Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersedia Datang
Getar ponsel kembali mengejutkan Pandu, yang saat itu masih terpaku dengan de-sah napasnya yang kasar.
Benny. Sang kakak ipar yang barusan chat-nya diabaikan, sekarang melakukan panggilan. Namun, bukannya langsung menjawab, Pandu hanya menatap layar ponselnya sampai diam sendiri.
"Siapa? Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Wenda.
Pandu menarik napas panjang. Lantas menjawab, "Mas Benny, Ma, mau ngajak damai. Katanya Ibu sakit dan sekarang di ICU, kaget gara-gara Mas Albi dan Mbak Tari dipenjara."
"Lalu?"
"Ya udah, Ma, biarkan saja. Kata maaf doang nggak cukup untuk menyembuhkan Lintang. Biarin mau Ibu sakit atau apa, aku nggak peduli. Selama ini mereka egois dan nggak ada yang mau mikirin Lintang. Sekarang gantian aku yang egois. Aku nggak mau mikirin yang lain, sekalipun itu Ibu."
Wenda diam. Tidak mendukung, pun tidak melarang. Hati anaknya yang lembut turut berubah karena sikap keluarga Lintang yang memang keterlaluan. Sekarang yang ada dalam benak Wenda hanya satu—bagaimana jika mental Lintang tidak bisa pulih seperti orang pada umumnya. Bagaimana Pandu nanti? Akankah anaknya itu masih tahu arti bahagia?
"Mama kenapa diam? Mama nggak akan menyuruhku untuk memaafkan mereka, kan?"
Wenda menggeleng pelan. Lantas lebih mendekati putranya dan memegang bahunya erat-erat.
"Tentu tidak. Setelah apa yang mereka lakukan pada Lintang, memang pantas jika sekarang menuai akibat perbuatannya. Mama diam bukannya tidak setuju dengan keputusanmu. Tapi, Mama hanya memikirkanmu, Pandu."
"Aku?"
"Iya. Mama terlalu khawatir dengan kamu dan juga Lintang. Keadaan Lintang sekarang seperti itu, nggak tahu kapan dia akan benar-benar sembuh. Pandu, Mama takut kenyataan nggak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Mama takut nggak bisa melihat senyummu lagi." Wenda menunduk, menggigit bibir yang serasa pahit.
"Lintang pasti sembuh, Ma. Aku dan dia akan bahagia."
Mendengar jawaban Pandu, Wenda bukannya tenang, melainkan makin miris. Bagaimana tidak, lelaki itu hanya bersikeras meyakini bahwa istrinya aka kembali normal. Dia tidak menyiapkan diri atas kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Cinta Pandu terlalu besar untuk Lintang, hingga tak sadar ia pun ikut rapuh karena terlalu sering melihat hati dan jiwa Lintang yang rapuh.
Sembari menguatkan hati yang mulai tak karuan, Wenda mengangkat wajah, menatap Pandu yang berada tepat di depannya.
"Pandu, dalam hidup ini ada dua hal yang selalu bertentangan. Seperti baik dan buruk. Ada hitam dan putih di setiap jalan manusia. Pandu, keyakinan akan kemungkinan yang baik memang perlu. Tapi, kamu juga jangan melupakan kemungkinan yang buruk. Apalagi terlalu menggantungkan harapanmu pada hal yang baik saja. Akan sakit jika kenyataan tidak seperti yang kamu inginkan. Pandu, berjanjilah pada Mama, apa pun yang terjadi antara kamu dan Lintang nanti, tetaplah bahagia. Ya?"
Pandu hanya mengangguk menanggapi ucapan ibunya. Mungkin ia tak paham dengan makna mendalam yang tersirat di dalam kalimat itu. Namun, Wenda sudah cukup lega karenanya. Lantas, ia menyambung apa yang dia ucap barusan.
"Dalam meraih tujuan, ada banyak jalan yang bisa kita tempuh, Pandu. Untuk itu, kamu jangan berhenti apabila menemui jalan buntu. Kembalilah, perbaiki dirimu dan cari jalan lain untuk tiba di tujuanmu. Paham kan maksud Mama?"
"Iya, Ma," jawab Pandu.
Pemahaman dangkal yang Pandu mengerti kala itu—jika Psikiater Ratna tidak bisa menyembuhkan Lintang, maka akan ia cari psikiater lain yang jam terbangnya lebih tinggi. Padahal, maksud Wenda yang sebenarnya lebih dari itu.
______
Setelah tiga hari masuk ICU dengan kondisi yang setengah kritis, hari ini Ningrum sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Hanya Benny yang menemani. Itu pun terkadang ditinggal pulang untuk melihat Nada, juga ditinggal ke kantor polisi untuk melihat Albi dan Utari, yang kini masih terus menjalani pemeriksaan.
"Albi, Tari, Lintang, mereka di mana, Ben?"
Bukan pertama kalinya Ningrum mencari ketiga anaknya. Sejak kesadarannya pulih, ia terus menanyakan hal yang sama.
"Mas Albi dan Tari belum bisa ke sini, Bu. Kalau Lintang, aku juga nggak tahu. Sudah berulang kali aku menghubungi dia dan Pandu, tapi nggak ada respon sama sekali."
Jawaban Benny juga tetap sama. Memang itulah kenyataannya. Sampai saat ini, Pandu belum membalas pesan apalagi menjawab teleponnya. Padahal, sudah puluhan pesan yang Benny kirim. Namun, satu pun tak ada yang menarik perhatian Pandu.
"Bawa aku menemui mereka, Ben. Tolong, Ben! Ibu mohon," pinta Ningrum dengan tatapan memelas.
Benny bingung. Tak mungkin ia membawa Ningrum ke kantor polisi, yang ada kondisinya akan lebih drop. Membawa ke rumah Lintang, juga bukan jalan keluar yang baik. Dihubungi saja tak ada respon, bagaimana kalau nanti tidak dibukakan pintu.
"Bu, biar kutelfon Lintang lagi ya, Bu. Mungkin sekarang dia udah nggak sibuk."
Tanpa menunggu jawaban Ningrum, Benny langsung keluar ruangan dan merogoh ponselnya di saku celana. Sekali lagi dia akan menghubungi Pandu, berharap adik iparnya bisa diajak kerja sama.
"Halo." Untungnya kali ini dijawab oleh Pandu. Benny sangat lega sampai mengusap dadanya sendiri.
"Pandu, tolong kamu dan Lintang ke sini ya. Ibu nyariin terus. Kondisinya belum banyak kemajuan, mungkin dengan ketemu kalian nanti Ibu bisa lebih baik," ujar Benny.
Sengaja dia merendahkan diri. Pikirnya, agar Pandu menurut dan mau datang ke rumah sakit. Perihal kasus Albi dan Utari, akan ia diskusikan nanti setelah bertemu.
"Baik, aku akan ke sana sekarang juga."
Senyuman lebar langsung terbesit di bibir Benny. Akhirnya usaha tidak sia-sia. Ia berhasil juga membujuk Pandu.
"Baik, kutunggu di sini. Hati-hati, Pandu!"
Setelah telepon berakhir, Benny kembali masuk dan menemui Ningrum. Ia katakan bahwa Pandu dan Lintang akan segera datang.
Ningrum pun tersenyum senang. Wajah pucatnya tampak sumringah dengan harapan-harapan yang indah.
Namun, benarkah kenyataan seindah harapannya?
Takut nya kamu tidak bisa menanggapi ucapan 2 dari mereka Beny dan ibu mu
Duh Pandu di pecat
Akan berdampak nggak ya ke Lintang , kalau Lintang tahu Pandu di pecat
lanjut thor
Kalau memang lintang anak hasil selingkuh,yg patut disalahkan adalah orang yg berselingkuh itu.
Emang dia bisa memilih dan memaksa terlahir dr perut siapa?
Sungguh2 bodoh,atw malah mereka berdua ini sakit jiwa kurasa sehingga bisa dg mudah tanpa rasa bersalah berbuat kejam dan sadis
kpd saudara mereka sendiri.
Sekarangpun sdh disidang dan mendengar kondisi lintan yg dpresi parah,tidak ada sedikitpun rasa bersalah atw menyesal dihati mereka.
depresi berat
lanjut thor 🙏💪😘