Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Malam itu hujan turun dengan deras, membasahi kota dan menyisakan jalan-jalan yang lengang. Dasha seorang karyawan di salah satu cabang perusahaan Winanta Group yang merupakan perusahaan terbesar di Asia berjalan tergesa-gesa di trotoar dengan payung lusuh di tangannya. Ia baru saja menyelesaikan lembur di kantor, dan hanya ingin segera sampai ke rumah kosnya yang sederhana.
Namun langkahnya terhenti saat melihat sebuah mobil mewah terparkir di pinggir jalan. Di sampingnya seorang pria berdiri dengan jas mahal yang mulai basah oleh hujan. Wajahnya tampak dingin dan serius tetapi ada sesuatu yang membuat Dasha penasaran mungkin caranya menatap hujan tanpa bergerak sedikit pun.
Dasha ragu logikanya mengatakan untuk terus berjalan saja, tapi rasa simpati membuatnya mendekat.
"Butuh bantuan?" tanyanya sambil sedikit mengangkat payungnya.
Pria itu menoleh perlahan, memperlihatkan wajahnya yang tegas dan karismatik. "Saya menunggu sopir saya. Tapi sepertinya dia terjebak macet di jalan" jawabnya singkat.
"Oh" Dasha mengangguk merasa percakapan selesai. Tapi kemudian ia melihat betapa kuyupnya pria itu.
"Kalau begitu mau numpang di bawah payung saya sampai ke tempat berteduh?" tawarnya, meskipun payungnya kecil dan jelas tidak cukup untuk dua orang.
Pria itu terdiam sejenak menatap Dasha seperti menilai apakah tawarannya tulus atau hanya basa-basi. Akhirnya ia mengangguk. "Terima kasih."
Mereka berjalan dalam diam menuju halte terdekat. Dasha berusaha menjaga payung agar lebih banyak melindungi pria itu, meskipun akibatnya ia sendiri jadi basah.
"Nama saya Dasha," katanya mencoba mencairkan suasana.
"Gavin" jawab pria itu singkat.
Dasha merasa percakapan tidak akan berkembang, tapi tetap saja ada sesuatu yang menarik dari pria itu auranya yang penuh wibawa namun menyimpan kesendirian.
Di bawah halte, mereka berteduh sambil menunggu hujan mereda. Dasha mencoba berbasa-basi lagi. "Apa Anda bekerja di sekitar sini?"
Leonard menoleh padanya. Kali ini ada sedikit senyum tipis di wajahnya. "Bisa dibilang begitu."
"Kerja di mana, kalau boleh tahu?"
"Winanta Group."
Dasha terkejut, mengenali nama itu. Winanta Group adalah salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di negeri ini.
"Wow berarti kita satu kantor, kamu dibagian apa?" ujarnya polos.
Gavin hanya tersenyum kecil
Ketika hujan mulai reda, sebuah mobil hitam berhenti di depan halte. Seorang sopir turun dan membuka pintu untuk Gavin. Sebelum masuk Gavin berhenti dan menatap Dasha.
"Terima kasih untuk payungnya" katanya
Dasha hanya tertawa kecil. "Tidak masalah. Hati-hati di jalan."
Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Dasha yang masih berdiri di halte. Ia mengira pertemuan itu hanya akan menjadi cerita aneh di tengah hujan.
Namun, keesokan harinya, saat Dasha masuk kantor, ia mendapati suasana yang berbeda. Semua orang tampak sibuk dan tegang.
"Ada apa?" tanyanya pada salah satu rekan kerja.
"CEO baru perusahaan kita akan datang hari ini untuk inspeksi," jawab rekannya dengan antusias.
Dasha hanya mengangguk, merasa hal itu tak ada hubungannya dengan dirinya. Tapi semua berubah ketika pria yang ia temui semalam masuk ke ruangan, dengan jas mahal dan tatapan yang sama tegasnya.
Gavin
Mereka saling bertatapan dan sejenak Leonard tersenyum tipis, berbeda dari ekspresinya yang dingin malam sebelumnya.
"Selamat pagi, semuanya," sapanya pada para staf. Lalu pandangannya tertuju pada Dasha.
Dasha tertegun, merasa semua mata kini tertuju padanya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Gavin hanya melanjutkan "Terima kasih untuk tadi malam Dasha."
Ruangan menjadi sunyi. Rekan-rekan kerja Dasha memandangnya dengan penuh tanya, beberapa bahkan terlihat terkejut. Bisikan-bisikan mulai terdengar di sudut ruangan, dan Dasha merasa wajahnya memerah.
Dasha tidak tahu harus menjawab apa dia hanya mencoba tersenyum meskipun merasa kikuk dengan perhatian yang tiba-tiba.
Gavin mengangguk singkat, lalu kembali fokus ke para staf. "Hari ini kita akan membahas evaluasi kinerja divisi jadi siapkan semua data yang diperlukan saya harap tidak ada kesalahan." Suaranya tegas menunjukkan wibawanya sebagai pemimpin.
Pertemuan berakhir, tetapi perasaan Dasha tidak tenang. Ia tahu rekan-rekannya pasti akan menginterogasinya nanti.
Dan benar saja, saat Gavin meninggalkan ruangan, salah satu temannya, Karin langsung mendekat. "Dasha sejak kapan kamu kenal CEO baru?"
"Eh, aku nggak kenal dekat kok" jawab Dasha buru-buru. "Cuma kebetulan ketemu tadi malam waktu hujan, mobil dia mogok aku kira dia karyawan biasa disini. Terus aku tawari tumpangan buat neduh dihalte terdekat, terus beliau mau dan sempet ngobrol ringal sih kita"
"Serius? Kamu bisa sesantai itu ngobrol sama dia? Aku bahkan nggak berani menatap matanya tadi," ujar Karin sambil menepuk bahu Dasha, kagum sekaligus iri.
Dasha hanya tersenyum canggung menanggapi komentar Karin. Ia tahu seberapa besar kekaguman orang-orang terhadap Gavin sekarang, apalagi setelah tahu bahwa dia CEO baru mereka.
.
.
.
.
.
Saat hari berlalu Dasha berusaha menghindari kontak mata dengan Gavin. Ia sibuk dengan pekerjaannya, berharap interaksi mereka semalam tidak menjadi perhatian lebih lanjut. Tapi itu tidak semudah yang ia kira.
Sore harinya, seorang staf HR menghampiri meja Dasha. "Dasha bisa ke ruangan CEO sekarang? Beliau memintamu untuk membawa laporan yang tadi pagi kamu kerjakan."
Jantung Dasha berdegup kencang. "Apa? Kenapa saya?" tanyanya panik.
"Entahlah mungkin beliau ingin detail lebih lanjut. Yang jelas, beliau menyebut namamu langsung."
Dengan gugup, Dasha mengumpulkan dokumen dan menuju ke ruangan Gavin di lantai paling atas. Ruangan itu megah, dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota. Gavin sedang duduk di balik meja besar, memandang keluar jendela.
"Masuk," katanya, bahkan sebelum Dasha mengetuk pintu.
Dasha menelan ludah dan masuk perlahan. "Ini laporan yang Anda minta, Pak," ujarnya sambil menyerahkan dokumen tersebut.
Gavin mengambil dokumen itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Dasha. "Duduklah," katanya.
Dasha menurut, merasa canggung di bawah tatapan pria itu.
"Saya ingin tahu," Gavin memulai, "kenapa tadi malam kamu menawarkan payungmu kepada orang asing? Apa kamu tidak takut?"
Pertanyaan itu mengejutkan Dasha. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab, "Entahlah, mungkin karena Anda terlihat seperti membutuhkan bantuan. Lagipula, hujan deras dan saya pikir tidak ada salahnya membantu seseorang."
Gavin tersenyum tipis, seperti menyimpan sesuatu di pikirannya. "Kamu berbeda, Dasha. Tidak banyak orang yang mau membantu tanpa berpikir dua kali"
Dasha terdiam, tidak tahu bagaimana menanggapi komentar itu.
"Mulai sekarang, saya ingin kamu bergabung dalam tim proyek khusus saya. Saya butuh seseorang dengan pemikiran spontan dan tulus seperti kamu," lanjut Gavin.
"Proyek khusus?" Dasha terkejut. "Tapi, Pak, saya hanya seorang karyawan biasa. Bukankah ada orang lain yang lebih kompeten?"
"Kompeten itu penting, tapi karakter lebih penting," jawab Gavin tegas. "Dan saya yakin kamu punya itu. Mulai besok, kamu akan bekerja langsung di bawah saya."
Dasha merasa bingung sekaligus tertekan. Ia tahu kesempatan ini luar biasa, tapi bekerja langsung dengan Gavin berarti lebih banyak perhatian dan tekanan.
"Baik, Pak. Saya akan mencoba yang terbaik," akhirnya ia menjawab, meskipun perasaan gugup masih membayangi.
Gavin mengangguk, lalu kembali menatap laporan di tangannya. "Kamu bisa kembali ke mejamu."
Dasha bangkit dan keluar dari ruangan itu dengan kepala penuh pikiran. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya Gavin rencanakan, tapi satu hal yang pasti hidupnya baru saja berubah dalam semalam.