Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran
Gue bisa merasakan jantung gue yang berdetak kencang di dada, gue yakin Anan juga bisa merasakan itu, karena dia masih menempel di belakang gue, panas tubuhnya bikin punggung gue terbakar. Tangannya ada di pinggul gue, bikin otot gue tegang dan napas jadi enggak teratur.
Lo punya utang sama gue?
Kata-kata Anan masih terngiang-ngiang di kepala gue. Ya, cuma gue yang ke pikiran buat seranjang bareng sama dia setelah membiarkan dia malu di klub.
Napas panas Anan menyentuh leher gue, bikin bulu kuduk gue merinding. Pelan-pelan, tangannya naik ke atas, menyusuri daster gue sampai tiba ke tulang rusuk. Gue langsung tahan napas, tangannya berhenti pas banget di bawah dada kiri gue dan diam di situ.
“Jantung lo kayak mau copot,” bisiknya di telinga gue, dan gue langsung basahi bibir.
“Mungkin karena alkohol.”
Anan menyentuh telinga gue dengan bibirnya. “Bukan, bukan itu.” Dia mulai meninggalkan kecupan basah di leher, terus naik dan akhirnya mendarat di telinga gue. Kaki gue lemes banget merasakan bibirnya menyentuh bagian tubuh gue yang sensitif itu. “Lo nikmatin enggak?”
Gue bingung sama pertanyaannya. “Apa?”
“Lo udah bikin gue susah?!!” tangannya turun dari dada ke pinggul gue lagi dan tarik gue lebih dekat.
Di situlah gue merasakan sesuatu yang mengganjal, jelas banget karena menempel di punggung bawah gue dan hanya terpisah oleh celananya.
Gue tahu seharusnya gue menjauh, tapi lidahnya yang aktif, bibirnya yang seperti vakum cleaner, dan giginya yang terus-terusan menggerus leher gue bikin gue setengah gila.
Jangan terjebak sama permainannya, Zielle.
“Gue tahu lo cuma pingin balas dendam,” gumam gue, berharap itu bisa bikin dia mundur.
“Balas dendam?” Dia kasih senyum kecil di kulit leher gue, tangannya naik lagi ke dada gue, tapi kali ini dia benaran memijatnya tanpa rasa malu.
Sial. Gue harus bagaimana?
Tubuh gue gemetar di pelukannya, ini pertama kalinya ada cowok yang menyentuh gue kayak begini.
“Ya, gue tahu itu tujuan lo,” kata gue sambil menggigit bibir biar enggak keluar suara.
“Bukan itu yang gue mau.”
“Terus, lo maunya apa?”
Tangannya meninggalkan dada gue, terus turun, jarinya melacak perut gue. Gue loncat, pas tangannya menyentuh bagian sensitif di antara kedua kaki. “Ini yang gue mau.”
Oke, itu jelas banget buat gue.
Anan pegang ujung daster gue, mengangkatnya pelan-pelan, menyiksa. Jantung gue sudah kena dua serangan dan masih bertahan.
Gue enggak paham kenapa gue mengizinkan dia sentuh gue kayak begini. Atau mungkin, ya gue tahu alasannya, selalu ada sesuatu di dia yang bikin gue enggak bisa menolak. Desahan kecil keluar dari bibir gue pas Anan masukan tangannya ke bawah daster, jarinya gerak naik turun di atas celana dal*m gue.
Siksaannya terus berlanjut dengan lambat, bikin gue tanpa sadar mendorong pinggul ke belakang, merasa makin ingin dia dekat sama gue. Anan keluarkan suara geraman halus, dan itu suara paling seksi yang pernah gue dengar seumur hidup. “Zielle, gue bisa ngerasain kalau lo basah.”
Cara dia sebut nama gue bikin ledakan di perut gue makin menggila. Gue gigit bibir bawah gue kuat-kuat biar enggak keluar suara, sampai takut bikin bibir gue berdarah.
Siksaan dia makin lama makin parah, gerakannya lambat, naik turun, “Gue mau lebih.”
“Anan...”
“Ya?” Suaranya sudah enggak dingin dan kaku kayak biasanya. Suara Anan yang biasa gue dengar sudah berubah jadi serak dan napasnya sudah enggak beraturan.
“Lo mau gue sentuh di situ?”
“Iya,” gue bisik pelan.
Anan langsung nurut, geser celana dal*m gue ke samping, dan pas jarinya menyentuh kulit gue, gue langsung gemetar, dan punggung gue melengkung secara otomatis.
“Ya, ampun, Zielle.” Dia desah di telinga gue. “Lo basah banget, udah siap buat gue.” Jarinya kayak punya kekuatan sihir, bikin mata gue melotot ke aras.
Dari mana dia belajar semua ini?
Napas gue kayak orang habis lari maraton, jantung gue lupa caranya berdetak normal, dan tubuh gue mulai kecanduan sama hal ini. Gue enggak bisa dan enggak mau ini berhenti.
Pinggul gue gerak makin liar ke arah dia, bikin dia tambah keras. “Terus aja gerak kayak gitu, terus mancing gue, dan gue bakal buka kaki lo lebar-lebar dan ngehajar lo sampai gue harus nutup mulut lo biar lo gak teriak.”
Sial.
Kata-katanya kayak bensin di atas api yang sudah nyala di tubuh gue. Jarinya terus menari, bibirnya masih sibuk di leher, tubuhnya menempel erat di gue.
Gue sudah enggak tahan lagi.
Kendali diri gue hilang, lenyap seketika tangannya masuk ke celana dal*am gue. Gue sudah sampai di ujung, dan dia tahu itu karena gerakan jarinya makin cepat. Naik, turun, gue bisa merasakan klimaks itu datang, tubuh gue bergetar tinggal tunggu meledak.
“Anan!” Gue cuma bisa merasakan, sesuatu yang bikin gue mabuk, selain alkohol.
“Enak?”
“Iya!” desah gue, makin dekat sama puncak. “Ya, ampun. Gue milik lo!”
“Benaran, milik gue sepenuhnya?”
“Iya! Sepenuhnya milik lo!” Dan gue meledak.
Seluruh tubuh gue meledak dengan ledakan yang menyebar ke setiap senti diri gue, bikin gue gemetar dan mendesah begitu keras sampai Anan harus tutup mulut gue pakai tangan.
Ini bikin gue hancur lebur, enggak ada apa-apanya dibandingkan sama apa yang gue rasakan waktu gue bermain sendiri.
Anan lepaskan tangannya dari mulut gue dan cabut tangannya dari celana dal*m gue.
Dan itu terjadi...
Dia menjauh dari gue, terus terdengar suara robekan plastik, lalu ada bunyi resleting celana.
Panik, gue buru-buru putar badan buat menghadap dia. Tapi gue enggak siap buat lihat dia kayak begini. Setengah telanjang di kasur gue, pipinya memerah, mata biru cakepnya penuh hasrat, menatap gue dengan pandangan lapar.
Mata gue otomatis turun ke perut six-packnya sampai ke area yang selama ini gue cuma bisa rasakan tapi belum pernah melihatnya, dan... wow, sekarang gue yakin Anan memang sempurna banget pas melihat dia pasang kondom.
Gue telan ludah, berat banget rasanya.
“Ada apa?” tanyanya sambil tarik gue ke arah dia.
Masalahnya, gue masih perawan dan tadi gue sempat panik banget pas merasakan 'temen baik' nya menempel ke gue.
Tapi jelas gue enggak mungkin ngomong itu keras-keras.
Untungnya enggak.
“Heh, gue... gue enggak mau...” Gue telan ludah lagi, tenggorokan gue kering banget.
Ke mana perginya air liur gue?
“Habis buat lo teriak-teriak di pelukan Anan tadi,” jawab otak gue.
Anan naikkan satu alis. “Lo enggak mau gue ngehajar lo?” tanya dia langsung to the point..
“Gue...”
“Lo enggak bisa bilang kayak gitu, kita berdua tahu lo udah siap banget buat gue.”
“Maaf.”
Anan merangkul dirinya sendiri dan mengelus 'teman baik" nya.
“Ninggalin gue dalam keadaan kayak gini, itu lebih kejam dari perbuatan apa pun, Zielle.”
Apa gue harus balas hasratnya?
Apa itu maksud dia?
Tapi gue enggak pernah menyentuh cowok sebelumnya. Pergerakan gue tadi cuma berdasarkan insting.
Anan mengawasi gue kayak predator, mainkan bibirnya yang basah dan menggoda. Dia dekat banget dan setengah telanjang setelah kasih gue ‘Orgasmo’ terbaik dalam hidup gue, bikin gue sedikit percaya diri.
Pas tangan gue menyentuh ‘teman baik’ nya yang keras, Anan merem dan gigit bibir bawahnya, dan itu menghapus semua keraguan di kepala gue. Melihat dia gemetar kayak begitu, otot perutnya mengencang.
Pas tangan gue mulai gerak, adegan ini benar-benar paling hot yang pernah gue lihat.
“Sial...” dia desah pelan, taruh tangannya di atas tangan gue dan menambahkan kecepatan gerakan itu. “Lo tahu, enggak, gue lagi bayangin apa, Zielle?”
Gue menggerakkan kaki, menggesek di antara mereka, bikin gue ingin lagi merasakan jarinya di sana. “Enggak... apa?”
Mata dia terbuka, penuh dengan hasrat. “Mungkin bakal lebih enak kalau gue ada di dalam lo, ngebayangin lo di bawah gue dengan kaki melingkar di pinggul gue, sambil lo teriakin nama gue.”
Ya, ampun, gue enggak menyangka kata-kata bisa bikin gue semakin gila.
Dia lepaskan tangannya, dan gue lanjutkan gerakan cepat yang dia tunjukan. Tangan dia sibuk memijat dada gue dengan liar, dan setelah beberapa detik, mata dia tertutup lagi sambil berbisik kata-kata kotor.
Otot perutnya tegang, lengan dia juga mengencang, terus Anan berisik, itu suara campuran antara geraman sama desahan. Dan klimaks dia ada di tangan gue sekarang.
Kita berdua bernapas terengah-engah, dada kita naik turun.
“Gue mau ke kamar mandi,” kata gue sambil menyembunyikan tangan gue.
Gue kabur secepat kilat dan kunci diri di kamar mandi. Gue cuci tangan dan melihat diri gue di cermin.
“Apa-apaan barusan itu?” bisik gue ke diri sendiri. Sebagian dari gue masih enggak percaya, gue sama Anan baru saja melakukan sesuatu yang gila. Hampir saja Asta, saudara dia yang lagi tidur di samping, bangun.
Untung saja kasurnya cukup gede buat kasih jarak di antara kita dan Asta saat semua itu terjadi, kalau enggak, kasihan Asta!
Gue tunjuk bayangan di cermin. “Siapa lo dan apa yang lo lakuin sama diri gue yang polos ini?”
Mungkin gue memang enggak benaran polos.
Setelah tarik napas panjang dan mengumpulkan sisa-sisa polos gue yang sudah hilang, gue memutuskan buat keluar dan hadapi si Pangeran itu.