Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16
Aku benar-benar merasa tertekan saat menghadapi bagian analisis data dalam penelitianku. Ketika aku mulai menulis tentang analisis korelasi dan teknik korelasi Pearson, I had to admit that I felt incredibly confused, aku harus mengakui bahwa aku merasa sangat bingung.
Rasanya seperti aku berada di tengah lautan data tanpa peta dan kompas, hanya mengandalkan intuisi dan beberapa petunjuk yang kurang jelas.
Sebenarnya, aku tahu bahwa analisis korelasi dan teknik korelasi Pearson adalah alat yang penting untuk menilai hubungan antara variabel dalam penelitianku. Korelasi Pearson, khususnya, digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier antara dua variabel.
However, saat aku mulai menulis tentang teknik ini, aku merasa seperti aku hanya menempelkan istilah-istilah teknis tanpa benar-benar memahami cara kerjanya.
I have to be honest; at that time, I felt pressured to quickly fill the empty pages of my thesis.
Aku harus jujur, saat itu aku merasa tertekan untuk segera mengisi halaman-halaman kosong dalam skripsiku.
Dengan deadline yang semakin mendekat dan tekanan untuk mendapatkan persetujuan dari dosen, aku merasa terjebak dalam dilema antara mengisi halaman dengan tulisan yang mungkin tidak akurat dan benar-benar memahami konsep-konsep yang aku tulis.
In this situation, aku cenderung memilih untuk banyakin isi dulu, berharap bahwa setidaknya dosen akan melihat usaha yang aku lakukan, even though I wasn’t confident in what I was writing, meskipun aku sendiri merasa tidak yakin dengan apa yang aku tulis.
I decided to write what I knew, or more accurately, aku memutuskan untuk menulis apa yang aku tahu, atau lebih tepatnya, apa yang aku pikir aku tahu tentang analisis korelasi dan teknik korelasi Pearson.
Every time I reread what I had written, I became increasingly doubtful. Setiap kali aku membaca ulang tulisan yang aku buat, aku merasa semakin ragu.
Aku tahu bahwa aku harus memahami dengan benar teknik yang aku gunakan, tetapi terkadang yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana cepat-cepat mengumpulkan halaman dan menghadap dosen untuk mendapatkan persetujuan.
***
Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi yaitu, suatu metode statistik yang digunakan untuk menilai tingkat hubungan antara dua atau lebih variabel. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah ada keterkaitan statistik antara harga, kepercayaan, dan minat konsumen. Salah satu teknik korelasi yang sering digunakan adalah Korelasi Pearson, yang fokus pada pengukuran hubungan linier antara dua variabel yang memiliki nilai kontinu.
Analisis Pearson akan membantu menilai apakah terdapat hubungan linear antara harga dan tingkat kepercayaan, harga dan minat konsumen, serta tingkat kepercayaan dan minat konsumen dalam penggunaan layanan perjalanan agen biro haji dan umrah. Hasil analisis ini akan memberikan pemahaman sejauh mana variabel-variabel ini berhubungan satu sama lain dan apakah hubungan tersebut memiliki relevansi signifikan dalam kerangka penelitian.
***
Saat aku kembali membaca latar belakang proposalku, I feel like I’m stuck in an endless cycle of confusion, aku merasa seperti terjebak dalam siklus kebingungan yang tak berujung.
Setiap kali mataku menyapu kata-kata di layar, rasanya semakin aneh dan tidak masuk akal. Bagian latar belakang ini—yang awalnya aku kira akan mudah—ternyata menjadi titik terberat dari seluruh proposal.
I’ve put in a lot of effort to understand it, examining every angle and detail, but it only seems to make me feel more lost.
Aku sudah berusaha keras untuk memahaminya, mencoba setiap sudut dan detail, tapi hasilnya justru semakin membuatku merasa kehilangan arah.
Rasa frustasi ini semakin menumpuk seiring dengan upayaku untuk menyelesaikan proposal. I feel pressured and almost desperate. Aku merasa tertekan dan hampir putus asa.
In my mind, there’s only one hope: that no more revisions will be needed for this section.
Dalam kepala ini, hanya ada satu harapan: semoga tidak ada lagi revisi yang diperlukan di bagian ini.
I am truly exhausted from this seemingly never-ending process. Aku benar-benar lelah menghadapi proses yang seolah tidak pernah berakhir ini. Setiap revisi tampaknya membawa lebih banyak keraguan dan kesulitan daripada sebelumnya.
It feels like I’m fighting against an ever-increasing and slippery wall, and I can only hope that things will go smoothly without having to revisit the same place again.
Rasanya seperti aku berjuang melawan dinding yang semakin tinggi dan licin, dan aku hanya bisa berharap agar semuanya bisa berjalan dengan lancar tanpa harus berputar-putar lagi di tempat yang sama.
Tekanan ini semakin terasa berat, terutama ketika aku mengingat bahwa bahkan proses pengajuan judul saja sudah membuatku sangat tertekan. Teman-teman di sekelilingku juga tampaknya menghadapi tantangan mereka masing-masing.
Aku baru saja mendengar kabar bahwa salah satu temanku bahkan sudah sakit sebelum sempat menjalani proses pengajuan judul.
Rasa frustrasi ini tidak hanya berasal dari kesulitan teknis dalam menulis proposal, tetapi juga dari tekanan mental dan emosional yang mengikutinya.
Uncertainty and doubt gnaw at my spirit, and sometimes I feel like I’m fighting alone in the dark.
Ketidakpastian dan keraguan menggerogoti semangatku, dan kadang-kadang aku merasa seperti berjuang sendirian dalam gelap.
***
Saat aku akhirnya memutuskan untuk menghadap sekretaris jurusan (sekjur), suasana di ruang tunggu kampus terasa lebih suram daripada biasanya. I sat in a corner, trying to calm myself sambil memeriksa kembali dokumen yang sudah ku siapkan.
Yet, my thoughts and emotions were far from calm. Namun, pikiran dan perasaanku jauh dari tenang.
Sadness and anxiety enveloped me like an unrelenting fog. Kesedihan dan kecemasan menyelimuti diriku seperti kabut yang tak kunjung hilang.
Teman-teman sekelasku juga menunggu giliran mereka, and amidst their casual chatter and trivial conversations, I felt like just a small part of a dreary backdrop, dan di antara percakapan ringan dan obrolan tidak penting, aku merasa seolah aku hanyalah bagian kecil dari latar belakang yang suram.
Suddenly, the room fell silent saat seorang mahasiswi keluar dari ruang bimbingan.
She looked very different from usual; her expression was blank, and her steps were heavy.
Dia terlihat sangat berbeda dari biasanya; ekspresi wajahnya kosong, dan langkahnya terlihat berat.
Without saying a word, dia langsung berjalan menuju teman dekatnya yang sudah menunggunya di luar.
Seeing her walk with her head down, as if the weight of the world was on her shoulders, made my heart feel even heavier.
Melihat bagaimana dia melangkah dengan kepala tertunduk, seolah-olah seluruh beban dunia berada di pundaknya, membuat hati ini terasa semakin berat.
Ketika mahasiswi itu mencapai temannya, she immediately embraced her in a heartfelt hug, dia langsung meraih temannya dalam pelukan yang penuh rasa.
In an instant, the atmosphere that had been slightly lively became completely silent. Dalam sekejap, suasana yang tadinya sedikit ramai mendadak hening.
No words were exchanged, only a deep and meaningful embrace. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya pelukan yang dalam dan penuh makna.
Temannya membalas pelukan itu dengan lembut, dan meskipun tidak ada percakapan yang terjadi, ada rasa empati yang kuat di antara mereka.
Aku bisa merasakan beban emosional yang berat yang dibawa oleh mahasiswi itu, dan seolah-olah seluruh ruang tunggu ikut merasakan kepedihan yang dia alami.
Witnessing this scene, my heart felt deeply touched. It felt as if an invisible wall was separating me from the world around me.
Melihat pemandangan itu, hatiku terasa sangat tergerus. Rasanya seperti ada sebuah dinding tak terlihat yang memisahkan aku dari dunia di sekelilingku.
I knew how heartbreaking it was to be in such a high-pressure situation, aku tahu betapa menyedihkannya berada dalam situasi yang penuh tekanan seperti itu, dan pemandangan mahasiswi itu yang membutuhkan pelukan begitu dalam mengingatkan aku pada kesedihan yang ku rasakan.
This wordless moment conveyed more than words ever could. Momen tanpa kata-kata ini mengungkapkan lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Sementara aku duduk di kursi tunggu, the world around me seemed to shrink, aku merasakan seolah-olah dunia di sekelilingku menjadi semakin kecil.
What appeared to be a simple moment—a supportive hug—became profoundly significant.
Momen yang tampaknya sederhana ini—pelukan yang penuh dukungan—menjadi sangat signifikan.
I realized how important it is to have someone who understands and supports you during tough times.
Aku menyadari betapa pentingnya memiliki seseorang yang bisa memahami dan mendukungmu dalam waktu-waktu sulit.
Even though I didn’t know the student personally, I felt connected to her pain.
Meskipun aku tidak mengenal mahasiswi itu secara pribadi, aku merasa terhubung dengan rasa sakitnya.
This moment made me reflect on my own journey and how I struggle with anxiety and sadness.
Momen ini membuatku merenung tentang perjalanan pribadi ku sendiri dan bagaimana aku berjuang dengan rasa cemas dan kesedihanku.