Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada beberapa narasumber yang pernah cerita maupun yang aku alami sendiri.
cerita ini aku rangkum dan aku kasih bumbu sehingga menjadi sebuah cerita horor komedi.
tempat dimana riyono tinggal, bisa di cari di google map.
selamat membaca.
kritik dan saran di tunggu ya gaes. 🙂🙂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Glundung Pringis. 2
1
Aku melongo mendengar kata ‘Glundung pringis’ yang di katakan Mbah Ti. Aku pernah lihat kepala buntung, itu pun entah mimpi atau kenyataan, aku masih agak ragu. Ini? Apaan lagi ini? glundung pringis? “Apaan itu Mak?”
“Setan kepala buntung. Kan kamu juga pernah lihat itu?”
“Iya, tapi aku ga tau namanya. Aku kira itu namanya ya setan kepala buntung saja. Ga ada pringisnya.”
“Kalau Glundung pringis itu bila mengganggu orang, dia selalu tertawa cekikikan. Mau dengar cerianya?”
“Aku tak makan dulu mak, lapar. Hehee.”
Aku bergegas ganti baju, makan siang dan kembali menemui Mbah Ti. Dia ada di teras rumah. Saat aku menemui dia, ada beberapa temanku main kerumah. Efi, Bogel, dan Ayu.
“Lho, katanya kumpul di sungai.?” Tanyaku saat melihat mereka di depan rumah.
“Aku kepingin lihat rumahnya Mbah kamu Yon.” Efi menjawab. “Karena rumahnya unik, dan ada kesempatan untuk mengunjunginya, jadi kenapa tidak? Awalnya mau kesini sendiri, eh ketemu dua sejoli ini.” Dia menunjuk Bogel dan Ayu.
Karena mendengar kata-kata Efi barusan. Mbah Ti mempersilakan mereka bertiga untuk masuk rumah. Tapi yang namanya bocah-bocah, mau gimana lagi ya. Mereka kegirangan sekali saat di persilakan masuk. Kami berkeliling rumah masuk beberapa kamar, menyusuri koridor dan masuk ke kamar kecil di ujung koridor itu. Aku belum pernah kesana walaupun aku sudah menginap beberapa hari disana. Entah kenapa, kamar itu sangat familiar sekali.
“Ini kamar anak pemilik rumah ini sebelumnya.” Kata Mbah Ti saat memasuki kamar itu. Kamar itu dindingnya berwarna merah berpaduan emas, ranjang kecil bertiang empat untuk menyampirkan tirai penghalang nyamuk. Dan ada beberapa lilin di meja sudut.
Di meja itu pula ada sebuah album. Mbah Ti mengambilnya, dan membukanya lalu memperlihatkan foto keluarga pemilik rumah ini sebelumnya. Didalam foto itu terlihat sepasang suami istri dan kedua anak perempuan. Anak perempuan kembar, bak pinang dibelah dua. Yang membedakan hanyalah usianya.
Entah kenapa, saat melihat foto itu aku merasa begitu mengenali wajah anak gadis itu, tapi aku tidak bisa mengingatnya.
Setelah puas melihat-lihat, Mbah TI mengajak kami ke ruang makan. Dia menyuguhkan minuman dan beberapa cemilan lalu bertanya. “Mau dengar ceritanya sekarang?”
“Cerita apa.?” Efi berbisik kepadaku.
“Glundung Pringis.” Jawabku.
“Ha?”
“Sudah, dengerin saja. Aku sudah penasaran ini kejadiannya kemarin malam.” Lalu aku berbicara kepada Mbah Ti. “Iya mak, aku sudah ga sabar untuk mendengarnya.”
2
Begini cerita Mak Ti.
Karena Ngatemi Sri Kemanti -nama ibunya Riyono- lupa membawakan baju ganti untuk Riyono, Aku bermaksud mengambilkannya. Aku minta tolong Andri Hariyanto -Masnya Riyono- untuk mengantarkan kerumah Ngatemi, karena saat itu waktu sudah menjelang Maghrib. Dan suasana sudah mulai gelap.
Waktu berangkat, aku dan Andri lewat jalan umum. Yah sambil jalan-jalan sore pikirku saat itu. Di jalan aku berpapasan dengan beberapa orang, ntah itu pulang kerja, mau berangkat ke masjid dan beberapa orang yang saat itu mulai menyalakan lampu obor di beberapa ruas jalan.
Suara binatang malam mulai terdengar, jangkrik mulai bernyanyi di semak belukar dalam sepanjang perjalanan.
Andri di tengah perjalanan mulai bertanya masa muda ku, bertanya bagai mana suasana desa Mulyorejo dalam masa penjajahan. Dan bagai mana aku bisa ketemu Kardi -Mbah Di- sampai kita akhirnya menikah.
Aku pun mulai bercerita, aku lupa mana duluan yang aku ceritakan. Yang pasti cerita tentang masa penjajahan lah yang paling banyak aku ceritakan padanya.
“Saat itu, suasana sangat berat, banyak rumah warga di lumuri dengan lumpur, supaya saat ada pesawat penjajah lewat, rumah itu terlihat menyatu dengan tanah sekitar.” Aku bercerita bagai mana awal mula tentara Belanda masuk ke sini. “Hingga suatu saat, ada rumah salah satu warga ketahuan tempatnya, gara-gara dia membakar rumput kering di halamannya. Dia dan keluarganya di paksa ikut entah kemana, dan yang menolak langsung di eksekusi di tempat itu, saat itu juga.
Karena solidaritas warga Mulyorejo saat itu sangat kuat, beberapa warga yang lain berusaha membantu keluarga itu, walaupun hasinya nihil. Dan mereka akhirnya menjadi korban juga. Tapi, tak sedikit juga tentara Belanda saat itu menjadi korban.
Lambat laun, tentara Belanda berhasil menguasai tempat ini, dan seluruh warga dipaksa membuat beberapa bangunan dan tanggul-tanggul sugai di beberapa titik tanpa ada sepersen pun uang yang diberikan. Istilahnya kerja paksa lah.
Waktu pembangunan tanggul, banyak warga- karena tidak digaji- mati karena kelaparan. Bahkan ada pula yang ketahuan istirahat sejenak saja, dia langsung di eksekusi.’
Itu salah satu apa yang aku ceritakan kepada Andri dalam perjalanan. Hingga sampai di depan masjid. Teman Andri, Santoso, dia menyapa kami. Dan dia mengabarkan bahwa dirinya tidak bisa jaga malam, dan jadwalnya di berikan kepada Andri. Karena itulah, Andri yang awalnya libur, dia jadi harus kerja saat itu.
Singkat cerita, aku yang sudah selesai mengemas baju-baju Andri dan Riyono. Aku langsung berpikir segera pulang. Karena jalan umun sangat memutar sangat jauh, dan untuk menghemat waktu. Aku memutuskan mengambil jalan pintas. Yaitu lewat Ba’an lalu lewat jalan kecil di sawah. Karena satu arah sama pos jaga Andri, kami pun barengan lagi.
Di Ba’an. Aku langsung menuju sungai sebelah rumah Pak Ponijan, melihat ke arah rumah ini, saat itulah aku melihat ada cahaya dari arah teras rumah ini. Jadi aku menyuruh Andri untuk segera kembali ke pos jaga. Awalnya dia menolak karena kawatir, tapi aku berhasil meyakinkan dia kalau bakalan tidak ada apa-apa. Dia pun akhirnya setuju, dan balik ke pos.
Saat aku mau menyebrang sungai, Pak Ponijan menyapa, dia mengasih aku beberapa singkong. Dan karena aku sudah membawa banyak barang di tanganku-terutama baju- dia memberi pinjam salah satu bajong miliknya.
Kami bercakap-cakap sejenak, aku berterima kasih, dan melanjutkan perjalanan. Karena aku berpikir di belakanku ada Pak Ponijan, dan di arah depan aku melihat cahaya dari teras. Aku jadi tidak ada pikiran yang aneh-aneh. Aku pun berjalan dengan santai.
Namun, saat aku sudah berada di tengah sawah tiba-tiba saja udara menjadi sangat tidak enak, sangat bikin bulu kuduk berdiri. Hingga akhirnya di depan pohon kelapa di tengah sawah, aku melihat satu kelapa tergeletak di tanah. Karena aku pikir itu bisa buat santan saat masak besok paginya. Tanpa pikir panjang aku pun mengambil kelapa itu, dan memaskannya ke dalam bajong. Dan aku kembali melangkahkan kaki.
Lama-kelamaan, di dalam bajong itu terasa ada sesuatu yang bergerak. Tapi masih tidak aku hiraukan. Hingga beberapa langkah lagi ke depan, dari dalam bajong itu terdengar suara.
“Enak aku di gendong, enak aku di gendong.” Kaget akan hal itu, tanpa pikir panjang lagi, bajongnya aku lempar ke arah sawah. Karena bajong terguling, kelapa itu terlempar keluar. Tapi, kelapa itu sudah berubah menjadi kepala buntung. Dia meringis dan berkata. “Gendong lagi, gendong lagi”
Aku langsung lari karena kaget bercampur takut, tapi kepala itu menggelinding mengejarku sambil tetap berbicara. “Gendong lagi.” Hingga akhirnya aku sampai di gerbang depan, kepala itu sudah tidak ada.
Setelah di dalam rumah, aku bercerita kejadian tadi, tapi. Pak kardi-suamiku- malah menertawakan aku. Kami bedebat sebentar, lalu aku putuskan untuk tidur saja daripada berdebat terus tidak ada selesainya.
Pagi harinya, bajong itu di ambil Pak Kardi, ku dapati semua baju bersih itu kotor karena terendam lumpur sawah.
3
Mbah Ti tersenyum puas melihat kami takjub sama ceritanya.
Efi ; “Kayaknya Mbah Ti lebih cocok jadi pemeran utamanya Yon ketimbang kamu.”
Riyono ; “Berisik.”
Ok lanjut ceritanya.
“Sudah lah, jangan menakut-nakuti mereka.” Suara Mbah Di memecah keheningan.
“Eh kintil.!” Mbah Ti kaget.
Mendengar Mbah Ti ngomong itu, sontak kami tertawa terbahak-bahak.
“Halah, biarin kenapa, lagian kan ini bukan cerita karangan saja.” Protes Mbah TI.
Dan mereka pun berdebat kembali. Saat itulah kami pamit untuk pergi bermain, namun. Mbah Di mencegah kami untuk keluar dengan kata-kata beliau.
“Kalian sepertinya suka yang horor-horor ya? Mau mendengarkan kisah yang lebih horor ketimbang cerita Glundung Pringis?”
Eehh?
silahkan komen, dan share. tengkyu ferimat. 😁😁