Zira terjebak dalam tawaran Duda saat dimalam pertama bekerja sebagai suster. Yang mana Duda itu menawarkan untuk menjadi sugar baby dan sekaligus menjaga putrinya.
Zira yang memang sangat membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan juga biaya pengobatan bibinya terpaksa menerima tawaran gila itu.
"Menjadi suster anakku maka konsekuensinya juga mengurus aku!" Ucap Aldan dengan penuh ketegasan.
Bagaimana cara Zira bertahan disela ancaman dan kewajiban untuk mendapatkan uang itu?
follow ig:authorhaasaanaa
ada visual disana.. ini Season Dua dari Pernikahan Dadakan Anak SMA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haasaanaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
00016
Sementara itu Zira menoleh kearah Aila yang duduk bersandar pada jendela mobil. Anak kecil itu tersenyum tapi terkadang juga murung, Zira meraih tangan Aila lalu mengelus telapak tangan itu dengan sangat lembut.
“Tidak apa, besok kita bersenang-senang lagi ya..” ucapan Zira membuat Aila tersenyum manis.
“Besok kau tidak boleh kemana-mana, tetap di Mansion menunggu aku pulang bekerja,” ucap Aldan sembari masuk kedalam bangku pengemudi.
“Aku bukan anak ayam yang harus dikurung, Tuan,” bantah Zira, menurutnya alasan apa yang membuat Aldan mengurung dirinya bagaikan anak ayam itu.
“Hei!” Aldan menarik tangan Zira untuk pindah ke bangku depan. Tentu saja Zira tidak mau, ia terus berusaha memberontak tapi Aldan tetap bersikukuh menarik tangannya.
Hingga tubuh Zira bangkit dan kepalanya terbentur bagian atas mobil. “Aduhhh.. Sakit, Tuan..” lirih Zira, ia menatap tajam Aldan yang seakan tidak perduli.
Aldan tetap menarik tangan Zira hingga kini berhasil duduk di sampingnya. “Duduk diam disini, kalian kira aku supir apa?” ujar Aldan dengan nada ketus.
Sembari memasangkan seatbelt Aldan melirik kearah Aila yang menatapnya serius. Pandangan mata Aila sangat mirip dengan Alya, tidak ada bedanya sedikitpun.
“Kau tetap disana, aku mau menasehati wanita sinting ini!” ucap Aldan kepada Aila yang hanya mengangguk.
“Aku? Kau menyebut dirimu aku sama anakmu sendiri?” tanya Zira, ia menatap tidak percaya kearah Aldan. “Kau keterlaluan, Tuan. Kalau aku menjadi Kak Alya, sudah mati aku cekik karna sikapmu ini!” ucap Zira dengan tatapan super tajam ke arah Aldan.
“Diam! Kau tidak perlu ikut campur dengan urusan keluargaku,” kata Aldan, ia mulai menyalakan mesin mobil tidak menghiraukan omelan Zira nanti.
Zira menoleh kearah Aila yang duduk dipojokan pintu mobil, berusaha memejamkan mata mungkin tidak mau mendengarkan apa yang Aldan katakan. Zira menghela napas panjang, ia melirik tajam pria yang sedang menyupir disebelahnya.
“Hubungan Papa dan anak ini sangat jauh.. Bagaikan gunung himalaya dan bromo,” gumam Zira didalam hati.
Bahkan untuk membuat mereka dekat terasa sangat sulit bagi Zira, karna Aldan benar-benar tidak mau memberi celah itu untuk Aila.
“Dengar, Zira..” Seketika lamunan Zira menjadi buyar. “Jantungku terasa sakit melihatmu mengendarai motor dengan cara seperti tadi. Kau tahu, itu sangat bahaya,” ucap Aldan.
Zira termenung sebentar, semua yang dikatakan Aldan tidak membuat Zira berpikir jika itu sesuatu bentuk kekhawatiran pria itu. Melainkan Zira merasa jika Aldan mengkhawatirkan motor mahal itu, itu wajar saja menurut Zira.
“Waktu aku mengendarai motor itu.. Aku lebih memikirkan keselamatan motormu, Tuan. Dibandingkan nyawaku sendiri,” jelas Zira.
Sekalipun masih fokus menyetir Aldan menyempatkan melirik kearah Zira yang fokus menatap jalanan yang terlewati. “Tapi, aku tidak akan se ceroboh itu hingga menjatuhkan motormu. Karna untuk biaya pengobatan bibiku saja aku harus jual diri..” ucapan Zira menggantung karna tiba-tiba saja Aldan berhenti akibat lampu merah.
Zira menoleh kearah belakang, terlihat Aila yang sudah tidur pulas disana. “Kalau sempat motormu jatuh dan rusak, harus apa yang aku lakukan untuk mengganti kerusakan itu,” sambungnya.
Tangan Zira meremas erat jari jemari tangannya sendiri, terdengar herpaan napas kasar dari Aldan.
“Sepertinya yang aku rasakan tadi bukan karena mengkhawatirkan motorku, melainkan mengkhawatirkan keselamatan kalian..” gumam Aldan didalam hati.
Aldan tidak akan mengatakan hal yang sebenarnya, itu sangat memalukan untuk diakui. Aldan membiarkan saja Zira ber Amsumsi sendiri, toh tidak berpengaruh apapun.
“Atau mungkin jantungmu sakit melihat aku tadi karna usiamu sudah tua, Tuan?”
Apa yang dikatakan Zira membuat Aldan melotot sempurna. “Apa?!” Aldan tidak terima, ia langsung menarik dan bahkan mencekal erat tangan Zira. “Sekali lagi kau mengatakan aku tua.. Tanganmu ini patah, mengerti?!” Ancam Aldan.
Zira menjauhkan tangannya yang baru saja dilepaskan Aldan. “Bercanda kali, gampang banget marah. Pantas aja udah kelihatan tua,” ucap Zira dengan nada pelan meskipun ia tahu kalau Aldan mungkin mendengar apa yang ia katakan.
“Tidak usah mengumpatku,” ucap Aldan sembari melanjutkan perjalanan yang tertunda. Zira melengos saja, ia tidak tahu mengapa berhadapan dengan Aldan selalu saja menguras emosi.
“Dasar duda tantrum, duda gila, duda mesum!” Zira tiada henti merutuki Aldan didalam hati meskipun Aldan berada di sampingnya.
•
Kini Aldan baru saja selesai mandi, ia bercermin dengan posisi handuk yang terlilit dipinggang. Menatap serius dirinya sendiri, terlebih lagi di bagian wajah. Aldan mencukur bulu-bulu meresahkan yang tumbuh di sekitar wajahnya.
“Nah.. Begini kan sudah tidak kelihatan tua,” ucap Aldan, ia tersenyum menatap dirinya sendiri di pantulan cermin.
Disaat itu Aldan jadi teringat dengan kata Bunda Claudia. “Ck, sepuluh gadis masih bisa aku dapatkan. Dasar wanita sinting, tidak tahu seperti apa bentuk aura dari pria mapan dan dewasa.” ucap Aldan penuh percaya diri.
Merasa semua sudah cukup kini Aldan sudah sangat percaya diri berhadapan dengan Zira. Ia melihat wanita itu yang sedang duduk manis di sofa membaca buku, ketahuilah ekspresi wajah Zira sungguh sangat serius.
“Hei!” Panggil Aldan, ia mendekat pada Zira yang tengah fokus membaca itu. “Apa yang sedang kau baca itu?” tanya Aldan lagi.
Zira langsung menutup bukunya, ia menatap malas Aldan yang selalu menganggu ketenangan dirinya. “Astaga, aku lupa..” Zira langsung bangkit tanpa menjawab pertanyaan Aldan tadi. Malah menyalakan televisi, menekan channel drama Korea kegemarannya.
Aldan menggelengkan kepala saja melihat tingkah Zira, terlebih lagi wanita itu langsung duduk manis. “Lebay amat si sama cowok model operasi plastik,” ejek Aldan sambil tertawa kecil.
Zira langsung menoleh kearah Aldan, cowok yang telah ia anggap sebagai suami didunia halu telah dihina oleh duda tantrum seperti Aldan.
“Sembarangan ngatain plastik! Dari pada Tuan tu.. Tua, keriput lagi! Nggak hanya wajahnya tu yang keriput, tapi juga burungnya!” ejek Zira balik tidak mau kalah.
Ejekan Zira membuat Aldan langsung memegang pipinya dan juga tangan satunya memegang adiknya. “Apa benar keriput?” tanya Aldan didalam hati, ia menjadi overthinking sendiri jadinya.
“Jangan-jangan apa yang dikatakan Bunda benar lagi,” Aldan malah menjadi panik plus kesal senjatanya dikatakan keriput oleh Zira.
dah sakit aja baru
tp kenapa yaaaa...si aila bisa seegois ituu 😞🙈pdhl dh liat tuhh papa nya nangis bombay di tgl ultahnya aila