Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 - Ancaman
Sebelum memutuskan untuk pulang dan menjelaskan semuanya pada Tuan Minos, Tora terbang mengitari titik tempat di mana Naina hilang tertelan portal. Siapa tahu portal tersebut akan muncul dan Tora bisa masuk ke dalamnya.
Tapi sayangnya, harapan itu sirna setelah Tora terbang mengitari hingga menelisik ke setiap celah permukaan tanah. Tetap saja tidak ada yang muncul, layaknya tanah biasa yang tak mungkin bisa mengeluarkan apa-apa.
“Bagaimana ini?” Tora semakin bingung, kepalanya celingukan sambil berpikir apa yang harus dirinya lakukan.
Terbang dari pohon ke pohon yang lain, akhirnya Tora memutuskan untuk mencari para hewan ganas yang lebih mirip seperti monster, tentunya mereka menghuni hutan ini. Dan monster tersebut pula yang menjadi ancaman terbesar di sini.
Aneh tapi nyata, Tora pun masih tidak mengerti. Semenjak kedatangan Naina ke kastil dan menjadi istri Tuan Minos, hutan berbahaya yang menelan banyak korban justru tidak kelihatan berbahaya sama sekali ketika Naina menginjakkan kaki ke hutan.
Terbang berkelok menuju sebuah gua, Tora melihat hewan yang mirip seperti iguana dengan ukuran persis sebesar gajah. Monster tersebut tengah berdiam diri di dalam gua, terlelap seolah sudah di dalam sana selama berhari-hari.
“Hei, apa selama ini kau hanya diam di sana sepanjang waktu?” lontar Tora langsung pada intinya.
Monster berbentuk iguana raksasa berwarna oranye kemerahan di sana langsung menguap, menatap kesal pada Tora. Merasa jam istirahatnya sudah diganggu.
“Apa maksudmu? Meskipun tidak ada manusia yang berlalu lalang di hutan, aku tetap berkeliaran. Aku juga butuh makan dan bertemu dengan para monster lainnya,” timpalnya dengan nada sinis.
Tora yang mendengarnya pun semakin kebingungan. “Tidak ada manusia? Apa kau yakin? Beberapa waktu ke belakang ini ada seorang gadis yang berhasil bolak-balik masuk ke dalam hutan dan keadaannya selamat. Bunga mawar biru sudah dua kali dia dapatkan. Bahkan setiap sore, dan tadi dia berkeliaran di hutan ini. Jadi, bagaimana mungkin kau tidak melihatnya?”
Monster tersebut menggedikkan bahu. “Apa kau pikir aku sedang membual? Tanya saja pada monster lain jika kau tidak percaya. Kami selalu menjelajahi setiap tempat, tapi gadis yang kau maksud tidak sekalipun kami lihat.”
Karena untuk memastikan ucapannya, Tora pun pergi ke tempat lain. Mencari monster dengan beragam bentuk lain untuk ditanyai mengenai Naina. Bukan hanya monster, tapi beberapa penyihir berwujud mengerikan pun terkena interogasi.
Tapi setelah pontang-panting bertanya kesana kemari tetap saja jawaban mereka sama. Mereka semua tidak melihat dan tidak tahu bagaimana rupa Naina, bahkan katanya, kehadiran maupun aroma bahwa gadis itu adalah seorang manusia tidak terendus sama sekali.
“Mau bagaimana lagi?” Tora bergumam pasrah, “Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Sebentar lagi langit berganti malam, dan aku harus segera pulang untuk memberikan laporan. Semoga saja Tuan Minos bisa mendeteksi keberadaan Naina dari bola sihirnya.”
Bergegas terbang menuju kastil, Tora langsung memasuki ruangan Tuan Minos dengan tergesa-gesa. Melihat dari belakang punggung Tuannya tersebut dengan aura yang mencekam.
“Tuan?” Tora takut-takut untuk memanggil.
“Dari mana saja?” ketus Tuan Minos, pandangannya masih setia lurus ke depan.
“Aku menyusuri seluruh tempat di hutan, Tuan. Mungkin Tuan sudah tahu dan melihat sendiri bahwa Naina memasuki portal yang entah akan tiba di mana dan tempat seperti apa. Maafkan aku, Tuan. Aku kehilangan jejaknya. Dan anehnya, setelah aku bertanya pada binatang buas ataupun penyihir yang ada di hutan, mereka semua tidak pernah tahu Naina. Bahkan mereka mengaku tidak pernah melihat sosok Naina seperti apa,” terang Tora dengan sejelas-jelasnya.
Perlahan Tuan Minos berdiri dan membalikkan tubuhnya, menghadap pada burung gagak yang terpekur bingung. Sebelah tangannya diangkat, mengeluarkan bola sihir yang tidak menunjukkan gambaran apa-apa.
“Sialnya keberadaan gadis itu tidak bisa terdeteksi dalam bola sihir ini. Padahal seharusnya dia tidak bisa lepas dari pengawasanku. Aku curiga dengan para binatang itu. Apa mungkin mereka memiliki misi tertentu?” Tuan Minos tampak frustasi, merasa resah karena tidak tahu bagaimana kabar Naina.
Mengacak-acak rambut putihnya yang lengket dengan nanah, Tuan Minos berulang kali menendang angin. “Brengsek! Jika aku bisa, aku yang akan turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini sendirian.”
“Tuan, aku mohon sabar dan tenang dulu.” Tora berusaha untuk menenangkan, meskipun sepertinya itu tidak akan berefek.
“Bagaimana mungkin aku bisa sabar dan tenang dalam situasi seperti ini?!” Tuan Minos malah menyolot. Mata birunya menajam saat menyorot gagak di sana.
“Bisa saja kan mereka bersekongkol? Bisa saja gadis itu ternyata diam-diam memang sudah berencana kabur dengan bantuan para binatang sialan itu!” imbuhnya dengan intonasi jengkel.
“Tapi Tuan, apa Tuan tidak mendengar percakapan apapun sebelum Naina memasuki portal itu?”
Pertanyaan yang dilontarkan Tora barusan memantik emosi Tuan Minos menjadi lebih menggebu-gebu. Merasa pertanyaan bodoh tersebut hanya membuat telinganya gatal saja.
“Jika aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, aku mungkin sudah memiliki jawaban dan tidak berspekulasi macam-macam!” sembur Tuan Minos membuat gagak itu terperanjat kaget.
Tora langsung meneguk saliva dengan susah payah, tertunduk ketakutan. “Ba-baik, Tuan! Maafkan aku.”
Berderap meninggalkan ruangan, Tuan Minos dengan sengaja berjalan sembari menghentak-hentak lantai. Berniat untuk mencari udara segar dan mendinginkan kepala.
Sedang Tora masih bergeming di tempat. Dalam batin dirinya terus bertanya. Apa mungkin kemarahan Tuan Minos barusan adalah salah satu bentuk kepeduliannya pada Naina? Pertanyaan tanpa jawaban itu berenang-renang dalam kepala Tora.
“Sederhananya, jika memang Naina tidak kembali, seharusnya Tuan Minos bisa segera mencari wanita lain lagi untuk dijadikan istri. Bukankah selama ini Tuan selalu mengatakan hal itu? Merasa tidak masalah jika Naina pergi, menghilang atau bahkan jika mati sekalipun. Lalu kenapa Tuan harus marah-marah begitu?” Tora bergumam sambil geleng-geleng kepala. Tidak paham dengan situasi ini.
Berpindah pada Tuan Minos, pria jangkung tersebut terus berjalan mondar-mandir di depan pintu utama kastil. Sesekali Tuan Minos mengecek bola sihirnya, tapi sampai detik ini keberadaan Naina belum juga terdeteksi.
Inginnya bersikap tenang, tapi pikirannya terlanjur semrawut oleh bisikan-bisikan negatif yang membuatnya merasakan perasaan ‘kembali ditinggalkan’ dan karena hal itu rasa percaya dirinya menurun drastis.
Menyerah karena terlalu lama menunggu dan langit sudah berubah malam, Tuan Minos beranjak pergi. Berpikir untuk kembali mengurung diri di ruangan pribadi, menyudahi pikirannya yang terus berkecamuk dalam masalah ini.
Tapi baru beberapa langkah kakinya bergerak melaju, suara pintu berderit pertanda terbuka langsung membuatnya menoleh. Pandangannya seketika mendarat pada gadis berambut panjang yang memasang ekspresi ketakutan.
“Kenapa kau pulang telat?! Bukankah aku sudah bilang untuk kembali sebelum matahari tenggelam? Dan kemana saja kau pergi bersama para binatang bodoh itu?!” Tak tanggung-tanggung, Tuan Minos mencecari banyak pertanyaan pada Naina.
Dan Naina yang sadar sudah melakukan kesalahan lantas menundukkan kepala, bingung harus menjawab dan menjelaskan semuanya mulai dari mana. Perjalanannya bersama binatang-binatang berbulu putih sulit untuk dirinya jelaskan.
“Kau tuli?! Aku bertanya padamu!” sentak Tuan Minos, kakinya perlahan melaju, mengikis jarak antara dirinya dengan gadis itu.
Seiring dengan derap langkah kaki pria itu yang kian mendekat, Naina tidak mampu mengangkat pandangannya. “Ma-maafkan aku, Tuan. Tapi aku ... Tidak bisa menjelaskan—”
“Apa katamu?!” potong Tuan Minos, gerakan kakinya terhenti saat tersisa hanya satu langkah lagi dengan Naina. “Kenapa kau tidak bisa menjelaskannya?! Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?!”
Naina semakin kalang kabut tatkala terus menerus dipojokkan. “A-anu, Tuan. A-aku...” Tidak ada kalimat sempurna yang bisa dipahami. Ia bicara tidak jelas, terbata-bata dengan napas yang patah-patah.
Mencengkram dagu gadis itu dengan kuat, Tuan Minos membuat Naina menatap padanya. “Aku tidak mau tahu, mulai detik ini, aku tidak mengizinkanmu pergi ke hutan itu lagi dan menemui para binatang di sana!”
“Ta-tapi— Tuan?” Naina mengedipkan mata berkali-kali, sorot matanya meminta penjelasan, merasa tidak terima dengan perintah itu.
“Kenapa? Kau sudah bisa mulai menanam bahan masakan di taman belakang kastil. Tidak perlu lagi berkeliaran di hutan. Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani menemui mereka lagi!” final Tuan Minos tanpa menerima bantahan apapun.
***