Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Permintaan Maaf
Pak Suryo duduk lebih tegak, suaranya mantap. "Aku akan mengumpulkan semua warga desa. Aku akan bicara pada mereka, memberitahu agar mereka tidak takut melapor jika Wongso menindas mereka atau orang lain. Kalau kita semua bersatu, Wongso tidak akan berani macam-macam. Dia kuat karena selama ini kita terpecah dan takut."
Bu Warti tersenyum, mendukung suaminya. "Bapak benar, Airin. Kalau semua warga sepakat untuk melawan ketidakadilan, Wongso tidak akan bisa berbuat banyak."
Airin merasa lega, matanya berkaca-kaca mendengar keputusan itu. "Terima kasih banyak, Bu, Pak. Saya tidak tahu harus bagaimana tanpa bantuan kalian."
Pak Suryo mengangguk mantap. "Tenang saja, Nak. Ini bukan hanya untukmu. Ini untuk seluruh desa. Wongso harus tahu, kekuasaannya ada batasnya."
Bu Warti menepuk bahu Airin dengan lembut. "Kamu pulang saja dulu, Airin. Kami akan mengatur semuanya."
Airin mengangguk penuh rasa terima kasih. "Baik, Bu, Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak."
Dengan hati lebih ringan, Airin pulang, membawa harapan baru untuk masa depannya dan seluruh desa.
Ketika Airin sampai di rumah, ia langsung menemui neneknya yang sedang duduk di ruang depan, merapikan kain yang akan dijahit. Wajahnya terlihat cerah, membawa kabar baik yang telah ia dapatkan.
"Nek, Bu Warti dan Pak Suryo bersedia membantu," ujar Airin dengan senyum lebar. "Mereka bahkan ingin melindungi semua warga kampung dari Wongso. Pak Suryo akan mengumpulkan warga untuk bersatu melawan ketidakadilan."
Nenek Asih mendongak, wajahnya langsung berubah lega. Senyumnya merekah, membuat kerutan-kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam. "Syukurlah, Nak. Itu kabar yang sangat baik. Semoga ini benar-benar berhasil dan kita bisa membuka toko tanpa gangguan Wongso. Dia sudah terlalu lama semena-mena," ujarnya penuh harapan.
Kaivan duduk diam di depan jendela. Namun, setiap kata yang diucapkan Airin dan neneknya, ia dengar jelas.
Dia menahan napas sejenak, lalu menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di hatinya. Meski wajahnya tetap datar, pikirannya bergejolak.
"Jadi aku ini apa?" pikirnya, tangannya menggenggam sandaran tangan kursi. "Istriku harus meminta perlindungan pada orang lain karena aku... tak cukup mampu untuk menjaganya."
Namun, Kaivan dengan cepat menguasai dirinya. Ia mengembalikan ekspresi tenangnya, meskipun hatinya terasa seperti dihantam bertubi-tubi.
Airin melirik ke arah Kaivan, baru sadar bahwa pria itu mendengar pembicaraan mereka. Sementara itu, Nenek Asih yang tak menyadari perasaan Kaivan hanya tersenyum lega. "Baguslah kalau begitu. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup tanpa takut lagi," katanya, nadanya terdengar penuh harapan.
Namun, di sudut ruangan, Kaivan tetap duduk diam di depan jendela. Sorot matanya yang kosong tampak menatap jauh ke luar, seolah mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan. Wajahnya tetap datar, tetapi di balik keheningan itu, hatinya terasa bergolak.
Airin melangkah pelan mendekatinya. Ada keraguan di setiap langkahnya, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan keadaan tetap seperti ini. Sesampainya di samping Kaivan, Airin memilih untuk duduk di lantai, sejajar dengannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Kak Ivan..." panggilnya pelan, nyaris berbisik.
Kaivan sedikit menoleh ke arahnya, meski tidak langsung menatap wajahnya. "Ada apa?" tanyanya singkat, suaranya datar seperti biasa, namun ada nada lelah di baliknya.
Airin menggigit bibirnya, merasa semakin gelisah. "Aku... aku minta maaf," ujarnya dengan nada lembut, hampir ragu.
Kaivan mengerutkan kening samar, tanda bahwa ia terkejut mendengar permintaan maaf itu. Ekspresinya tetap tak banyak berubah. "Minta maaf? Untuk apa?"
Dari sudut ruangan, Nenek Asih yang mendengar permintaan maaf itu turut mengernyitkan kening. Ia tidak menduga bahwa Airin akan meminta maaf pada Kaivan.
Airin menunduk, jemarinya meremas ujung kain rok yang ia kenakan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Kaivan penuh penyesalan. Suaranya terdengar lembut, penuh rasa bersalah. "Karena aku memutuskan meminta bantuan Bu Warti dan Pak Suryo tanpa bicara dulu dengan Kakak. Aku tidak bermaksud melewatkan pendapat Kakak. Aku hanya... hanya terlalu khawatir dengan apa yang mungkin dilakukan Wongso. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi."
Nenek Asih duduk di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan interaksi antara Kaivan dan Airin. Tatapannya mengarah pada wajah Kaivan yang tampak begitu tenang, meskipun ia tahu di balik ketenangan itu, ada banyak perasaan yang sedang bergulat.
Nenek Asih menghela napas panjang, lalu menunduk, merasa hatinya sedikit terguncang. "Kenapa aku tidak mengingatkan Airin? Seharusnya aku bilang padanya untuk berdiskusi dulu dengan suaminya. Tapi aku terlalu khawatir... aku hanya ingin mereka aman," pikirnya, sambil meremas jemarinya sendiri.
Ia merasa bersalah karena tidak menyadari bahwa kini Airin bukan lagi gadis kecil yang bisa ia lindungi sendirian. Airin sekarang sudah memiliki suami, seorang pria yang, meskipun sedang dalam keterbatasan, tetap pantas dihormati sebagai kepala keluarga.
"Ini bukan hanya soal Wongso atau keselamatan kami. Ini juga tentang menjaga harga diri Ivan. Aku tahu betapa sulitnya bagi seorang pria seperti dia menerima keputusannya diabaikan, bahkan oleh istrinya sendiri," gumam nenek Asih dalam hati.
Kaivan kembali terdiam setelah mendengar permintaan maaf itu. Wajahnya tetap datar, tetapi sesuatu dalam hatinya perlahan mencair. Ia tidak menyangka Airin akan memperhatikan perasaannya hingga sedalam itu. Selama ini, ia selalu merasa dirinya hanya menjadi beban.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak kecil di dadanya. Tangan yang tadi menggenggam sandaran kursi kini perlahan melonggar.
"Kau tidak perlu minta maaf," ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Apa yang kau lakukan itu untuk melindungi kita. Aku mengerti niatmu."
Namun, dalam hatinya, Kaivan merasakan sesuatu yang berbeda. Ada rasa lega yang menjalar pelan. Airin tidak hanya mengerti, tetapi juga menghargai posisinya sebagai suami. Hal itu membuatnya merasa diakui, meskipun sebelumnya ia sempat kecewa karena tak dilibatkan.
Airin menatap Kaivan dengan penuh penyesalan. "Tetap saja, Kak. Aku seharusnya bicara denganmu dulu. Kau adalah bagian penting dalam hidupku. Keputusan seperti ini... seharusnya kita buat bersama."
Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa begitu tulus. Bagi Kaivan, ucapan Airin seperti menyentuh sesuatu yang lama terkubur, rasa dihargai dan diakui, sesuatu yang jarang ia rasakan sejak kehilangan penglihatannya.
Ia tertegun sesaat, lalu perlahan menoleh sepenuhnya ke arah Airin. Wajahnya masih tampak tenang, tetapi kali ini ada kelembutan yang lebih nyata. Perlahan, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala istrinya, membelai rambutnya dengan gerakan yang lembut.
"Airin, aku tidak marah. Kau hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik. Aku hanya ingin kau tahu... aku ada di sini. Untukmu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu, dengan atau tanpa bantuan mereka."
Airin tertegun. Sentuhan lembut Kaivan di kepalanya dan kata-kata itu, meski sederhana, terasa begitu tulus. Air matanya hampir menetes, tetapi ia menahannya. Senyum kecil akhirnya muncul di wajahnya. "Terima kasih, Kak."
Kaivan mengangguk kecil. "Airin..." katanya pelan, suaranya terdengar lebih hangat. "Aku... terima kasih. Kau tidak tahu betapa pentingnya ini bagiku."
Airin mengerutkan kening samar, bingung dengan nada suara suaminya yang tiba-tiba berbeda. "Penting? Maksud Kakak?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso