NovelToon NovelToon
Gelapnya Jakarta

Gelapnya Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Sistem / Mengubah Takdir / Anak Lelaki/Pria Miskin / Preman
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Langkah di Ujung Keputusan

Malam di Jakarta semakin larut, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Suara bising kendaraan di kejauhan, lampu jalan yang berkedip-kedip, dan gemericik hujan yang tak kunjung reda menjadi latar dari perjalanan mereka. Raka, Nadia, dan Pak Hasan kini bergerak menuju tempat yang telah mereka incar sejak lama: sebuah bangunan tua di kawasan pelabuhan, tempat di mana semua jaringan yang selama ini mereka lacak diyakini bermuara.

Raka menatap peta digital di ponselnya. “Kita tinggal satu blok lagi,” katanya, berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh. Langkah mereka semakin cepat, melawan rasa lelah yang sudah mendera.

Nadia, yang berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arah jalanan gelap di belakang mereka.

“Kita pasti sedang diawasi,” gumamnya.

“Tempat ini terlalu sepi untuk ukuran Jakarta. Seperti perangkap.”

Pak Hasan, yang lebih berpengalaman dengan situasi semacam ini, mengangguk pelan. “Itu kemungkinan besar benar. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita harus melangkah ke depan.”

Bangunan tua yang dimaksud akhirnya terlihat, menjulang di tengah gelapnya malam. Dengan cat dinding yang sudah terkelupas dan kaca-kaca jendelanya yang retak, gedung itu tampak seperti tempat yang sempurna untuk menyembunyikan sesuatu—atau seseorang.

“Viktor pasti ada di dalam,” ucap Raka dengan yakin. “Dan mungkin, dia tidak sendirian.”

Mereka bertiga saling bertukar pandang, memastikan kesiapan masing-masing. Pak Hasan merapatkan jaketnya, Nadia memeriksa alat komunikasi yang mereka bawa, dan Raka menggenggam erat ponsel yang juga berfungsi sebagai senter.

Langkah pertama menuju pintu utama terasa berat. Lantai gedung itu berderit, menciptakan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Bau lembap dan apek menyeruak, membuat Nadia sedikit meringis. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal kecil.

“Periksa semua sudut,” kata Pak Hasan, suaranya tegas namun pelan.

Mereka berpencar, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan Viktor atau bukti lain yang bisa menghubungkan jaringan ini dengan kekuatan besar di balik layar.

Di salah satu ruangan, Raka menemukan tumpukan dokumen yang tergeletak di atas meja kayu usang. Dia membuka beberapa berkas dengan cepat. Ada catatan transaksi yang mencurigakan, nama-nama asing yang tidak dikenalnya, dan beberapa diagram yang menunjukkan struktur organisasi. Namun, sebelum dia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan.

“Raka!” panggil Nadia dengan nada mendesak.

Raka segera menyimpan dokumen itu ke dalam tas ranselnya dan berlari keluar. Nadia berdiri di lorong dengan wajah tegang, menunjuk ke arah tangga. “Ada seseorang di atas.”

Pak Hasan muncul dari sudut lain dengan senjata kecil di tangannya. “Kita harus hati-hati. Kalau Viktor di sini, dia pasti sudah menyiapkan sesuatu.”

Mereka bertiga mendaki tangga perlahan, berhati-hati agar tidak mengeluarkan suara berlebihan. Setiap anak tangga yang mereka naiki membawa mereka semakin dekat dengan pusat dari semua kekacauan ini. Raka merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara malam begitu dingin.

Saat mereka mencapai lantai dua, sebuah suara berat terdengar dari ujung ruangan. “Akhirnya kalian datang juga.”

Itu Viktor. Dia berdiri di depan sebuah jendela besar, dengan cahaya lampu pelabuhan dari kejauhan menerangi siluetnya. Di belakangnya, ada beberapa pria bersenjata yang tampak siap untuk bertindak kapan saja.

“Kalian pikir bisa melawan sistem ini?” Viktor tertawa kecil, suara tawanya penuh ejekan. “Jakarta ini adalah labirin, dan kalian hanya tikus kecil yang tersesat di dalamnya.”

Raka maju selangkah, mencoba menunjukkan keberanian meskipun hatinya berdebar keras.

“Kami mungkin hanya tikus kecil, tapi kami cukup cerdas untuk keluar dari labirin ini. Dan kami tidak akan berhenti sampai kebenaran terungkap.”

Viktor mendengus, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya. “Tangkap mereka. Kita akhiri permainan ini sekarang juga.”

Pertarungan pun dimulai. Nadia bergerak cepat, menggunakan alat komunikasi yang diubah menjadi senjata kecil untuk melumpuhkan salah satu pria bersenjata. Pak Hasan, meskipun sudah tidak muda lagi, menunjukkan keahliannya dalam bertarung jarak dekat, menjatuhkan dua orang dengan pukulan telak.

Raka, sementara itu, mencoba mendekati Viktor. Tapi pria itu ternyata bukan sekadar dalang di balik layar—dia juga seorang petarung yang tangguh. Mereka terlibat dalam duel sengit, dengan Viktor menyerang dengan pukulan-pukulan keras yang hampir membuat Raka terjatuh.

“Kamu pikir bisa mengalahkanku?” Viktor berteriak, suaranya penuh amarah. “Kamu tidak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan semuanya!”

“Tapi aku tahu kamu hanyalah alat,” balas Raka dengan napas terengah-engah. “Dan aku akan memastikan alat seperti kamu tidak lagi melukai orang lain.”

Dengan tekad yang membara, Raka akhirnya berhasil memojokkan Viktor. Satu pukulan keras membuat pria itu terjatuh ke lantai. Sebelum Viktor bisa bangkit, Nadia dan Pak Hasan sudah berada di sisi Raka, memastikan bahwa mereka menang.

Namun, sebelum mereka bisa merayakan kemenangan kecil ini, suara sirine mendekat dari kejauhan. Viktor tertawa kecil meskipun wajahnya memar. “Kalian pikir ini sudah selesai? Orang-orang yang kalian lawan jauh lebih kuat dari kalian kira. Ini baru permulaan.”

Raka menatap Viktor dengan tajam. “Mungkin. Tapi setidaknya sekarang kita punya sesuatu untuk melawan mereka.”

Dia mengeluarkan dokumen yang tadi dia ambil, memperlihatkan kepada Nadia dan Pak Hasan. Dokumen itu berisi bukti yang cukup untuk menghubungkan Viktor dengan jaringan kriminal yang lebih besar.

“Kita harus pergi sekarang,” kata Pak Hasan, menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.

Mereka meninggalkan gedung itu dengan cepat, membawa Viktor sebagai tawanan sementara. Di luar, hujan masih turun deras, seolah mencuci bersih jalanan Jakarta dari semua dosa dan kotorannya.

Di dalam mobil yang mereka tumpangi, Raka menatap keluar jendela. Jalanan yang basah dan kelam terasa begitu sunyi, tetapi dia tahu bahwa ini bukan akhir. Perjalanan mereka masih panjang, dan lawan yang mereka hadapi masih banyak.

Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada secercah harapan. Dengan bukti di tangan mereka, mereka memiliki kesempatan untuk membongkar seluruh jaringan ini dan mengungkapkan kebenaran kepada dunia.

Malam terus berlanjut, membawa mereka semakin jauh dari gedung tua itu. Tapi perjuangan mereka baru saja dimulai. Jakarta, dengan segala kerumitannya, masih menyimpan banyak rahasia.

Di dalam mobil, Pak Hasan memecah kesunyian. “Bukti ini bisa menjadi langkah awal. Tapi ingat, ini baru permukaan. Viktor hanyalah bagian kecil dari jaringan yang lebih besar.”

Raka menggenggam dokumen di tangannya, menyadari betapa berharganya informasi itu. “Kita sudah mulai. Itu yang terpenting. Kita tahu jalan ke depan tidak akan mudah, tapi setidaknya kita sudah mengambil langkah pertama.”

Nadia memandang ke luar jendela, menyaksikan kilauan lampu kota yang memantul di genangan air. Hujan seakan-akan tidak mau berhenti, seolah menjadi pengingat bahwa dunia ini penuh dengan kekacauan. “Kalau jaringan ini sebesar yang kita pikirkan, mereka pasti tidak akan tinggal diam. Kita harus lebih waspada mulai sekarang.”

Pak Hasan tersenyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya. “Waspada itu pasti. Tapi satu hal yang aku tahu dari pengalaman, mereka yang berjuang untuk kebenaran tidak pernah berjalan sendirian. Akan ada lebih banyak orang yang bergabung jika mereka tahu apa yang kita lakukan.”

Mobil mereka terus melaju di bawah guyuran hujan, menuju tempat persembunyian sementara. Di luar, Jakarta tetap bergeliat, dengan segala hiruk-pikuk yang menjadi identitasnya. Tapi bagi mereka, setiap detik yang berlalu adalah langkah kecil menuju perubahan yang lebih besar.

Meskipun malam terasa begitu panjang, mereka percaya bahwa di balik gelapnya malam ini, ada secercah fajar yang menunggu. Sebuah fajar yang tidak hanya membawa cahaya, tetapi juga harapan—harapan bahwa keadilan masih mungkin di tengah kekacauan kota ini.

1
Irhamul Fikri
kenapa bisa kesel kak
ig : mcg_me
gw pernah hidup kayak gini di bawah orang, yg anehnya dlu gw malah bangga.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)
ig : mcg_me
semangat Arka
Irhamul Fikri: wah pastinya dong, nanti di bagian ke 2 lebih seru lagi kak
total 1 replies
Aditya Ramdhan22
wow mantap suhu,lanjutkan huu thor
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: siap abngku
total 2 replies
Putri Yais
Ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Irhamul Fikri: jangan lupa follow
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 2 replies
Aditya Warman
berbelit belit ceritanya
Aditya Warman
Tolong dong tor,jangan mengulang ngulang kalimat yg itu² aja ..boring bacanya...jakarta memang keras...jakarta memang keras...
Heulwen
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Uchiha Itachi
Bikin saya penasaran terus
Zuzaki Noroga
Jadi nagih!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!