Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*21
Si mama tiri sedikit terkejut dengan apa yang saat ini sedang terjadi. Dia pikir, Melia masih sama dengan Melia delapan tahun yang lalu. Taunya, tidak.
Hembusan napas berat mama tiri perdengarkan. "Huh!"
"Melia. Apa yang kamu katakan memang tidak salah menurut kamu. Tapi, kamu juga harus jaga perasaan Citra. Dia-- "
"Ya Tuhan, tante. Aku itu sedang cemas dengan posisi Citra sekarang. Delapan tahun berstatus sebagai tunangan, aku takutnya, Tuan muda Amerta hanya mempermainkan Citra lagi. Karena, jika si tuan muda itu benar-benar berniat untuk menikah dengan Citra, dia pasti sudah menikahi Citra sejak lama, bukan?"
Ibu dan anak langsung membulatkan mata. Kemarahan dan rasa sakit pada hati Citra semakin terasa kuat. Sungguh, ucapan Melia itu adalah sebuah kenyataan. Kenyataan pahit yang selama ini susah payah Citra telan.
Citra ingin sekali menampar Melia karena ucapan gadis itu barusan. Tapi tidak. Mamanya tidak membiarkan anaknya termakan kata-kata Melia. Dia menahan tangan anaknya dengan keras.
"Melia."
"Kamu baru pulang. Jadi, kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dunia perkampungan tidak sama dengan dunia perkotaan, bukan?"
Si mama tiri sedang berusaha menekankan pada Melia dari mana dia berasal setelah menghilang. Dia ingin Melia mengingat akan satu hal tentang posisi Melia sebelumnya.
"Kalo di kampung, kamu pasti akan merasa hidup dengan aman. Tapi di sini tidak begitu, Melia. Apalagi jika ingin hidup dengan keluarga kaya. Jadi, harus banyak bersabar."
"Ricky belum menikahi Citra karena tidak ingin Citra ada dalam bahaya. Delapan tahun dia berusaha melindungi Citra dengan baik. Dia akan menikahi Citra setelah waktunya tepat. Jadi, kita tunggu dan lihat saja nanti."
Melia menggenggam kopernya dengan erat. Ucapan mama tiri membangkitkan amarahnya. Ucapan itu langsung mengingat akan posisi sang mama. Mamanya meninggal secara misterius tanpa tahu apa penyebabnya.
'Bersabar? Kamu cukup mampu untuk bersabar ternyata. Lalu lihatlah nanti, aku juga sudah sangat lama bersabar menahan rasa sakit dan amarah atas ulahmu yang telah berani-beraninya menyakiti mama yang sangat aku sayangi. Kalian akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatan kalian," ucap Melia dalam hati.
Susah payah Melia menelan amarah. Setiap kali bertatap muka dengan si mama tiri, yang terbayang adalah rasa sakit sang mama. Entah berapa lama mamanya menderita karena ulah mereka yang tidak punya perasaan. Entah berapa banyak kesabaran yang mamanya keluarkan. Sungguh, rasanya, Melia ingin sekali mencabik-cabik mereka semua dengan tangan Melia sendiri.
Sementara untuk Ricky, mungkin apa yang mama tirinya katakan ada benarnya. Alasan Ricky tidak kunjung menikah dengan Citra karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. Hanya saja, Melia tidak terlalu tertarik lagi dengan urusan pernikahan. Mau apapun alasan Ricky yang tidak kunjung menikah dengan Citra, Melia tidak akan ambil pusing. Toh, dia mengungkit soal Ricky hanya karena untuk menyakiti hati Citra saja. Selebihnya, sudah tidak ada alasan lagi. Apalagi untuk alasan hati. Yang tersisa hanya rasa benci dan kesal. Ingin membalaskan penghinaan Ricky waktu itu saja.
....
Langkah kaki papa Meli langsung terhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok wanita yang sangat tidak asing lagi di matanya. Meski sudah lama tidak bertemu, tapi tetap saja, wajahnya masih bisa ia kenali dengan sangat baik.
"Si-- siapa kamu?"
"Papa."
"Aku Melia."
"Melia? Ba-- bagaimana mungkin?"
Wajah pria itu sangat sulit untuk diartikan sekarang. Entah bahagia atau pun sebaliknya. Yang jelas, wajah kagetnya terlihat dengan sangat jelas.
"Ceritanya panjang, Pa. Masuk dulu aja. Kita bicara pelan-pelan," ucap mama tiri dengan nada tenang.
"Jadi benar, dia Melia?"
"Ya. Sepertinya begitu."
Si papa langsung meraih tubuh anak gadisnya untuk ia peluk. Sedikit tidak nyaman sebenarnya. Tapi Melia tetap merelakan pelukan itu terjadi.
"Melia? Bagaimana mungkin, Nak? Kamu ... masih hidup?"
"Apa papa ingin aku beneran mati?"
Satu pertanyaan yang langsung mengubah raut wajahnya papanya. Pelukan yang sebelumnya terjadi pun seketika terurai.
"Meli. Kok bicaranya kasar gitu sih?"
"Ah, maaf. Aku tinggal di perkampungan sebelumnya, Pa. Jadi, tidak bisa berbahasa yang halus."
"Iya, Pa. Kasihan kak Melia. Dia sebelumnya tinggal di kampung. Ternyata, malam itu yang kecelakan bukan dia. Tapi sebaliknya, kita malah menganggap itu dia. Terus, kita mengabaikan dia begitu saja. Kasihan sekali," ucap Citra dengan nada manjanya.
Melia sejujurnya sangat benci suasana ini. Suasana rumah yang menyebalkan. Ternyata, setelah delapan tahun juga suasana itu tidak berubah. Masih saja sama.
"Aku ke kamar mandi dulu. Sudah tidak tahan lagi." Selesai berucap, Meli segera beranjak.
Terlalu enek dalam hati Meli untuk menyaksikan sandiwara bahagia antara keluarga yang sudah lama tidak layak di sebut keluarga untuk dirinya. Karena kehadirannya seolah tidak pernah dianggap sejak dulu.
Melia lebih memilih mengunci pintu kamarnya. Berpura-pura ingin ke kamar mandi, padahal tidak sama sekali. Bertemu papa untuk yang pertama kali setelah delapan tahun, rasa sakit dalam hatinya masih terasa sangat jelas.
"Sebaiknya bukti keterlibatan mu dalam membunuh mama tidak pernah aku temui, Pa. Jika tidak, aku tidak akan pernah segan untuk menghukum papa."
"Untuk perselingkuhan mu dengan kekasih mu sehingga kalian punya anak tidak sah yang hampir seumuran dengan ku, aku mungkin bisa mengabaikan dirimu tanpa harus menyakiti kamu hingga titik tertinggi. Tapi jika aku tahu kamu juga ikut dalam rencana pembunuhan mama, maka tidak akan ada kata maaf bagimu meski kamu adalah papa kandungku sendiri."
"Tunggu dan lihatlah. Aku pasti akan menghukum semua yang telah menyakiti diriku."
Melia menatap dirinya di cermin. Ketukan di pintu terdengar. Enggan gadis itu melangkah.
"Siapa?"
"Saya, nona muda."
"Tuan muda bilang, jika urusan anda dengan kamar mandi sudah selesai. Anda di tunggu di ruang keluarga sekarang."
"Maaf. Katakan pada papa, aku tidak nyaman untuk keluar saat ini. Perutku mendadak tidak enak. Maklum, urusan tamu bulanan wanita."
"Ah, baiklah nona muda. Akan saya sampaikan pada tuan."
"Anu, apa ada yang anda butuhkan sekarang? Jika ada, katakan saja pada saya, nona. Saya akan bantu."
"Tidak. Terima kasih."
"Baik, nona muda. Saya pergi sekarang. Jika ada yang diperlukan, jangan sungkan."
"Iya."
Pelayan itu pergi. Pelayan yang sebelumnya mengantarkan Melia ke kamarnya. Namanya Mila. Dia gadis yang baik. Hanya saja, latar belakang keluarga tidak. Dia adalah korban dari keluarga yang berantakan. Karenanya, dia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Mila langsung merasa simpati sesaat setelah bertatap muka dengan Melia. Entah karena alasan apa, tapi yang jelas, dia suka Melia. Makanya, dia abaikan perkataan para pelayan yang lain. Para pelayan lama yang mengatakan kalau mereka tidak perlu menghormati Melia karena dia tidak layak untuk di hormati.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀