Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Langit malam berganti menjadi langit terang, bulan digantikan dengan matahari. Santi dan kelima adiknya saling pandang. Mereka bingung harus melakukan apa hari ini.
Santi memasak nasi di rice cooker, sambil berfikir ke mana dirinya akan mencari kerja. Sedangkan Riski diperintahkan Santi untuk mencuci piring. Jadi piring baru yang Santi beli kemarin, harus dicuci untuk menghilangkan bau plastiknya. Sedangkan adik-adiknya yang lain bermain di ruang tengah dengan Barbie dan mainan mereka yang mereka bawa dari kampung.
Setelah Santi mencolokkan rice cooker, Santi pun lanjut memasak tempe dan tahu, serta sayur-mayur. Setelah selesai makan, Santi memutuskan untuk pergi keluar mencari kerja dengan berbekalkan ijazah SMP-nya.
“Mbak semoga beruntung,” ujar Riski sebelum mbaknya pergi meninggalkan rumah.
Santi tersenyum, “jaga rumah dan adik-adik Ki, doakan mbak pulang membawa kabar baik,” sahut Santi.
Riski pun mengangguk.
Santi pergi berjalan kaki, yang ia tuju pertama kali adalah warung-warung di dekat sini. Ia tanpa malu, lebih tepatnya ia tahan malu untuk menyodorkan dirinya dan ijazahnya kepada orang-orang, tetapi tidak satupun orang yang mau menampungnya.
Ia pun nekat, naik angkutan umum ke kota. Sesampainya di kota, dia turun dan mulai mendatangi satu-persatu warung makan, toko kain, toko sepatu, dan banyak lagi, tetapi tidak satupun ada yang mau menampungnya.
Hari sudah petang, ia haus sekali, tetapi ia harus berhemat. Ia juga belum makan siang, perutnya sudah keroncongan. Ia berhenti di sebuah kursi yang ada di pinggir jalan. Ia memandang ke arah jalanan ramai orang berlalu lalang.
“Mbak…” seorang anak kecil dengan membawa bungkus snack kosong di tanganya, datang meminta uang kepada Santi.
Anak itu adalah pengemis.
Santi benar-benar kesal melihat anak itu, sepertinya anak itu tidak tahu kalau Santi juga sedang butuh uang.
“Huh…” Santi menghempaskan kantongan anak kecil itu.
“Kalau butuh uang kerja, bukan mengemis, minta duit sama bapakmu sana,” bentak Santi, meninggalkan anak kecil itu.
Santi meremas rambutnya yang sudah kusam berdebu campur bau keringat. Seharian dia luntang-lantung diterpa panasnya matahari. Ternyata mencari pekerjaan di ibukota tidak semudah yang ada di sinetron atau di FTV.
Ia berharap bisa hidup seperti yang ada di novel-novel, di mana si gadis desa yang tiba-tiba dicintai oleh seorang CEO yang enggak tau dari mana datangnya. Tapi itu hanya angan-angan belaka. Nyatanya tidak ada kehidupan yang seberuntung itu di dunia nyata.
Nyatanya mencari kerja hanya berbekalkan ijazah SMP saja itu amatlah sulit. Ia menangis di pinggir jalan. Tapi tidak seorang pun yang perduli terhadap dirinya. Di kantongnya sudah tidak tersisa sepeserpun uang lagi. Ia mau berteriak tapi ia masih punya rasa malu.
Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang, ini sudah pukul 10 malam dan ia belum pulang juga. Bagaimana dirinya hendak pulang, ia bahkan tidak punya ongkos untuk pulang. Ia yakin adik-adiknya di rumah pasti menunggu kedatangannya, dan mengkhawatirkan dirinya.
Ia benar-benar merasa Tuhan begitu kejam kepada dirinya, bahkan ia tidak diberi pilihan apapun di dalam hidupnya.
“Tuhan kenapa engkau begitu kejam kepada anak malang ini?” teriaknya seraya menatap langit.
Santi merasa Tuhan benar-benar jahat kepadanya, ia mulai tidak percaya Tuhan. Ia mulai tidak beriman lagi kepada Tuhan. Ia benci alur hidupnya, ia benci kejadian demi kejadian di dalam hidupnya.
Santi berjalan menyusuri trotoar seperti orang gila, dengan rambut acak-acakan. Setiap ia melewati Mesjid ia memalingkan wajahnya, ia merasa Tuhan itu kejam dan jahat. Hingga sebuah club malam menyita perhatiannya.
Di sana mobil-mobil mewah terparkir, wanita-wanita seksi alias wanita memakai baju kurang bahan berkeliaran dengan make up tebalnya. Para laki-laki hidung belang juga silih berganti masuk ke dalam club malam itu.
Santi duduk di trotoar seberang jalan, memandang ke sana, ke gedung club malam. Pikirannya mulai tidak waras lagi, ucapan Ratna teman SMA nya dulu kembali terngiang di telinganya. Ia merasa Ratna ada benarnya juga, jual diri tidaklah buruk. Dengan jual diri adik-adiknya dan dirinya bisa makan dan melangsungkan hidup mereka.
Terlebih ia punya keinginan untuk menyekolahkan adik-adiknya.
Ia mulai menatap map merah miliknya, itu adalah map ijazahnya, kartu keluarga, dan juga akte kelahirannya. Ia pun mulai mengamati penampilannya sendiri, ia kumuh, kusam, bau, berdebu, dan kumal. Kemudian ia alihkan pandangannya ke seberang sana, tepatnya ke club' malam yang meriah. Semua gadis-gadis sudah seperti artis saja.
Ia menelan air ludahnya sendiri, tangannya meremas map kertas yang berisi kartu keluarga, akte kelahiran, dan ijazah SMP-nya itu.
Ia mulai berdiri, dan mencoba menyebrang jalan. Berkali kali ia mencoba menyebrang tetapi ia selalu gagal. Jalanan ini ramai sekali, Santi hanyalah anak kampung yang tidak terbiasa menyebrang di jalanan seramai ini.
Kemudian ada seorang wanita berpakaian sexsi lainnya yang juga hendak menyebrang. Wanita itu berpakaian sangat modis, seluruh bajunya ketat, rambutnya terurai, make up-nya cetar membahana khas wanita ani-ani.
Wanita itu tampak ingin menyebrang, Santi pun mengikuti perempuan itu. Kini ia pun berhasil menyebrang, dan wanita itu sudah masuk ke dalam club malam.
Santi bengong di parkiran, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam club malam.
"Maaf mbak, bisa tunjukkan kartunya?" tanya satpam menghadang langkah Santi tepat di pintu club.
"Ka-kartu, kartu apa ya pak?" tanya Santi keheranan.
'Apa mungkin untuk masuk ke club malam ini harus menunjukkan KTP?, batin Santi.
"Ya, kartu. Setiap orang yang masuk ke club ini harus menunjukkan kartu identitasnya," ucap satpam club itu.
"Saya tidak punya KTP pak, tapi saya bawa kok kartu keluarga dan akte kelahiran saya," ucap Santi polos seraya mengeluarkan photo copi kartu keluarga dan akte kelahirannya, yang membuat kedua satpam itu sontak tertawa dengan keras.
"Sudahlah bawa semua surat-surat tidak bergunamu itu, dan menjauh dari club ini. club ini tidak cocok untukmu," ucap salah seorang satpam mendorong tubuh Santi hingga tersungkur ke lantai.
Santi meringis kesakitan, tangan dan lututnya sedikit memar.
"Hahah, ada-ada saja, dia kira kartu keluarganya itu berguna," celetuk salah seorang satpam, yang kemudian menertawakan Santi yang sudah bangkit dan berjalan menjauhi pintu masuk club.
Ternyata kartu pengenal yang dimaksudkan oleh satpam itu adalah kartu nama. Biasanya kartu nama ini hanya dimiliki oleh orang-orang penting saja. Dan club malam ini adalah club malam elit yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang berduit, dan wanita malam yang bisa menunjukkan kartu nama laki-laki yang membooking dirinya.