Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 8 ~
Pukul 15:50 Aku sudah tiba di sekolah Lala, itu artinya dalam waktu sepuluh menit lagi Lala akan keluar dari kelasnya.
Dan kini, aku sedang menunggunya di bangku taman playgroup khusus untuk para penjemput.
Pikiranku kacau saat teringat mas Bima tersenyum pada wanita itu. Senyum yang tampak tulus, yang tak pernah ia berikan padaku. Membayangkan itu sungguh rasa sesak di dada terasa semakin kuat.
Mas Bima tahu aku mencintainya, aku sudah terluka cukup parah karena sikap acuhnya, tapi kenapa tidak sekaligus ia patahkan hati ini?
Jika dia mencintai wanita lain, lantas kenapa masih membiarkanku tinggal di rumahnya?
Apa yang membuat mas Bima masih belum menceraikanku?
Tersadar dari lamunan, aku mengusap pipiku yang tahu-tahu sudah basah, tanpa sadar ternyata aku menangis. Ku tundukkan kepalaku agar para orang tua teman-teman Lala tak menyadari mataku yang mungkin agak sedikit memerah.
Tepat ketika aku mendongakkan kepala, sepasang netraku langsung menangkap mas Bima tengah berjalan menghampiriku.
Aku yang tadinya duduk, seketika bangkit dan mengulurkan tangan untuk mengecup punggung tangannya.
"Mas"
"Lala belum keluar?"
"Belum"
Mendengar jawabanku, mas Bima melihat jam di pergelangan tangan. Sejujurnya aku heran dengan kedatangan mas Bima sebab sebelumnya dia bilang tidak bisa jemput Lala.
"Tadi katanya nggak bisa jemput" kataku memberanikan diri.
"Iya"
Mas Bima duduk, akupun turut duduk. Bangku yang kami duduki termasuk bangku panjang yang muat untuk tiga orang, meski kami duduk bersisian, tapi ada ruang kosong di tengah-tengah antara aku dan mas Bima, bagiku jarak yang hanya setengah meter ini cukup jauh untuk pasangan suami istri seperti kami, sebab di ujung sana aku melihat suami istri yang duduk tanpa jarak. Mereka seperti sedang bersenda gurau tanpa ragu.
"Wah, Lala di jemput sama ayah bundanya ya?" pertanyaan itu dari salah satu wali murid teman Lala. Namanya bu Misya, kami saling kenal karena sering ngobrol ketika sedang menunggu anak-anak saat jam pulang seperti ini.
"Iya, bu!" sahutku, sementara mas Bima hanya tersenyum ramah.
"Jadi ayahnya Lala lagi nggak dinas, itu sebabnya sering jemput Lala?"
"Iya" jawab mas Bima lengkap dengan seulas senyum.
"Lala pasti senang di jemput ayah dan bundanya ya"
"Iya bu"
Baru saja aku menjawab ucapan bu Misya, tiba-tiba terdengar suara Lala yang teriak kegirangan sambil memanggilku dan mas Bima bergantian.
Anak gadisku berlari dengan raut yang berbinar ketika tahu aku dan mas Bima bersama-sama menjemputnya.
"Bundaaaaa! Ayaaaahh!" teriaknya ke sekian kali
Aku tersenyum lalu berjongkok sambil merentangkan tangan menyambut Lala ke dalam pelukanku.
"I miss you bunda"
"Bunda miss you juga"
Anak ini tak berhenti menciumi pipiku setelah sebelumnya mencium punggung tanganku.
"Ehmmm"
Deheman mas Bima menginterupsi aktifitas Lala yang sedang menciumku bertubi-tubi.
"Sun tangan ayah dulu sayang" ingatku pada Lala, dan Lala langsung melakukan apa yang ku perintahkan.
Satu tangan mas Bima menerima juluran tangan Lala sementara tangan lainnya mengusap puncak kepalanya.
"Kita pulang!" Mas Bima menunduk dan Lala mendongak.
"Ayo!"
"Mau ikut mobil bunda atau ayah?"
"Ayah sama bunda bawa mobil sendiri-sendiri?" tanya Lala. Aku hanya diam membiarkan ayah dan anak di hadapanku bercakap-cakap.
"Iya sayang, tadi ayah ada urusan sama teman ayah, terus urusan ayah selesainya cepat-cepat jadinya bisa jemput Thalia"
"Mau ikut bunda aja, boleh?"
Mas Bima melirikku sekilas, kemudian mengangguk.
"Boleh" satu tangan mas Bima mengacak rambut lala lembut.
"Lala naik mobil bunda ya?" kali ini Lala beralih menatapku.
"Iya sayang" Aku langsung menggandeng tangan Lala. "Ayo!"
"Let's go, bunda!"
Aku dan Lala mengarahkan kaki ke mobil, sebelum menuju mobilnya sendiri, mas Bima mengikuti langkahku dan Lala.
Saat langkah kami tinggal dua langkah menuju mobil, mas Bima bersuara.
"Ayah bantu bukain pintu buat Thalia ya?"
"Iya yah"
Selagi mas Bima membukakan pintu untuk Lala, aku berjalan memutari depan mobil.
Aku menempatkan diri di kursi kemudi, menoleh ke samping kiri, aku melihat mas Bima yang sedang membantu Lala memasang seatbelt.
"Selesai" ucap mas Bima.
"Makasih yah"
"Sama-sama. Ayah ada di belakang mobil bunda ya"
"Iya yah"
"Hati-hati"
"Ayah juga hati-hati"
Mas Bima tersenyum merespon Lala, sedetik kemudian mengarahkan atensinya padaku.
"Hati-hati"
"Iya" sahutku menatap mas Bima sesaat.
Perlahan, kulajukan mobilku dengan kecepatan stabil, berulang kali melirik spion samping untuk melihat mobil mas Bima, ternyata dia benar-benar berada tepat di belakang mobilku sesuai dengan yang dia katakan pada Lala tadi.
Beberapa menit berlalu.
Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul setengah lima kurang lima menit saat kami sampai di rumah.
Ketika mobilku memasuki area halaman, ku lihat di teras sudah ada mami yang tengah menyambut kepulangan kami.
"Itu oma kan bun?"
"Iya sayang"
"Oma datang?"
"Iya, oma sama opa mau makan malam di rumah Lala"
Ku matikan mesin mobil setelah menjawab Lala, sebelum turun aku membantu Lala melepas seatbelt. Tahu-tahu mas Bima membukakan pintu untuk putrinya kembali.
"Ayah, bunda belanjanya banyak, bantu bunda bawain ya"
"Siap!"
Seperti biasa, Lala langsung berlari begitu turun dari mobil.
"Jangan lari-lari nak, capek nanti"
Lala tak mengindahi ucapanku. Anak itu terus saja berlari menghampiri sang oma.
"Assalamu'alaikum, oma"
"Wa'alaikumsalam"
Lala langsung mengecup punggung tangan mami, aku dan mas Bima juga melakukan hal yang sama.
"Oma disini?"
"Iya, oma tadi habis ketemu teman-teman oma dekat rumah Lala, jadinya mampir deh. Memangnya ayah nggak bilang kalau oma lagi di rumah Lala?"
"Enggak"
Mami membantu Lala melepas sepatunya, sementara aku langsung berdiri di depan lemari sepatu. Aku melepaskan sepatuku seraya berdiri.
"Mami sudah lama?"
"Belum, sayang. Paling baru sepuluh menit"
"Datangnya sama siapa mi?"
Kami sama-sama memasuki rumah. Mas Bima sudah masuk lebih dulu untuk meletakkan belanjaanku ke dapur.
"Di antar teman mami tadi"
*****
"Kamu belum ada tanda-tanda hamil, Bi?"
"Belum ada, mi"
"Sudah dua tahun menikah loh, Lala juga udah gede, udah pantas punya adek"
Boro-boro hamil, mas Bima saja belum pernah menyentuhku, mau hamil gimana?
"Maaf ya mi"
"Nggak apa-apa Bi, mau cepet atau lambat, itu kan urusan yang di atas, atau mungkin kalian memang belum merencanakan adek buat Lala"
"Nggak mih, kapan aja di kasih aku siap, kami nggak menundanya kok, memang belum di kasih aja"
Saat ini aku dan maminya mas Bima sedang berada di dapur. Mami membantuku memasak untuk makan malam. Papi juga akan datang setelah pulang kerja nanti.
"Coba tanya mbak Kanes, dia punya tuh kenalan dokter di rumah sakit tempatnya kerja, dokter kandungan. Waktu itu mbak Kanes juga konsultasi ke dia"
"Nanti aku tanyain ya mih?"
"Iya sayang, saran mami si cepat-cepat promil, nanti kalau ada masalah kan bisa langsung teratasi"
"Iya, mih"
Mungkinkah aku hamil?
Aku tersenyum ironis dalam hati, kalau begini terus, mau promil kemanapun juga nggak bakal hamil. Kecuali memang mujizat seperti ibu Maria yang hamil karena kuasa Allah dan tanpa suami.
Lagi-lagi aku merutuki nasibku yang begitu malang.
Apa ketulusanku merawat anak mas benar-benar tidak bisa membuat mas jatuh cinta padaku?
Tiba-tiba saja sekelebat bayangan pertemuan mas Bima dengan temannya mengelilingi kepalaku.
Siapa dia, apa aku tanyakan pada mas Bima saja? Tapi aku benci kalau di ingatkan soal privasi. Belum ku ketahui hubungan antara mas Bima dengan Gesya, sekarang ada lagi wanita lain yang juga dekat dengannya.
Mendesah pelan, kepalaku reflek menggeleng. Ada berapa banyak wanita yang menyukai suamiku?
Bersambung.
Ini baru bab sembilan, mungkin akan ada bab-bab menegangkan setelah bab 10. Jadi sabar ya.
Besok selow update ya, sibuk banyak-banyak di dunia real.
Yang belum kasih rating, ndang kasih ya 😀 ada grup chat juga, yang mau masuk silahkan tanpa syarat. 😁
Semoga sehat selalu buat kalian...
jujur pgn jg ada kisah ttg kalangan menengah ke bawah. Misal guru SD, dokter yg bertugas di desa terpencil dg kehidupan yg sederhana...ato apalah...😁
tp gpp lah ...nikmati kisah rumah tangganya sj...
lanjutt... .
pasti Bima ke hotel itu ngelabrak Gesya krn sdh blg yg engga2 ke Arimbi wkt itu. Gesya itu licik, pandai memanfaatkan situasi, mgkn pas Bima telp mo ngemabrak...Gesya sengaja menyuruh menemui di hotel. sengaja menciptakan kesalah pahaman dg dibantu Yoga....