NovelToon NovelToon
The Secret Behind Love

The Secret Behind Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Penyesalan Suami
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: jhnafzzz

"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.

Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.

Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14. Sekolah Ethan?

Pagi itu, seperti biasa, Karuna sudah mulai menjalani rutinitasnya dengan penuh kesibukan. Setelah mengantarkan Ethan ke sekolah, ia langsung bergegas menuju tempat kerja. Hari-hari terasa semakin panjang, dan tubuhnya semakin lelah, namun ia tahu tidak ada pilihan selain terus bertahan.

Beberapa jam kemudian, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di toko, Karuna memutuskan untuk berbelanja di supermarket, membeli kebutuhan pokok untuk makan malam dan beberapa bahan makanan untuk beberapa hari ke depan. Ethan sudah pulang dari sekolah dan menunggu di rumah. Meski lelah, Karuna merasa sedikit tenang setiap kali ia melihat senyum anaknya.

Di supermarket, Karuna mengandalkan anggaran yang ketat. Hanya barang-barang penting yang ia beli—beras, sayuran, dan beberapa bahan makanan sederhana lainnya. Ia berharap dengan belanja hemat, mereka bisa bertahan lebih lama. Ethan, yang sejak tadi tampak asyik berjalan di sampingnya, dengan ceria memilih beberapa buah apel dan meminta untuk membeli es krim.

"Bu, boleh nggak beli es krim?" tanya Ethan dengan wajah polos.

Karuna tersenyum kecil, meskipun hatinya sedikit sakit. "Nanti, sayang. Kita bisa beli kalau ada lebih. Kita harus hemat, ya?"

Ethan mengangguk, meskipun sedikit kecewa. Karuna merasakan beratnya beban yang harus ia pikul, namun ia tahu ia harus kuat, terutama demi anaknya. Sambil melanjutkan belanjaan, ia berusaha mengabaikan perasaan cemas yang terus menghantuinya.

Saat mereka melangkah melewati lorong susu, tiba-tiba Ethan berhenti dan menatap dengan mata berbinar. "Papa!" serunya dengan gembira.

Karuna terkejut, dan matanya mengikuti arah pandangan Ethan. Di pintu keluar supermarket, berdiri seorang pria yang sangat dikenalnya—Damian. Namun, ada yang berbeda. Damian tidak sendiri. Di sampingnya, seorang wanita yang sedang dirangkulnya dengan mesra, Riska. Dan keduanya tersenyum lebar. Wanita itu tampak muda dan cantik, mengenakan pakaian modis yang terlihat sangat kontras dengan penampilannya yang sederhana dan sudah kurang terurus.

Karuna merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Perasaan campur aduk datang begitu mendalam—rasa sakit, kemarahan, dan kebingungan. Ethan, yang belum mengerti sepenuhnya tentang apa yang terjadi, melambaikan tangannya ke arah Damian. "Papa!" serunya lagi, sambil tersenyum lebar.

Karuna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Perasaan hancur datang begitu saja. Di depan matanya, Damian tampak begitu bahagia bersama Riska, sementara ia harus berjuang sendirian dengan semua beban hidup yang ada. Namun, ia tahu satu hal—Ethan tidak boleh tahu tentang perasaannya sekarang. Ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan anaknya.

"Sayang, ayo kita pergi ke sana sebentar," kata Karuna dengan suara lembut namun tegas, sambil menarik tangan Ethan dengan perlahan. "Papa sedang sibuk, kita nggak mau ganggu, kan?"

Ethan tampak bingung, namun ia mengikuti arahan ibunya. Mereka melangkah cepat menuju rak sebelah, jauh dari pandangan Damian dan Riska. Karuna berusaha menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, berusaha tidak memperlihatkan kepanikan atau kesedihan di wajahnya.

Ethan yang tampaknya sedikit bingung, menatap ibunya dengan khawatir. "Kenapa, Ma? Itu papa, kan?"

Karuna memaksakan senyum. "Iya, sayang, itu papa. Tapi, kadang-kadang kita nggak bisa mengganggu orang yang sedang bersama teman-temannya. Papa sibuk, jadi kita harus sabar, ya?"

Ethan tidak mengatakan apa-apa lagi, meskipun ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih bingung. Karuna berusaha untuk melanjutkan belanja mereka dengan cepat, meskipun hatinya terasa perih melihat kebahagiaan Damian yang begitu jelas di depan matanya.

Saat mereka berjalan ke kasir, Karuna teringat pada masa-masa ketika ia dan Damian masih bersama, saat mereka bisa berbelanja bersama dan merencanakan masa depan mereka. Namun, semuanya telah berubah. Damian yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, kini hanya menjadi kenangan yang harus ia lepaskan.

Dengan tangan gemetar, Karuna membayar belanjaannya. Ethan tampak tidak sabar untuk segera pulang, namun Karuna tahu, mereka harus terus berjalan. Tidak peduli seberapa berat perasaan yang ia simpan, ia harus tetap kuat untuk Ethan.

Dalam perjalanan pulang, Karuna merasakan kepedihan yang mendalam. Namun, ia tahu, ia tidak boleh membiarkan perasaan itu menghancurkannya. Untuk Ethan, ia harus tetap tegak. Mereka masih punya masa depan yang harus diperjuangkan, dan meskipun Damian tampak bahagia, Karuna tidak akan menyerah.

Sesampainya di rumah, Ethan langsung berlari ke dalam dan menuju kamar, sementara Karuna duduk sejenak di meja makan. Pandangannya kosong, namun hatinya penuh dengan berbagai perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Karuna duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap wajah Ethan yang tertidur dengan damai. Meskipun dunia seolah memberinya ujian yang tiada henti, Karuna tahu ia tidak akan menyerah. Karena selama ada Ethan, ada harapan yang selalu menyala. Dan itu cukup untuk membuatnya terus melangkah, meskipun langkah itu terasa sangat berat.

Hari-hari yang Karuna jalani semakin terasa berat. Setelah bertahun-tahun berjuang untuk bertahan hidup, ia merasa ada satu hal yang mulai menghantui pikirannya—waktu yang terus berjalan dan semakin mendekati batas. Ethan sudah berusia lima tahun Dan beberapa bulan lagi beranjak 6 tahun, dan semakin banyak orang yang bertanya, "Kapan dia mulai sekolah?" Karuna bisa merasakan kegelisahan di setiap pertanyaan itu, terutama ketika ia sendiri tidak tahu jawabannya.

Ethan memang cerdas. Ia cepat belajar dan selalu antusias ketika melihat buku atau mendengar cerita tentang sekolah. Karuna tahu, masa depan Ethan bergantung pada pendidikan, dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, meskipun itu terasa seperti sebuah impian yang jauh.

Namun, kenyataan yang harus dihadapi Karuna adalah biaya sekolah yang semakin meningkat. Meski ia sudah mencoba berbagai cara untuk menghemat, tidak ada cukup uang untuk mendaftarkan Ethan ke sekolah dasar yang ia impikan. Setiap kali memikirkan hal itu, hatinya terasa sesak. Di satu sisi, ia ingin memberikan segala yang terbaik untuk masa depan Ethan, namun di sisi lain, ia harus realistis dengan apa yang bisa ia lakukan.

Suatu pagi, saat mereka duduk bersama di meja makan, Ethan tiba-tiba bertanya, "Mama, kapan Ethan bisa sekolah?"

Karuna terdiam sejenak. Ethan duduk di depannya dengan mata penuh harapan, seolah ia telah menunggu jawaban yang sudah lama ada di pikirannya. Karuna bisa merasakan betapa anak kecil itu sudah siap untuk melangkah ke dunia baru, dunia yang penuh dengan teman-teman dan pelajaran yang menarik.

"Sayang, kamu sudah besar, ya?" Karuna tersenyum, meski senyumnya terasa sedikit pahit. "Sekolah itu penting, tapi kita harus sabar sedikit lagi. Waktu kamu sudah pas enam tahun, kita akan mulai sekolah."

Ethan memiringkan kepalanya, tampak bingung. "Kenapa harus nunggu satu tahun lagi ma?"

Karuna menarik napas panjang dan menatap wajah Ethan. Dalam hati, ia merasa bersalah karena harus menunda keinginan anaknya yang begitu tulus. Namun, ia tidak bisa memberinya janji yang lebih cepat dari itu. "Iya, sayang. Tapi, kita harus sabar sedikit lagi, karena kita harus menyiapkan segala sesuatu dengan baik. Sekolah membutuhkan uang, dan kita harus bekerja keras untuk itu."

Ethan tampak kecewa, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk, meskipun tatapannya penuh dengan kebingungannya. Karuna bisa merasakan rasa kecewa itu, dan itu membuat hatinya semakin sakit.

Setelah selesai sarapan, mereka berangkat seperti biasa. Ethan berjalan ke sekolah taman kanak-kanak yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Karuna mengantar dengan penuh perhatian, meski hatinya dipenuhi kecemasan. Setelah mengantar Ethan, ia langsung menuju tempat kerjanya, sebuah proyek bangunan yang hampir selesai. Namun, meskipun pekerjaannya lebih ringan, ia merasa semakin lelah. Tubuhnya mulai terasa rapuh, namun tekadnya untuk tetap bertahan demi Ethan membuatnya terus maju.

Siang itu, setelah bekerja sepanjang pagi, Karuna beristirahat sejenak di bangku dekat kantin proyek. Ia mengambil ponsel dan memeriksa beberapa pesan yang masuk. Di antaranya ada pesan dari teman lamanya, Rika, yang menanyakan kabarnya. Rika dulu adalah teman dekat Karuna, seseorang yang bisa dibilang cukup beruntung dalam hidup. Rika selalu hidup dalam kenyamanan, berkeliling ke berbagai tempat, dan memiliki karir yang sukses. Karuna masih ingat bagaimana mereka dulu sering berbicara tentang impian dan masa depan yang gemilang. Namun, seiring berjalannya waktu, perbedaan nasib membuat mereka semakin jarang berhubungan.

Rika menulis, “Karuna, aku dengar Ethan sudah cukup besar sekarang. Apa rencanamu untuk sekolahnya? Kalau perlu, aku bisa bantu.”

Karuna membaca pesan itu berulang kali. Rika menawarkan bantuan, namun Karuna merasa malu. Ia tidak bisa menerima bantuan begitu saja, meskipun dalam hatinya ada keinginan untuk menyerah dan menerima tawaran itu. Ia tahu, jika ia menerima bantuan dari Rika, itu berarti ia harus mengakui kekalahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah, terutama di mata orang-orang yang dulu pernah berada di dunia yang sama dengannya—dunia yang penuh dengan kemewahan dan kenyamanan.

Karuna membalas pesan itu dengan hati-hati, “Terima kasih, Rika. Aku akan coba cari cara lain. Kita baik-baik saja di sini.”

Setelah membalas pesan itu, Karuna menatap langit yang mulai mendung. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang begitu jauh dari apa yang ia bayangkan dulu. Dulu, ia merasa bisa memiliki apa saja, bahkan tanpa harus berjuang sekeras ini. Namun, kini semuanya berbeda. Dan satu-satunya yang membuatnya terus bertahan adalah janji kepada Ethan—janji untuk memberinya masa depan yang lebih baik.

Sesampainya di rumah, Ethan sudah bermain dengan teman-temannya di halaman. Melihat anak itu tersenyum, Karuna merasa sedikit lega. Setiap kali ia melihat senyuman Ethan, segala kelelahan dan kecemasan terasa sedikit hilang. Namun, ia tahu, ia harus segera mencari cara untuk mewujudkan janji itu. Ethan sudah cukup besar untuk sekolah, dan Karuna tidak ingin menunda lebih lama lagi.

Malam itu, setelah Ethan tidur, Karuna duduk di meja makan, membuka buku catatan keuangan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Ia mencoba mencatat segala pemasukan dan pengeluaran mereka, mencari-cari cara untuk menyisihkan sedikit uang agar bisa mendaftarkan Ethan ke sekolah. Namun, meskipun ia menulis dengan penuh perhatian, angka-angka itu selalu berakhir dengan hasil yang sama: tak cukup.

Ia menutup buku catatan itu dengan frustrasi. Setiap angka yang ia tulis hanya membuatnya semakin terjebak dalam kenyataan pahit. Karuna merasa putus asa. Sudah terlalu lama ia berusaha mencari jalan keluar, namun selalu ada hambatan yang menghalangi. Semua kerja kerasnya terasa seperti sia-sia ketika ia memikirkan betapa sulitnya untuk membayar biaya pendidikan yang semakin tinggi.

Namun, di balik rasa putus asa itu, ada satu hal yang membuatnya bangkit—Ethan. Ia tahu, jika ia tidak segera mengambil langkah, masa depan Ethan akan terganggu. Karuna tidak bisa membiarkan anaknya tertinggal hanya karena keadaan. Ia harus berjuang lebih keras lagi.

Pada pagi hari berikutnya, Karuna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya. Ia memutuskan untuk pergi ke sekolah dasar terdekat dan berbicara langsung dengan kepala sekolah tentang kemungkinan bantuan atau potongan biaya untuk anak-anak yang kurang mampu. Ia tahu ini bukanlah cara yang mudah, namun ia merasa ini adalah satu-satunya cara untuk memberi Ethan kesempatan yang ia butuhkan.

Setelah mengantar Ethan ke taman kanak-kanak, Karuna berjalan dengan langkah pasti menuju sekolah. Di sepanjang perjalanan, ia merasa jantungnya berdebar. Ia tidak tahu bagaimana kepala sekolah akan merespons permintaannya, namun ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil.

Saat ia sampai di kantor kepala sekolah, ia duduk di ruang tunggu, menunggu giliran untuk bertemu. Karuna merasa cemas, tapi ia mencoba menenangkan diri. Ketika nama Karuna dipanggil, ia berdiri dengan tegap dan memasuki ruang kepala sekolah dengan hati yang berdebar.

“Selamat pagi, Ibu Karuna. Ada yang bisa saya bantu?” kepala sekolah menyapa dengan ramah.

Karuna menghela napas panjang, lalu mulai menjelaskan situasinya. Ia menceritakan tentang kondisi keuangan mereka, tentang perjuangan kerasnya untuk bertahan hidup, dan tentang betapa besar keinginannya untuk menyekolahkan Ethan.

“Ethan adalah anak yang pintar,” kata Karuna dengan penuh harap. “Saya ingin memberikan yang terbaik untuk masa depannya. Apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan bantuan atau potongan biaya?”

Kepala sekolah itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk perlahan. “Kami memang memiliki program beasiswa untuk anak-anak yang membutuhkan. Mungkin, Ibu bisa melengkapi beberapa persyaratan dan formulir, dan kami akan melihat bagaimana kami bisa membantu.”

Karuna hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ada harapan. Meskipun masih ada banyak proses yang harus dilalui, setidaknya ini adalah langkah pertama yang nyata.

Dengan hati yang penuh harapan, Karuna mengucapkan terima kasih dan berjanji akan segera melengkapi dokumen yang diperlukan. Ketika keluar dari kantor sekolah, ia merasa lega. Meskipun jalan yang harus ditempuh masih panjang, ia merasa bahwa langkah kecil ini bisa membawa mereka lebih dekat ke tujuan.

Di malam hari, saat Ethan tertidur, Karuna duduk di meja makan sambil menulis catatan untuk mempersiapkan dokumen yang diminta. Ia tahu perjuangan ini belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada secercah cahaya di ujung terowongan. Dan itu, bagi Karuna, adalah segalanya.

1
Santi Husain
Buruk
Kei Kurono
merasa terhubung dengan tokoh-tokoh dalam cerita.
Alhida
Terpesona☺️
Alucard
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!