasaan yang mungkin tidak akan ia ungkapkan.
Beberapa hari kemudian, Dylan akhirnya kembali ke kantor. Dengan wajah lelah tetapi puas atas keberhasilan proyeknya, ia masuk ke ruang kerja, hanya untuk menemukan memo kecil yang terselip di atas meja. Ia membaca setiap kata dengan penuh perhatian, dan saat ia menyelesaikan bacaannya, rahangnya mengeras.
“Rose sudah pergi?” gumamnya pelan, hampir tidak percaya.
Ia segera memanggil Irene untuk memastikan. “Irene, apa benar Rose sudah menyelesaikan magangnya?”
Irene mengangguk. “Benar, Pak. Hari terakhirnya tiga hari yang lalu. Dia menitipkan memo itu untuk Anda.”
Dylan terdiam, memo itu masih tergenggam di tangannya. Perasaan aneh muncul di dadanya—sesuatu antara penyesalan dan kehilangan. Ia menatap memo itu lagi, merenungkan keputusan Rose untuk kembali ke Korea Selatan.
Malam itu, Dylan duduk di ruang kerjanya, tidak bisa memfokuskan pikirannya pada laporan-laporan yang menumpuk. Ia meraih ponselnya, mencoba mencari nomor Rose yang masih tersimpan di kontaknya. Tangannya ragu-ragu untuk mengetik pesan atau menelepon.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menghubungi Ny. Eleanor. “Bu, Rose sudah pergi,” katanya langsung, tanpa basa-basi.
Ny. Eleanor, yang sedang membaca buku di ruang tamunya, terkejut. “Apa maksudmu sudah pergi?”
“Dia sudah menyelesaikan magangnya dan kembali ke Korea Selatan,” jawab Dylan, nadanya datar, tetapi penuh emosi yang terpendam.
Ny. Eleanor tersenyum kecil di ujung telepon. “Ah, aku tahu ini akan terjadi. Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang, Nak?”
Dylan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu, Bu. Tapi aku tidak bisa membiarkan semuanya berakhir seperti ini.”
“Kalau begitu, pergilah dan temui dia,” kata Ny. Eleanor tegas. “Kau selalu terlalu lambat dalam menyadari apa yang benar-benar penting bagimu. Jangan tunggu lebih lama, Dylan. Waktu tidak akan menunggumu.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Dylan sepanjang malam. Dan akhirnya, ia membuat keputusan besar. Dengan hati yang mantap, ia mulai merencanakan langkah berikutnya—untuk pergi ke Korea Selatan dan menemukan Rose, memastikan ia tidak kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.
Bersambung