Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Kadara menertawakan pesan chat dari Bening. Pesan yang ia kira berisi kata-kata mesra atau kata romantis lainnya, malah berisi candaan yang mendukung pernikahannya dengan Kelana.
“Kenapa kamu ketawa?” tanya Kelana yang sudah emosi jiwa.
“Nih.” Kadara memperlihatkan layar ponsel Kelana. “Ini yang namanya udah jadi istri? Kamu udah nikahin anak SM-P itu?”
Kelana merebut ponselnya untuk menilik jelas isi pesan, ia pun mengentak napas kesal karena lagi-lagi istri pertamanya itu malah men-ciye-kan dirinya.
“Aku punya bukti vidio pernikahanku dengan Bening, sebentar.” Kelana membuka galeri dan mengklik vidio yang diambil terakhir kali.
“Ini.” Kelana memperlihatkan layar ponselnya di hadapan wajah Kadara.
Hening.
Kadara memperhatikan vidio itu dengan serius, namun alis cetarnya sontak mengernyit. “Dia siapa? Ngapain? Bukannya dia cowok yang kurang setengah itu? Yang suka nongkrong di depan rumah kamu sambil main suling, kan?”
Rasa menggebu-gebu Kelana mendadak hilang tertiup pertanyaan. Ia bingung kenapa Kadara bisa tau orang yang ia suruh untuk mengambil vidio itu memang tetangganya yang sering luntang-lantung di depan rumahnya. Pria yang Kelana suruh itu bukan kurang setengah, melainkan pria yang memiliki kebutuhan khusus.
“Kenapa kamu bisa tau orang yang ambil vidio itu?” tanya Kelana.
“Nih.” Kadara menunjukkan layar ponsel yang sedang memutar vidio wajah perekam vidio, dan ternyata orang suruhan Kelana itu malah mengambil vidio lewat kamera depan hingga isi vidio itu hanya merekam wajah si pengambil gambar.
‘Kurang aja si Mamat, harusnya dia ngerti walau enggak diajari,’ batin Kelana semakin emosi.
“Kamu mau cari alasan apalagi untuk batalkan pernikahan kita, Mas?” tanya Kadara.
“Kamu dengarkan suaranya, di situ pasti ada suaraku yang lagi ngucap ijab qobul.” Kelana mengambil ponselnya, lantas membesarkan volume suaranya.
“Alah, aku nggak percaya lagi sama kamu, Mas. Bilang aja kamu mau ingkar janji, kan? Kamu nggak mau nikahin aku, kan? Kamu mau buat keluargaku malu?”
Kelana mengepalkan tangannya karena melihat Kadara yang seolah tak ingin mendengar rekaman suara yang sudah terdengar itu, meskipun sedikit diredam suara manusia yang sedang riuh di luar.
“Kamu nggak kasian sama ibu bapak aku? Mereka udah seneng banget anaknya mau nikah. Liat juga keluarga aku di luar, mereka semua datang cuma demi pernikahan aku sama kamu. Sekarang kamu mau cari alasan aneh buat batalin pernikahan sama aku?" sungut Kadara.
“Oke, kalau itu mau kamu. Aku akan tetap nikahin kamu demi menjaga nama baik keluarga kamu. Tapi ingat ucapanku, kamu akan menyesal setelah jadi istriku.”
“Menyesal apa sih, Mas? Kita saling mencintai.”
“Itu dulu sebelum aku tau penyakit kamu. Aku bersyukur Tuhan kasih tunjuk itu sebelum hari H pernikahan kita, kalau enggak, mungkin aku yang akan menyesal punya istri seperti kamu. Sekarang giliran kamu yang menyesal masih ngotot ingin jadi istriku, kamu juga akan menyesal karena berani khianati, bahkan berani fitnah.”
“Mas –“ Kadara menggenggam lengan Kelana, namun langsung ditepis.
“Ayo kita menikah kalau itu mau kamu.” Kelana keluar dari kamar Kadara, disambut saudara-saudara Kadara yang masih berkumpul memperhatikan Kelana.
“Ijab qobulnya mau di mulai, A’. Cepet kita ke depan.” Pria seumuran Ayah Kadara merangkul pundak Kelana seperti besti, untuk keluar dari rumah sempit yang rata-rata isi perabotannya Kelana lah yang beli.
“Kelana, duduk sini.” Agustina mengarahkan putranya untuk duduk di hadapan Rusli yang akan menikahkan putrinya langsung.
“Cepetan, Dara!” seru Dewi. Ibunya Kadara itu gregetan melihat Kadara yang berjalan sangat lamban.
“Sabar, Bu. Aku nggak biasa pake kain jarik begini. Biasanya juga pake rok seksi.” 5 kalimat terakhir Kadara diucapkan sangat pelan.
Akhirnya Kadara duduk di samping mempelai pria, Kelana pun tampak enggan memandang calon istrinya. Bahkan melirik melalui ekor mata pun Kelana tampak tak mau lagi.
“Apa sudah bisa kita mulai, Kelana? Sudah siap, kan?” tanya Rusli.
“Terserah bapak saja,” jawab Kelana.
“Kita mulai sekarang, jangan gugup, ya.” Rusli menyodorkan tangannya.
Kelana menjabat tangan calon ayah mertuanya tanpa ada gugup-gugupnya. Suasana di acara ijab qobul itu pun semakin ramai yang datang hendak menonton.
“Bismillahirrahmanirrahim, ananda Kelana Alsaki Bragha bin Almarhum Bapak Alsaka Brahgantra, saya nikahkan engkau dengan putri saya Kadara Maheswara binti Rusli Rudiana, dengan Mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, cincin berlian 0.5 carat, dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!”
“SAYA TERIMA NIKAHNYA KADARA BENING EMBUN DENGAN MAS –“ Ucapan Kelana terpotong karena Rusli menarik tangannya.
“Bukan Kadara Bening Embun, Kelana. Tapi Kadara Maheswara. Kamu udah tau nama lengkap Kadara, kan?” tanya Rusli.
Kelana hanya diam dalam batin emosi. Tangannya mengepal di bawah sana karena tak ada keikhlasan lagi untuk menikah sang calon istri. Bahkan yang ada di benaknya itu hanya nama Sya Bening Embun, istri pertamanya.
“Mas, kamu kenapa, sih?” Kadara mencubit lengan Kelana di bawah sana.
“Kelana, jangan melamun, fokus,” bisik Agustina.
“Bening Embun itu siapa, Bu?” bisik Harum pada ibunya.
“Nanti ibu ceritain,” bisik Agustina di telinga Harum.
“Kita mulai lagi ya, Kelana. Tolong fokus.” Rusli menyodorkan tangannya lagi, dan dijabat kembali oleh Kelana.
“Bismillahirrahmanirrahim, saudara Kelana Alsaki Bragha bin Almarhum Bapak Alsaka Brahgantra -- saya nikahkan engkau dengan putri kandung saya Kadara Maheswara binti Rusli Rudiana -- dengan Mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, cincin berlian 0.5 carat, dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!” Rusli meremas tangan Kelana agar tak melamun lagi.
“Saya terima nikahnya Sya Bening Embun binti Almarhum –“
“Mas Kelana!” potong Rusli cepat. “Nama putri saya Kadara Maheswara. Bukan Saya Bening Embun. Siapa Sya Bening Embun? Saya juga masih hidup, bintinya belum Almarhum.”
“Boleh saya meninggalkan acara ini?” tanya Kelana.
“Kelana, jangan bikin ibu malu,” bisik Agustina.
“Kamu mau cari mati, Mas?” Kadara mencubit lengan Kelana lagi.
“Jangan ke mana-mana dulu. Mau ke mana pake mau pergi segala? Biar bapak bantu.” Rusli mengendalikan emosinya dengan mengatur napas, lantas mengambil pena dan selembar kertas.
Hati Kelana benar-benar berat untuk menikahi Kadara, bibirnya pun seakan kelu saat menyebut nama calon istrinya itu.
“Ini, Mas Kelana bisa baca di kertas ini. Nggak papa jawab ijab qobulnya sambil baca, yang penting jangan salah karena ini udah yang ke tiga kalinya.” Rusli menyodorkan kertas berisi pelafalan qobul yang harus Kelana ucapkan.
“Kita mulai sekali lagi.” Rusli meremas jemari Kelana agak keras, dengan pandang yang seolah mengancam untuk jangan salah pelafalan lagi.
“Bismillahirrahmanirrahim, Kelana Alsaki Bragha bin Almarhum Bapak Alsaka Brahgantra, saya nikahkan engkau dengan putri saya Kadara Maheswara binti Rusli Rudiana -- dengan Mas kawin satu set perhiasan emas, cincin berlian, dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!” Rusli menatap sangat tajam.
“SAYA TERIMA NIKAHNYA KADARA MAHESWARA BINTI RUSLI RUDIANA DENGAN MAS KAWIN TERSEBUT DIBAYAR TUNAI,” sahut Kelana sambil membaca.
“Bagaimana saksi?” tanya Pak Penghulu.
“SAH!” sahut saksi dan semua tamu.
“Alhamdulillah ....” Pak Penghulu mulai membacakan doa, di tengah Kadara yang tiba-tiba menggenggam tangan Kelana di bawah sana.
“Lepas,” ucap Kelana selembut nada berbisik, tanpa mau menoleh sedikit pun.
“Pakaikan aku cincin berliannya, Mas.” Kadara menyodorkan jari-jemarinya yang lentik namun tak panjang.
“Kelana, cepat pakaikan cincinnya,” bisik Agustina.
Kelana mengentak napas kasar. Dengan terpaksa ia memakaikan cincin berlian itu di jari manis Kadara, namun tiba-tiba mengingat Bening yang cincin mas kawinnya belum ia pasangkan.
“Terima kasih, Mas.” Kadara senyum-senyum memandang cincin di jarinya, sampai melupakan mencium tangan suami untuk kali pertamanya.
“Ini buku nikahnya silahkan ditandatangani.” Pak Penghulu menyodorkan buku kecil berwarna merah tua dan hijau tua itu.
Dengan semangat Kadara menandatangani buku nikahnya, sedangkan Kelana mengisi paraf tanda tangan itu dengan coretan asal.
**
Ini visual Agustina (Ibu Kelana)
Ini visual Ajeng (ibu Bening)