Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Althea merenung di kamarnya, mengingat kembali perilakunya selama ini. Semua yang dia lakukan hanya untuk mendapatkan perhatian dan validasi—dan sering kali, hal itu malah membuat Leon muak. Kini, dia sadar bahwa dia selama ini hanyalah boneka ibunya, mengikuti semua aturan tanpa pernah mempertanyakan apakah itu benar-benar keinginannya.
Dia membuka lemari pakaian, menatap tumpukan pakaian berwarna cerah, didominasi dress putih dan pink, yang selalu diatur oleh Arina. Pakaian itu adalah simbol kendali ibunya, sesuatu yang dia pikir dapat membuatnya menyaingi Reina. Tapi kenyataannya, penampilan tidak pernah menjadi masalah di mata Leon atau Reina.
Dengan tekad baru, Althea mulai memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam koper, termasuk tas-tas mahal dan sepatu yang tidak sesuai seleranya. Setelah selesai, dia menatap kamar berwarna pinknya dengan mata jengah. Seprai pink, gorden pink—semuanya mencerminkan keinginan ibunya, bukan dirinya.
Dia mengganti seprai dan gorden dengan warna ungu favoritnya, yang diam-diam dia beli dengan nama Reina. Saat melihat kamar yang mulai berubah, dia merasa lega untuk pertama kalinya.
Setelah selesai, dia turun ke ruang tamu, di mana Leon sedang duduk membaca koran. Pria itu terlihat tenang, dengan satu tangan memegang secangkir kopi.
"Om," panggilnya pelan. Tidak ada nada manja seperti biasa, hanya suara datar yang membuat Leon mengalihkan pandangan sejenak dari koran.
"Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Bisa tolong carikan agen penjualan pakaian bekas nggak? Aku ingin menjual beberapa pakaian dan tas." Pintanya setelah mengumpulkan keberanian.
Leon menaikkan sebelah alisnya. "Kau kekurangan uang?"
"Enggak," jawab Althea sambil duduk di sebelah Leon. "Tapi semua itu dibelikan ibu dan nggak cocok sama aku. Kalau dibuang, kasihan. Kalau dijual, kan aku dapat uang saku."
Leon memandangnya sekilas, lalu kembali ke korannya sambil berkata dengan nada sarkas, "Wah, otakmu akhirnya berguna juga. Ada lagi?"
Althea tertegun mendengar tanggapannya. Biasanya Leon akan melontarkan komentar yang lebih tajam atau mengabaikannya. Tapi kali ini, nada Leon terasa berbeda—seperti bentuk penghargaan, walau tetap dengan gayanya yang khas.
"Ah, aku juga mau beli beberapa kaleng cat warna ungu. Warna pink itu nggak sesuai seleraku," lanjut Althea, merasa sedikit lebih percaya diri.
"Oke," jawab Leon sambil membalik halaman korannya. "Sekalian cari tukang buat cat ulang kamar itu kalau kau malas."
Althea tersenyum kecil. Meskipun Leon tidak menunjukkan perhatian dengan cara biasa, pria itu tetap memberikan dukungan dengan caranya sendiri. Hari itu, Althea merasa langkah kecilnya untuk berubah akhirnya mendapat tempat.
✨
"Wah, Ayah, sedang renovasi rumah, ya? Perlu aku bantu?" seru Reina ceria sambil melirik para tukang yang sibuk berlalu-lalang.
Leon yang sedang berdiri di dekat pintu hanya melirik tajam. Namun sebelum sempat menjawab, Reina melanjutkan, "Dengan bom molotov, misalnya. Dijamin, selesai cepat!"
Leon mendengus, lalu menjawab sarkas, "Tentu saja. Kau juga bisa menyalakan api unggun di ruang tamu sekalian. Siapa tahu kita perlu kehangatan tambahan."
Reina terkekeh, puas dengan reaksinya. Sementara itu, salah satu tukang yang mendengar percakapan mereka menatap Reina dengan wajah ngeri, berusaha memastikan gadis itu tidak benar-benar membawa bom.
Reina tertawa lepas melihat ekspresi si tukang, lalu mengangkat kedua tangannya dengan santai. "Tenang, Pak. Saya cuma bercanda. Kalau benar-benar bawa bom, Ayah sudah mengusir saya keluar dari rumah ini sejak lama."
Leon memutar mata, lalu menepuk kepala Reina ringan. "Kalau mulutmu seperti itu terus, mungkin aku harus mempertimbangkan usulmu untuk membakar rumah. Setidaknya, rumah ini akan bebas dari suara berisikmu."
Althea muncul dari balik pintu dengan wajah bingung, tangannya masih memegang kuas cat yang berlumuran warna ungu. "Apa-apaan ini? Bom? Membakar rumah? Apa kalian nggak punya topik obrolan yang lebih masuk akal?"
Reina menyeringai, menunjuk Althea dengan dagunya. "Coba kau lihat, Ayah. Adikku sudah jadi Picasso KW. Siap-siap saja rumah ini jadi galeri seni nggak jelas."
"Setidaknya aku tidak merusak rumah dengan tingkah gila," balas Althea tajam, sebelum melirik ke arah Leon. "Om, tolong katakan pada Reina untuk berhenti mengganggu tukang. Mereka jadi takut, tahu."
Leon mendesah berat, lalu menatap Reina dengan ekspresi datar. "Kau dengar itu? Kalau mereka kabur, kau yang ganti kerja menggali pondasi."
Reina pura-pura memasang wajah terkejut, lalu menepuk dadanya sendiri dengan dramatis. "Apa aku tampak seperti tukang gali? Aku lebih cocok jadi penari api, kan?"
Althea hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas. "Aku nggak tahu kenapa kau dan Kak Reina selalu seperti ini. Kapan rumah ini jadi kalau terus begini?"
Leon menatap kedua gadis itu, lalu berjalan pergi ke arah dapur sambil bergumam, "Lebih cepat selesai kalau aku mengunci kalian di kamar masing-masing."
Reina langsung tertawa mendengar gumaman Leon. "Ayah, kalau mau mengunci kami, pastikan kau punya gembok anti pelarian. Aku ini ahli kabur, ingat?"
Leon berhenti di ambang pintu dapur, menoleh, dan menyeringai tipis. "Percayalah, Reina. Aku cukup kenal dengan trikmu. Kalau kau kabur, aku akan pastikan seluruh kota tahu ada gadis gila membawa bom molotov berkeliaran."
Althea tidak bisa menahan tawanya, meski dia mencoba menyembunyikan ekspresi geli di balik tangannya. "Kalian ini seperti pasangan komedi. Om Leon yang sarkas, Kak Reina yang gila... aku hanya penonton di sini."
Reina mendekatkan diri ke Althea dan melingkarkan tangan di bahunya. "Hei, adik kecil. Kalau aku gila, kau apa? Aku masih ingat betapa kau dulu selalu mencoba menjilat Ayah hanya demi perhatian. Sekarang kau bilang aku gila?"
Althea terdiam, lalu menatap Reina dengan mata tajam. "Ya, dulu aku begitu. Tapi setidaknya sekarang aku sudah berubah. Kau kapan, Kak?"
Reina terkekeh, melepaskan pelukannya. "Aku tidak perlu berubah. Aku sempurna apa adanya."
Leon kembali dari dapur, membawa secangkir kopi di tangan, dan langsung menatap mereka dengan datar. "Sempurna, ya? Kalau begitu, sempurnakan diri kalian untuk membantu tukang, bukan bertengkar di sini."
Reina menunjuk Althea dengan malas. "Dia yang mulai duluan."
Althea memutar bola matanya. "Kak Reina selalu menyalahkanku. Bagaimana kalau kau ikut bekerja kali ini, Kak?"
Leon hanya mengangkat cangkir kopinya, menghirup perlahan, lalu bergumam dengan nada santai. "Sepertinya aku harus menyewa psikolog keluarga. Tapi itu nanti, setelah rumah ini selesai direnovasi."
Reina dan Althea saling melirik, lalu serempak berseru, "Ayah keterlaluan/Om keterlaluan!"