Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terluka
Tante Maya berjalan tegap menuju ruang kepala sekolah, sementara di kantin, Dira tengah duduk bersama Dinda. Mereka berbicara sambil menghabiskan waktu, meskipun pikiran Dira terus dibayangi perasaannya yang bersalah. "Dir, gimana tanggapan orang tua Levin soal masalah lo? Gue denger-denger, mereka udah ada di ruang kepala sekolah sekarang," tanya Dinda, penuh rasa ingin tahu.
Dira menghela napas panjang sebelum menjawab. "Gak gimana-gimana, Din. Cuman, gue jadi ngerasa bersalah. Tante Maya jadi harus repot ngurusin masalah gue, padahal kan bukan tanggung jawab dia."Dinda mengangguk setuju. "Iya sih, kalo gue jadi lo, juga pasti ngerasa gak enak. Secara, anak-anaknya kan berprestasi semua di sekolah ini, sementara lo..." ia berhenti sejenak, menghela napas.
"Malah bikin masalah." Ucapan Dinda langsung membuat Dira merasa semakin tertekan. "Ah, lo malah bikin gue makin merasa bersalah, Din," ucap Dira, menutupi wajah dengan kedua tangannya, frustrasi.
Tiba-tiba, suara keras menggebrak meja kantin menghentikan percakapan mereka. "Brakk!" Meja di depan Dira bergetar keras, membuat gelas di atasnya nyaris jatuh. Dinda melompat kaget, dan Dira mendongak dengan cepat. Di hadapan mereka berdiri Naomi, wajahnya penuh amarah. "Ngapain lo di sini?" desis Dira, matanya menatap tajam ke arah Naomi yang datang dengan langkah agresif. Dinda yang berada di samping Dira langsung menciut, ketakutan melihat sosok Naomi yang dikenal suka bikin onar.
Naomi tidak peduli, matanya hanya tertuju pada Dira, penuh kebencian. “Apa lagi sih, cewek alay, pakai datang segala,” sindir Dira dengan nada sinis kepada Naomi, yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh amarah. "Heh, lont! Pokoknya lo harus keluar dari rumah Levin! Lo gak boleh satu rumah "teriak Naomi, matanya menyala-nyala penuh kebencian.
Dira mendengus, tak gentar dengan serangan verbal Naomi. "Itu bukan urusan lo. Lo nggak biayain hidup gue, jadi lo nggak punya hak buat ngatur gue," jawab Dira dengan nada tajam, menentang tuntutan Naomi.
Seketika, Naomi yang sudah dikuasai emosi tiba-tiba menarik tangan Dira dengan kasar. "Sini lo!" serunya, kemudian mendorong tubuh Dira dengan kekuatan penuh hingga tubuhnya terlempar ke arah kursi, membuat lututnya terbentur keras dan terluka.
"Kalo lo nggak nurut sama gue, gue bisa hancurin lo!" teriak Naomi sambil menginjak tangan Dira dengan sepatunya. Dira menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang luar biasa ketika tangan kirinya diinjak kuat oleh Naomi. Dia berusaha menarik napas dalam-dalam, berjuang untuk tetap tenang meski tubuhnya gemetar karena rasa sakit.
Di saat yang sama, Tante Maya baru saja keluar dari ruang kepala sekolah bersama Pak Edwan.Senyuman cerah menghiasi wajahnya, tanda bahwa pertemuan itu berjalan baik. Levin yang sedang menunggu di luar segera menghampiri ibunya. “Gimana, Mah? Sudah beres?” tanya Levin. Tante Maya mengangguk. "Sudah, semua sudah diselesaikan. Levin, tolong bawa Dira ke sini ya. Tante mau bicara dengannya."
“Baik, Mah. Bentar, Levin cari dulu,” jawab Levin, kemudian bergegas menuju kelas Dira. Namun, kelas itu tampak kosong, tidak ada satu orang pun di dalamnya. Saat Levin sedang mencari di sekitar kelas, ia mendengar obrolan beberapa murid yang berjalan melewatinya. “Itu seru banget di kantin, si Naomi sama anak baru itu lagi ribut,” ujar salah satu murid sambil tertawa kecil. Levin yang mendengar hal itu langsung tersentak. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menuju kantin. Dari kejauhan, ia melihat Naomi yang masih menginjak tangan Dira dengan sepatu.
“Stop, Naomi!” Levin berteriak dengan marah, suaranya memenuhi seluruh kantin. Naomi seketika berhenti, menatap Levin dengan pandangan terkejut. Levin segera menghampiri Dira yang terbaring kesakitan. Dengan hati-hati, dia membantu Dira berdiri, lalu membopongnya dengan penuh perhatian. “Ayo, Dir. Mamah nyariin lo tadi. Gue antar lo ke ruang kepala sekolah,” katanya lembut.
Dira menatap Naomi sejenak, lalu tersenyum simpul meski rasa sakit masih menjalar di seluruh tubuhnya. Sementara itu, Naomi hanya berdiri terpaku, diam seribu bahasa, terkejut dengan kedatangan Levin yang tiba-tiba Setelah Naomi dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin, suasana menjadi hening sejenak. Beberapa murid yang masih berada di kantin berbisik-bisik tentang kejadian barusan. “Parah banget ya si Naomi itu. Baru kali ini gue lihat dia segitunya,” ujar salah seorang murid sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Levin yang membopong Dira menuju ruang kepala sekolah berjalan dengan cepat. Wajahnya tampak cemas melihat kondisi Dira yang jelas-jelas terluka. Saat tiba di depan ruang kepala sekolah, mamah Maya yang sedang menunggu terkejut melihat keadaan Dira. “Dira, ya ampun, kamu kenapa lagi?” ujar mamah Maya dengan nada khawatir, pandangannya tertuju pada luka di lutut dan tangan Dira.
Salah satu murid yang ikut berkerumun di sekitar ruang kepala sekolah tiba-tiba berseru, “Berantem sama Naomi, Tante!” Mamah Maya menatap tajam ke arah Pak Edwan, kepala sekolah yang kebetulan juga ayah dari Naomi. Tatapan matanya dingin dan penuh ketegasan, membuat suasana sejenak terasa tegang. Pak Edwan, yang menyadari situasinya, tampak tidak nyaman.
“Akan saya urus nanti ya, Pak,” ujar mamah Maya tegas. “Saya bawa Dira ke rumah sakit dulu untuk memastikan keadaannya.” Pak Edwan hanya bisa mengangguk, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Mamah Maya, Levin, dan Vanya segera membawa Dira ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Di rumah sakit, mereka duduk di ruang tunggu sambil menunggu hasil pemeriksaan Dira. Levin dan Vanya tampak gelisah, sementara Rico duduk dengan ekspresi datar. “Aduh, si Dira itu bikin masalah terus,” celetuk Rico tiba-tiba. “Mendingan pulangin aja deh ke rumahnya.”Mamah Maya segera menoleh ke arah Rico dan dengan cepat menutup mulutnya dengan tangannya. “Ih, kamu ceplas-ceplos mulu, nanti kalau kedengaran sama orangnya gimana?” omel mamah Maya pelan tapi tegas.
Rico hanya mengangkat bahu, tidak merasa bersalah dengan ucapannya. Sementara itu, Vanya dan Levin hanya saling pandang, tak tahu harus berkata apa. Suasana ruang tunggu menjadi sunyi, hanya terdengar suara pelan dari televisi yang menyala di pojok ruangan.
Dira akhirnya tiba di rumah, dengan hati-hati melangkah di atas kaki yang terbalut perban dan tangan yang digips. Levin dan Vanya membantunya masuk ke dalam rumah, membantu dia duduk di sofa dengan lembut. Mamah Maya langsung membawakan teh hangat dan memastikan Dira merasa nyaman, sementara Levin dan Vanya mencoba untuk membuat suasana lebih ringan dengan percakapan santai.
Pak Edwan, kepala sekolah dan ayah Naomi, tampak sangat frustrasi. Ia berdiri di ruang kepala sekolah, berusaha menahan amarahnya. Setelah mengunjungi Dira di rumah sakit, Pak Edwan tidak bisa menahan kekecewaannya terhadap Naomi dan tindakannya.
“Besok kita akan ke rumah sakit lagi, Nak,” ujar Pak Edwan dengan nada tegas dan penuh tekanan. “Aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Kamu terlalu terobsesi dengan Levin, dan itu sudah melampaui batas. Kamu harus segera kembali ke psikolog. Kamu perlu bantuan profesional untuk mengatasi masalahmu.” Naomi, yang berdiri di samping ayahnya, hanya bisa menunduk. Wajahnya merah dan matanya dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan. Dia merasa terpojok dan bingung tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh ayahnya.
“Saya mengerti, Ayah,” jawab Naomi dengan suara lembut namun penuh kesedihan. “Saya hanya merasa tertekan dan tidak tahu harus bagaimana.” Pak Edwan menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. “Kita perlu menangani ini dengan serius, Naomi. Jangan biarkan obsesi ini merusak hidupmu dan orang lain.”
Sementara itu, di sekolah, berita tentang kejadian di kantin menyebar dengan cepat. Para siswa berkumpul di kantin, berbisik dan membicarakan perilaku Naomi yang dianggap ekstrem.
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx