Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Kepanikan yang Tak Terduga
Malam itu, setelah insiden di depan pagar, Ruri mempersilakan Takeru masuk ke rumahnya. Suasana antara Carlos dan Takeru masih terasa kaku, meski tak ada kata yang terucap secara langsung. Keduanya terus saling mengawasi, dengan aura tegang yang tak bisa diabaikan. Ruri, meskipun merasa sedikit canggung, berusaha mengendalikan situasi.
Di ruang tamu, setelah beberapa menit hening, Takeru akhirnya berbicara. "Jadi, siapa pria ini, Ruri?" Pertanyaannya terkesan tajam, dengan sorot matanya yang terus menatap Carlos.
Sebelum Ruri bisa menjawab, Carlos dengan santai membuka mulutnya, "Aku peliharaannya Ruri." Ia berkata dengan nada ambigu, seraya menyandarkan tubuhnya di kursi. Senyum licik tersirat di wajahnya, menikmati reaksi Takeru yang langsung berubah kaku.
"Peliharaan?" Takeru mengulang, terkejut. Dia beralih menatap Ruri dengan tatapan penuh tanda tanya.
Ruri yang mendengar perkataan Carlos langsung panik. Wajahnya merah padam saat dia buru-buru meluruskan kesalahpahaman itu. "Bukan seperti itu! Maksudnya dia... hanya pria asing yang kebetulan tinggal di sini." Ruri melirik Carlos dengan tatapan tajam, mencoba menghentikan permainannya. "Bukan seperti yang kamu pikirkan."
Takeru tampak bingung, alisnya mengerut. "Kamu tinggal dengan pria asing? Apa kamu nekat?" Nada suaranya jelas dipenuhi kekhawatiran dan sedikit kecurigaan.
Ruri menghela napas panjang, merasa terpojok. Dia menoleh sejenak ke arah Carlos yang tampak tenang-tenang saja, lalu kembali menatap Takeru. "Percayalah, ini bukan keinginanku. Lagipula, sudah hampir sebulan dia tinggal di sini. Kalau ada yang mencurigakan, pasti sudah terjadi sejak dulu."
Carlos tersenyum licik, seperti biasa, menikmati kekacauan kecil yang ditimbulkannya. Takeru akhirnya mengangguk pelan, meski kerutan di dahinya belum sepenuhnya hilang.
Untuk mencairkan suasana, Ruri berjalan ke dapur dan kembali dengan membawa semangka yang sudah dipotong-potong. "Ayo, kita makan semangka. Mungkin bisa menenangkan kalian."
Carlos langsung mengambil potongan semangka dengan antusias, sementara Takeru tampak sedikit ragu sebelum akhirnya ikut mengambil. Obrolan ringan mulai mengalir, meskipun Takeru masih tampak tidak nyaman. Carlos sesekali menyahut dengan candaan, namun Takeru tetap diam, tenggelam dalam pikirannya.
Setelah beberapa lama, Takeru akhirnya angkat bicara, suaranya pelan namun terdengar jelas di ruangan. "Ruri... soal foto itu... semua salahku."
Ruri terdiam sejenak, lalu menatap Takeru. "Jadi itu alasan kamu ke sini?" tanya Ruri sambil tersenyum tipis. "Kukira kau datang karena hal lain."
Takeru mengangguk dengan wajah penuh penyesalan. Namun sebelum dia bisa berbicara lebih jauh, Ruri segera memotong. "Tapi tak perlu lagi memikirkan itu. Meski kamu mengakuinya sekarang, tidak akan banyak membantu. Justru malah bisa memperkeruh keadaan."
Ruri menjelaskan bahwa masalah ini lebih dalam dari sekadar rumor. Orang-orang di sekitarnya sudah lama menyimpan rasa benci, dan hanya butuh alasan kecil seperti rumor untuk memicu semuanya. Itu semua karena dirinya yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa berusaha bergaul dengan teman-temannya.
Takeru mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. Tapi di sudut ruangan, Carlos hanya tersenyum licik, seolah menikmati ketegangan di antara mereka.
___
Pagi harinya, Ruri mengusulkan ide untuk pergi ke pantai sebagai bentuk penyambutan untuk Takeru. Dia berpikir bahwa dengan suasana yang lebih santai, semuanya akan lebih baik. Baik Takeru maupun Carlos setuju.
Namun, saat Ruri mulai memesan taksi online dan membuka aplikasi pembayaran, Carlos tiba-tiba menghentikan tangannya. "Hei, kau yakin ingin menghabiskan uang sebanyak itu?" tanyanya, matanya menatap layar ponsel Ruri dengan serius.
Ruri tersenyum, lalu memperlihatkan saldo tabungannya. "Tenang saja, Carlos. Ini hasil dari gajiku selama syuting Pemuda Tangguh. Aku punya cukup uang."
Carlos masih tampak ragu, tapi akhirnya dia hanya menghela napas. "Kau tetap harus hati-hati. Jangan boros."
Ruri tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kali ini. Kita harus bersenang-senang."
Takeru yang sedari tadi diam, tiba-tiba menawarkan diri. "Kalau begitu, biar aku yang bayar."
Ruri tertawa kecil. "Tidak perlu, Takeru. Ini bentuk penyambutanku untukmu."
Takeru tampak tersadar sejenak, lalu tersenyum kecut. Dia mungkin baru ingat bahwa dia datang ke Indonesia tanpa sepengetahuan manajemennya, sehingga tidak membawa cukup uang. Pada akhirnya, dia menyerah, membiarkan Ruri yang mengurus semuanya.
Setibanya di pantai, Carlos langsung terlihat terkejut. Matanya menyipit saat menatap luasnya lautan. "Jadi ini yang disebut pantai?" gumamnya, seolah mencoba mencerna apa yang dilihatnya.
Namun, beberapa menit kemudian, Carlos merasa tidak nyaman. Bau asin dari air laut membuatnya mual, dan dia memutuskan untuk kembali ke mobil dan tiduran di sana, meninggalkan Ruri dan Takeru sendirian.
Di pantai, awalnya Takeru tampak canggung, seperti biasanya. Dia masih mencoba menyembunyikan wajahnya dengan masker dan topi, khawatir ada orang yang mengenalinya. Tapi sikapnya yang berlebihan itu justru menarik perhatian banyak orang. Mereka tertawa kecil melihat tingkah anehnya.
Ruri menepuk bahu Takeru, mencoba menenangkannya. "Takeru, tidak ada yang mengenalmu di sini. Santai saja."
Setelah mendengar ucapan Ruri, Takeru mulai melepaskan maskernya dan menurunkan topinya. Perlahan, dia mulai merasa nyaman. Mereka berjalan di sepanjang pantai, menikmati angin laut dan suara ombak yang memecah di bibir pantai.
Mereka bercanda, tertawa, dan mengenang masa kecil mereka bersama. Ruri merasa lega melihat Takeru bisa menikmati waktunya tanpa khawatir dengan pandangan orang lain. Selama beberapa saat, mereka lupa semua masalah yang membebani pikiran mereka.
Namun, di tengah-tengah kesenangan itu, tiba-tiba suara familiar terdengar dari kejauhan. "Ruri?"
Ruri menoleh, dan dia melihat seseorang yang sudah tak asing lagi baginya. Arham, seniornya, berdiri tak jauh dari mereka, tersenyum ramah.
Ruri sedikit terkejut, tapi tetap berusaha tersenyum. "Oh, Kak Arham. Kebetulan sekali ketemu di sini."
Arham mendekat, mengulurkan tangannya untuk menyapa. "Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di pantai. Apa kabar?"
Ruri menelan ludah, teringat peringatan Carlos tentang Arham. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, meskipun selama ini dia selalu bersikap ramah. Sejak awal semester kedua, Arham selalu muncul di waktu yang tidak tepat. Dan jika dia mengingat kembali, itu di saat hubungannya mulai memburuk baik dengan teman seangkatan maupun para seniornya, di waktu ketika segalanya tidak tepat. Dan sekarang, setelah semua yang dikatakan Carlos, firasat buruknya semakin kuat.
Namun, Ruri tahu dia tidak bisa bersikap kasar hanya berdasarkan kata-kata Carlos. "Ah, baik. Tapi aku harus segera pergi," katanya cepat, mencoba mengakhiri pertemuan itu secepat mungkin.
Arham mengerutkan dahi, sedikit bingung dengan sikap terburu-buru Ruri. "Oh, begitu ya? Baiklah, semoga kita bisa bertemu lagi," katanya dengan senyum kecil, meski matanya tetap memperhatikan Ruri dengan tajam.
Takeru hanya berdiri diam di samping Ruri, memperhatikan situasi dengan hati-hati. Dia tidak berkata apa-apa, tapi jelas terlihat dia juga merasakan ada sesuatu yang aneh dengan pertemuan itu.
Setelah menyapa singkat, Ruri dan Takeru pun segera meninggalkan pantai, tanpa menoleh kembali ke Arham yang masih berdiri di sana, menatap mereka dengan tatapan yang sulit dijelaskan.