Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15. Kelulusan Kafka
...Luluh lantah meluruh pilu....
...Melihatmu tak berdaya bergelut rasa sakit....
...Kupastikan hari-harimu setelah ini indah....
...Sampai akhir menjadi payungmu di kala hujan, gerimis dan teriknya mentari....
...Mendekapmu hangat dengan kasih sayang tanpa henti....
...Tumbuhlah dengan baik dan sehat permata indahku....
...Tidak akan kubiarkan binar indah pancaran matamu hilang....
...Memastikanmu mendapatkan hidup dan pendamping yang layak....
...Memastikan tak akan ada laki-laki brengsek yang menyakitimu....
...Sampai kapanpun akan menjadi anak kecil ayah yang berhargaa....
...(Althan Malvin Zerrano)...
Tiga hari berlalu sejak kejadian tempo hari namun sampai saat ini Kafka belum mendapatkan kabar apapun tentang Asha, bahkan mamanya juga tidak mendapatkan info apapun dari tante Maira kecuali tentang Asha yang masih dalam masa istirahat.
Kakfa reflek membuka laci mejanya kemudian menutupnya kembali sambil menghela napas panjang, seolah berharap ada sesuatu dalam laci meja sekolahnya.
"Gak ada Kaf. Mau berapa kali di buka juga gak akan ada kotak bekal dari Asha," Revan seolah mengerti tindakan spontan temannya yang membuka laci meja, sebelum-sebelumnya dia selalu kesal dengan kotak bekal yang setiap hari ada di lacinya.
"Cuma reflek saja Rev," Revan terkekeh mendengar Kafka berdalih seolah sudah lega karena beberapa hari ini tidak ada lagi bekal di lacinya.
Sementara di SGH Asha sedang melakukan serangkaian tes untuk mengevaluasi kondisi saraf dan rasa nyeri yang terjadi padanya, dia hanya di temani Maira sedangkan Malvin kembali ke Jakarta. Mereka berdua berbagi tugas, sementara istrinya menemani Asha maka Malvin harus menemani Cia dan Rion yang masih kecil. Memastikan kedua anak mereka yang lain tetap dalam kondisi tidak kurang perhatian meskipun ada bi Ana dan yang lainnya di rumah.
Hari itu Asha kembali menjalani serangkaian tes, dari pemeriksaan fisik, MRI, tes nyeri, EMG dan serangkaian tes lainnya. Maira tersenyum lega setelah dokter mengatakan hasil tes nyeri Asha ada pada skala 6 yang artinya masuk skala sedang. Selama beberapa hari ke depan Asha akan menjalani fisioterapi dan terapi fisik, untuk obat masih di sarankan dengan obat yang sebelumnya.
"Ayah, kak Asha kenapa ke Singapur lagi?" Cia dengan tatapan mata penuh kegelisahan memburu Malvin dengan berbagai pertanyaan tentang Asha.
"Kak Asha sedikit lelah, bunda menemani kak Asha terapi dulu biar capeknya hilang. Cia bisa bantu ayah dan bunda jaga Rion sampai kak Asha pulang, ya?" Malvin membelai lembut rambut panjang putri ke duanya yang masih berusia sebelas tahun, berusaha mengurangi kegelisahan Cia.
"Oke, Cia akan jadi ibu perinya ade Rion sampai bunda dan kakak pulang," dengan senyum yang mengembang sambil memeluk ayahnya. Meskipun sebenarnya Cia tau kemungkinan sakit pada kaki Asha kambuh, tapi mendengar penjelasan Malvin membuatnya gadis kecil itu sedikit tenang.
Malvin dan Maira juga tak kalah besar memberikan perhatian pada Cia, selama enam tahun terakhir mereka benar-benar membagi dan memberikan perhatian penuh terutama pada Asha dan Cia tanpa terkecuali Rion. Namun memang ke dua putri mereka mendapatkan perhatian lebih, Cia mendapatkan pendampingan ahli dari sejak Asha mengalami kecelakaan, saat itu Cia menyaksikan secara langsung tepat di depan matanya. Khawatir akan meninggalkan memori trauma dalam diri Cia, Malvin memutuskan untuk memberikan pendampingan ahli beberapa saat.
Bahkan sejak Asha keluar dari rumah sakit Cia selalu mengekorinya, seolah ingin memastikan kakaknya baik-baik saja. Malvin dan Maira memastikan bahwa Cia tidak akan mengalami trauma yang membekas diingatannya pasca kecelakaan yang dialami kakaknya. Seperti yang saat ini gadis kecil itu lakukan, memastikan pada ayahnya bahwa kakaknya tidak apa-apa.
Asha kembali ke Jakarta setelah satu minggu menjalani berbagai macam tes dan terapi fisik. Dengan mata berbinar Cia berlari menghambur ke pelukan kakaknya yang di susul Rion dengan tingkah polah lucunya.
"Gak ada yang kangen sama bunda? Gak ada yang mau peluk bunda?" Maira berpura-pura sedih untuk menggoda anak-anaknya yang sedang bergelut penuh rindu memeluk Asha.
"Ayah saja yang peluk bunda. Nanti kita jalan berdua ya bun?" Malvin yang baru sampai dari kantor langsung memeluk istrinya dari belakang.
"Ayah, no .. no peluk-peluk bunda. Bunda punya Rion, ayah sama kakak aja." Rion bergegas menuju Maira, berusaha menyingkirkan tangan Malvin yang sedang memeluk istrinya.
Mereka tertawa bersama melihat tingkah Rion, bersamaan dengan itu Asha mengusap air mata Cia yang sedari tadi sudah lolos tanpa di minta.
"it's okey, kakak gak apa-apa lho ade." Asha mencium kening Cia dengan lembut, sebuah senyuman penuh haru menghiasi setiap sudut bibir Malvin dan Maira.
"Ish tidak .. tidak, yang ade itu Rion bukan kak Cia tau," Malvin dan Maira saling menatap satu sama lain dengan senyu mengembang seolah berkata betapa bersyukurnya mereka ada Rion yang hadir di tengah-tengah keluarga kecil mereka.
"Cup." Rion yang tanpa aba-aba lepas dari pelukan bundanya langsung mencium pipi dua kakaknya secara bergantian, Asha terkekeh melihat kelakuan adik bungsunya seraya menarik rion masuk dalam pelukannya bersama Cia.
Hari ini Asha sudah bisa masuk sekolah diantar langsung Malvin. "Sayang, nanti pulangnya di jemput bunda, ya? Asha gak boleh kemana-mana dulu, ingat pesan dokter Sahnaz?" Malvin mengambil tas yang ada di kursi belakang, memberikannya pada Asha.
"Iya, yah. Gak boleh capek, gak boleh stress, gak boleh aktivitas yang memicu cidera kambuh." Asha memeluk ayahnya sebelum berjalan masuk menuju kelasnya.
Dari lantai atas kelas dua belas tampak seseorang yang memperhatikan ketika dia berjalan menuju kelasnya, Asha sebenarnya tahu tapi memilih untuk tidak terlalu ambil pusing. Dia berjalan masuk ke dalam kelasnya dan di sambut oleh Nana yang sudah berkaca-kaca, akhirnya setelah satu minggu lebih Asha kembali ke sekolah.
"Woi. Lihat apa sih serius amat kulkas lima belas pintu." Revan terkekeh sendiri melihat Kafka yang tak henti-hentinya melihat Asha berjalan sampai masuk dalam kelas.
"Berisik." Kafka memukul pelan lengan Revan.
"Sana temuin dia, kamu juga perlu minta maaf soal kejadian Alena. Sudah jelas bukan Asha pelakunya, sebelum nanti dia ngilang lagi ha .. ha," Revan benar-benar tertawa puas melihat tingkah sahabatnya itu, gengsi, tingkah laku dengan isi hatinya selalu tidak sejalan.
Sehari setelah kejadian waktu itu, bu Eli dan kepala sekolah memanggil Alena dan Gistara. Tak lupa Kafka, Revan juga Nana ikut di panggil ke ruang kepala sekolah. Bu Eli memperlihatkan rekaman cctv tersembunyi yang ada di dekat tempat kejadian, dari situ terlihat bahwa Gistara yang mendorong Alena sampe jatuh dan pingsan. Gistara adalah teman sekelas Alena dan Kafka, dia sakit hati pada Alena yang selalu terpilih olimpiade bersama Kafka juga Revan. Dia bertambah marah saat mendengar Alena dan Kafka punya hubungan lebih dari sekedar teman.
Gistara yang tahu siang itu Kafka akan bertemu dengan Asha di dekat lapangan basket kemudian mengatakan pada Alena bahwa dia butuh bantuan untuk membawa beberapa materi uji coba soal ujian dari ruang guru. Gistara melihat ada kesempatan saat melihat Asha turun menuju lapangan basket, sementara saat itu Alena sedang berjalan menuju ruang guru yang melewati jalan dekat anak tangga turun menuju lapangan. Saat itulah Gistara mendorong Alena sampai jatuh berguling sampe undakan ke dua dan dia lari meninggalkan Alena.
"Gistara perbuatanmu tidak hanya melukai Alena, tapi juga Asha yang sampai saat ini tidak tahu bagaimana kondisinya." Kafka mengepalkan tangannya, kalau saja bukan perempuan mungkin sudah di pukulnya Gistara. Gistara membuatnya salah paham pada Asha.
Beberapa bulan berselang setelah kejadian semua berjalan seperti biasa, namun Gistara dan Alena tiba-tiba sudah tidak lagi bersekolah di sana padahal sebentar lagi mereka lulus. Banyak yang bilang kedua orang tua Asha tidak terima dengan yang terjadi pada Asha jadi ke dua siswi itu mau tidak mau harus pindah.
Asha mendengar desas desus tersebut, namun tak ambil pusing karena dia tahu cerita yang sesungguhnya seperti apa. Sejak saat itu Asha sejenak menghindari Kafka, tak lagi ada bekal yang dia buat untuk Kafka. Tak lagi mengekori Kafka, bahkan ketika berpapasan Asha memilih untuk menunduk tanpa melihat Kafka sedikitpun.
Bukan tak mau tapi Asha ingat tentang perkataan ayahnya, saat ini Kafka mungkin sedang fokus belajar untuk persiapan ujian akhir dan ujian masuk universitas Stanford yang Asha tahu itu tidak mudah. Kejadian terahir kali sudah cukup membuat Asha lebih mengerti bahwa mungkin Kafka memang tidak suka kalau Asha mengganggunya, Kafka butuh ruang privasinya. Asha juga tidak mau membuat ke dua orang tuanya kembali khawatir jika cideranya kambuh.
Lain dengan Kafka yang ingin bicara dengan Asha namun setiap kali berpapasan dengan Asha yang terjadi adalah gengsinya yang selalu mengalahkan logikanya. Rasa kecewanya ditinggalkan Asha dan dua minggu dia tidak masuk sekolah juga tanpa kabar membuat Kafka tetap pada pendirian dengan ego dan gengsinya. Namun tak dapat di pungkiri bahwa dirinya merasa lega saat melihat Asha masuk sekolah lagi beberapa bulan ini.
Kafka menjalani ujian akhir sekolahnya, sementara Asha di waktu yang berbeda menjalani ujian kenaikan kelas. Kafka lulus dengan predikat siswa berprestasi sedangkan Asha sekarang naik kelas dua belas yang artinya sebentar lagi mereka akan kembali berpisah.
Kafka akan mengambil kedokteran di Stanford sekaligus mengambil spesialis bedah jantung di sana, itu berarti Kafka dan Asha tidak akan bertemu selama beberapa tahun. Sedangkan Asha masih abu-abu menentukan masa depannya antara bisnis di NUS atau langsung mengambil double degree di NUS.
"Congrats kak." Kafka refleks mundur hingga tubuhnya menempel pada tembok saat tanpa aba-aba Asha memiringkan kepalanya tepat di hadapan muka Kafka.
"Hmm .. trimakasih." Kafka menyentuh kening Asha dengan jari telunjuknya, mendorong kepala Asha menjauh dari wajahnya. Kemudian dia berlalu pergi dari hadapan Asha.
"Ish .. dasar cowok gengsian, awas saja nanti tiba-tiba jadi cogilnya aku." Asha berjalan kembali menuju kelasnya.