WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Pertama
Sesaat, Ben terdiam. Ia memperhatikan Ana yang tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan gadis itu semakin menutupi wajahnya dengan rapat.
Sambil mengulum senyum, Ben mendekat. Ia membungkuk di samping Ana dan berbisik pelan di telinga gadis itu.
"Aku memintamu melihat isi kotak hadiah, bukan melihat isi dibalik handuk yang kupakai," bisiknya.
"Apa?" Ana menyingkirkan tangan dari wajahnya dan menatap wajah Ben yang berada tepat di sisi kanan wajahnya.
"Ini milikmu, hadiah dariku." Ben sedikit mundur dan menyerahkan kotak yang sedari tadi ia letakkan di samping Ana.
Menyadari dirinya telah salah sangka dan berpikir yang tak seharusnya, Ana merasa malu. Gadis itu gugup, ia gemas pada pikirannya sendiri karena harus berpikir sejauh itu.
"Aku pasti sudah gila," batin Ana. Ia memejamkan mata beberapa saat sambil menarik napas dalam-dalam.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ben.
"Ya, maaf."
"Baiklah, cepat buka hadiahmu dan katakan padaku apa pendapatmu."
Ana meraih kotak berwarna putih dan menarik pita merah di atasnya. Saat membukanya, gadis itu terkejut melihat ponsel layar sentuh dari merek terkenal yang ia ketahui berharga mahal.
"Kau suka?" tanya Ben.
"Kenapa kau harus memberiku hadiah?" tanya Ana. Ia benar-benar dibuat tidak mengerti, mengapa sikap Ben begitu baik dan perhatian padanya. Ana tidak mau terlalu percaya diri, namun ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada laki-laki itu.
"Karena kau istriku," jawab Ben. "Aku menulis nomor ponselku di daftar kontakmu. Pastikan kau menghubungiku jika membutuhkan sesuatu," lanjutnya.
Jawaban Ben tersebut membuat Ana tidak bisa memahami, hubungan apa yang sebenarnya Ben harapkan darinya?
"Apakah Kak Rose tidak marah jika mengetahui hal ini?" tanya Ana.
"Dia menginginkan aku menikah lagi, artinya dia harus siap berbagi segalanya, termasuk perhatianku."
"Aku tidak ingin menyakiti perasaan Kak Rose. Aku tidak bisa menerima hadiah ini," tolak Ana.
"Anastasia! Kau sungguh tidak menghargai pemberianku!" seru Ben. Ana terdiam, ia berada dalam situasi sulit.
"Maaf," gumam Ana lirih.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan apapun darimu. Gunakan ponsel itu, kau tidak perlu mengatakan apapun pada Rosalie untuk hal-hal seperti ini," ungkap Ben.
Ana tidak punya pilihan lain selain diam dan menerima. Berdebat dengan Ben hanya akan membuatnya semakin tersudut.
Setelah Ben selesai berpakaian, ia mengajak Ana keluar kamar. Mereka berjalan bersama menuju ruang makan.
Di meja makan, Ana hanya duduk berdua bersama Ben. Sementara para pelayan sudah kembali ke dapur setelah menata semua hidangan di atas meja.
"Makanan apa yang kau sukai?" tanya Ben pada Ana.
"Aku bukan tipe pemilih, aku suka makan apa saja," jawab Ana. Gadis itu memperhatikan Ben yang hanya duduk dan membiarkan piring di depannya tetap kosong.
"Ah, baguslah. Itu bagus," ucap Ben.
Ana bangkit dari kursinya, gadis itu mengambil piring Ben dan mengisinya dengan nasi juga lauk pauk. Selama bekerja di rumah ini, sedikit banyak ia tahu tentang makanan favorit Ben dari pelayan dapur, sementara Rosalie, Ana bahkan tahu segalanya karena mereka tumbuh bersama saat kecil.
"Kau perhatian sekali. Terima kasih," ucap Ben saat menerima piring dari tangan Ana.
"Aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang istri," jawab Ana singkat. Ia pun mengabaikan tatapan mata Ben dan fokus untuk menghabiskan isi piringnya.
Duduk berdua di meja makan seperti ini membuat Ana merasa tidak nyaman. Ia tahu rumah ini pasti memiliki banyak CCTV di setiap ruangannya, dan Ana khawatir jika Rosalie berpikir buruk tentangnya.
Setelah makan siang, Ben mengantar Ana ke kamarnya, laki-laki itu mengatakan pada Ana jika ia harus pergi menemui seseorang. Ana tidak terlalu ingin tahu, gadis itu hanya mengatakan hal seperlunya tanpa banyak bertanya.
"Aku akan berusaha pulang sebelum malam. Jika aku dan Rosalie pulang larut, pastikan kau tidak terlambat makan malam meski sendirian," ujar Ben.
"Baik." Ana mengangguk. "Ah, ya. Terima kasih, aku menyukai hadiahnya," lanjut Ana dengan senyum yang tersamar.
Ben memperhatikan gadis yang berdiri di depannya. Gadis dengan wajah polos dan penampilan apa adanya itu sukses membuat Ben kesulitan menahan diri setiap kali menatapnya.
Mungkin ini karena Ana adalah gadis muda yang begitu menarik dengan lekuk tubuh yang menggoda, atau hanya karena Ben terlalu lama tidak merasakan nikmatnya bercinta. Ben tidak tahu pasti, ia hanya merasa sangat ingin melakukannya.
Ben melangkah perlahan mendekati Ana, sorot mata tajam seakan membidik gadis itu tepat di hatinya. Lagi-lagi Ana menjadi gugup, gadis itu mundur perlahan hingga punggungnya membentur tembok.
"Kau menghindar dariku?" tanya Ben dengan sedikit berbisik. Kini laki-laki itu berdiri tepat di hadapan Ana.
"Tidak. Aku hanya ...."
"Hanya apa? gugup?" sela Ben. Ana mengangguk cepat.
Ben tersenyum samar. Ia bersandar pada tembok di depan tubuh Ana dengan sebelah tangan, lalu tangan yang lain membelai rambut Ana.
"Rambut yang indah," bisik Ben.
Tangan itu perlahan turun, mengusap pundak hingga ke pinggang. Ana terdiam, ia terpaku, seakan Ben menghipnotisnya. Gadis itu tidak bergerak, juga tidak menunjukkan penolakan, hanya keringat dingin dan tangan gemetar yang ia rasakan.
Tangan Ben terus bergerak turun, perlahan tapi pasti, kini tangan itu telah menyentuh hingga ke ujung dress Ana. Laki-laki itu sedikit menunduk dan perlahan mengangkat kain itu dengan meraba lembut paha istrinya.
Ana menggertakkan gigi, kepalanya menggeleng samar dengan keringat dingin yang membasahi keningnya. Gadis itu benar-benar tidak berdaya.
Drrrtt ... Drrtt ....
Suara ponsel di saku celana Ben terus bergetar. Laki-laki itu segera melepaskan Ana dan menerima telepon seseorang yang sudah mengganggu kesenangannya.
"Ah, ini sangat menyebalkan," gerutu Ben setelah menerima telepon.
"Anastasia, aku akan pergi sekarang. Anggap ini pemanasan, aku ingin kau lebih berani dari perkiraanku," ujar Ben sebelum keluar dari kamar. Laki-laki itu terlihat tergesa-gesa setelah menerima telepon. Jika bukan suatu hal yang penting dan mendesak, ia pasti lebih memilih Ana karena sudah memulai aksinya.
Sepeninggal Ben, Ana merosot di lantai. Gadis itu memegang dadanya. Jantungnya berdetak cepat dengan napas yang memburu. Hampir seluruh tubuhnya terasa membeku dan seluruh bulu kuduknya meremang.
"Ya Tuhan, hampir saja," gumam Ana. Ia bangkit dan meneguk segelas air putih. Gadis itu hampir kesulitan bernapas, ia hampir kehabisan oksigen.
Bagaimanapun, hal ini pasti akan terjadi. Ana tidak mungkin dan tidak akan bisa menolaknya. Karena inilah alasan mereka menikah. Hanya saja, Ana masih merasa asing dengan sikap Ben, juga dengan tatapan dan sentuhan laki-laki itu.
"Haruskan aku memberanikan diri? Bersikap agresif seperti yang dia inginkan?" tanya Ana pada dirinya sendiri.
🖤🖤🖤
ceritanya bagus,
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu