"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Jangan Libatkan Hana
Keesokan harinya, langit tetap sama- gelap, mendung menggantung rendah, menutupi cahaya yang mungkin bisa mengusir perasaan berat yang tersisa di hati Ryan. Saat jam pulang sekolah tiba, lorong-lorong mulai sepi. Suasana sekolah yang dingin dan tak bersahabat ini terasa lebih mencekam di bawah bayang-bayang kelabu itu.
Ryan berjalan pelan, tatapannya kosong menatap lantai koridor yang sudah sepi. Masih ada bekas rasa nyeri di perut dan bahunya; setiap langkah membuatnya mengingat kejadian di gang kemarin.
Tapi bukan itu yang mendominasi pikirannya sekarang. Wajah Hana yang tersenyum lembut, tatapan tulusnya, terus menghantui benaknya. Pikirannya berulang kali bertanya, 'Apa Hana tahu apa yang terjadi?'
Tapi kebahagiaan singkat itu tak bertahan lama. Saat hampir mencapai gerbang, ponselnya bergetar. Alisnya mengerut. la berhenti, meraih saku celananya dan melihat layar ponselnya. Ada pesan masuk tanpa nama pengirim. Tanpa sadar, napasnya menahan, tangannya tiba-tiba dingin saat membuka pesan itu.
[Datang ke gang belakang sekolah sekarang juga, atau Hana akan menyesal pernah mengenalmu.]
Matanya terbelalak. Perutnya langsung terasa dingin, keringat dingin mulai menetes di pelipis meski udara sore itu cukup sejuk. Tangannya gemetar, hampir menjatuhkan ponselnya.
Kali ini bukan hanya dirinya yang mereka ancam. Mereka menyebut Hana. Hana yang selalu bersikap baik, yang memberinya senyum meski dunia terasa seperti neraka. Semuanya mulai terasa menghimpit, menekan dadanya tanpa ampun.
Pikirannya terus berputar. Tanpa sadar, kakinya melangkah balik menuju bangunan belakang sekolah yang sudah sepi. Langkahnya tergesa-gesa, namun penuh kecemasan. Apa yang mereka inginkan dari Hana? Semua ini kesalahannya. Seandainya saja ia tak pernah membiarkan Hana mendekat...
Saat semakin dekat dengan gang belakang, suasana semakin sunyi. Sekolah terasa mati, hanya ada suara angin yang berhembus, membawa aroma hujan yang kini mulai turun rintik-rintik. Ryan berhenti di ujung gang, napasnya terengah-engah, pikirannya berkecamuk.
Langkah-langkahnya terasa semakin berat. Setiap suara kecil membuatnya semakin tegang. 'Siapkah aku?' Batin Ryan bertanya, namun ingatan akan senyum Hana yang tulus menamparnya. 'Aku harus melindunginya. Apa pun yang terjadi.'
Dengan tekad yang dipaksakan, Ryan melangkah masuk ke dalam gang yang sempit itu. Cahaya dari lampu jalan yang redup membuat bayangannya terlihat panjang di dinding-dinding lembab di sekitarnya. Di depan, dalam bayangan, dua sosok sudah berdiri menunggu-Rei dan Ivan. Wajah mereka dingin, tatapan mereka penuh kesombongan dan niat jahat yang tersirat jelas.
"Kau datang juga," suara Rei terdengar seperti pisau yang memotong sunyi.
Ryan menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap stabil meski detak jantungnya menggila. "Apa yang kalian inginkan?"
Ivan melangkah maju, tatapan matanya menyelidik, menusuk Ryan. "Kami cuma ingin memastikan kau tahu tempatmu, Ryan. Dan kalau kau berani mendekati Hana lagi..." nada dinginnya berhenti sejenak, "kau tahu sendiri yang akan terjadi."
Perut Ryan terasa mual mendengar nama Hana disebut. Marah, takut, dan benci bercampur jadi satu. Kenapa mereka harus menyeret Hana ke dalam ini? Rasanya hampir tak tertahankan.
"Ini antara kita. Jangan libatkan Hana," ujar Ryan, suaranya rendah, gemetar menahan emosi yang menggelegak di dada.
Rei tertawa kecil, langkahnya semakin mendekat, tekanan terasa lebih nyata. "Lucu sekali. Kau pikir kau bisa melindunginya? Kau, Ryan?"
Kata-kata mereka terasa seperti pisau yang menusuk satu demi satu, membuka luka lama dan menambah yang baru. Suara-suara yang selalu menghantui pikirannya kembali. Selalu bergema, memaki dan merendahkannya tanpa henti. 'Aku bahkan tak bisa melindungi diriku sendiri. Apa yang membuatku berpikir bisa melindungi Hana?'
"Kenapa kau tak pernah melawan, hah?" tanya Rei, nadanya mengintimidasi. "Kenapa selalu jadi ecundang?"
"Kenapa kau tak pernah melawan, hah?" tanya Rei, nadanya mengintimidasi. "Kenapa selalu jadi pecundang?"
Ryan tak bisa menatap mereka. Kepalanya tertunduk, pandangannya tertuju pada tanah yang mulai basah oleh hujan. Mereka benar. Selalu seperti itu. Dia yang jadi sasaran. Dia yang tak pernah melawan.
Hujan semakin deras, menghantam tanah, iramanya monoton tapi terasa berat, seperti mengiringi kepasrahan yang semakin dalam. Pakaian Ryan sudah basah kuyup, rambutnya melekat di dahinya. Tapi, di tengah suara hujan itu, muncul suara lain dari dalam dirinya, lebih keras dan tak terduga.
'Kenapa aku tak melawan? Kenapa hanya diam? Kalau aku terus diam, Hana akan tetap terancam.'
Tangannya mengepal, kuku-kuku menancap di telapak tangannya, sakit itu menyadarkannya, seperti menghancurkan sesuatu yang selama ini menahannya. 'Aku tak bisa begini terus.'
Rei tampak menyadari perubahan di wajah Ryan. Alisnya sedikit terangkat, ekspresi terkejut tercampur rasa puas.
"Oh? Jadi kau mau melawan sekarang?" ejek Rei, seringai di wajahnya menguat.
Ryan mendongak, matanya langsung bertemu dengan mata Rei, tak lagi bersembunyi. Keteguhan mulai tampak dalam tatapannya, meski tubuhnya masih bergetar.
"Aku tak ingin masalah," katanya, suaranya terdengar mantap, meski pelan, "tapi aku tak akan membiarkan kalian menyakiti Hana."
Rei terdiam, lalu tawanya pecah, menggema di sepanjang gang sempit itu. "Kau pikir bisa menghentikan kami?"
Ryan merasakan dorongan tak biasa dalam dirinya, mungkin keberanian yang selama ini terkubur. "Kalau ada masalah, hadapi aku. Jangan libatkan orang lain."
Wajah Rei mendekat, seringainya hanya beberapa inci dari Ryan. Matanya mencari celah, keraguan di sana, tapi tak lagi menemukannya. "Baiklah, kalau itu maumu."
Sebelum Ryan sempat menghindar, pukulan keras mendarat di perutnya, menghancurkan keseimbangannya, membuatnya terhuyung. Rasa sakitnya tajam, menjalar cepat, membuat napasnya tersengal.
Ivan tak membuang waktu, langkah cepatnya disusul tendangan ke kaki Ryan. Keseimbangannya hilang, tubuhnya terjatuh berlutut di tanah basah yang berlumpur. Nyeri terasa membakar, menjalar dari lutut ke pinggang.
"Ini hasil sok berani," ucap Ivan, nadanya puas, mengejek.
Ryan mengerang, menahan sakit, tangannya mencoba menopang tubuh agar tak sepenuhnya tersungkur. Tapi, dalam hati, ada sedikit rasa lega. Fokus mereka sepenuhnya padanya, bukan pada Hana. Mungkin ini hal yang benar, meski harus ia bayar dengan luka-luka.
Tanpa aba-aba, Rei mengayunkan kakinya ke bahu Ryan, membuatnya jatuh telungkup ke tanah yang dingin dan berlumpur. Wajahnya menyentuh permukaan basah itu, merasakan dingin yang menusuk dan beban yang menghancurkan.
"Jangan pernah coba-coba menantang kami lagi," suara Rei terdengar sebelum mereka berbalik dan menghilang di balik bayang-bayang, meninggalkan suara tawa kecil Ivan yang memudar di kejauhan.
Ryan terbaring diam, napasnya terengah-engah, seluruh tubuh terasa remuk. Tapi, ada yang berbeda. Ada ketenangan aneh yang menyeruak di tengah semua rasa sakit ini. 'Aku tak tinggal diam kali ini. Aku berdiri untuk seseorang.'
...----------------...
Hana melangkah pelan di koridor sekolah yang mulai sepi, tatapannya tertuju pada sosok Ryan yang berjalan menjauh. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Ryan berjalan hari ini, terlalu berat, terlalu tergesa-gesa. Firasat aneh mulai mengganggunya, seolah ada sesuatu yang tak beres.
Sejenak, Hana berhenti di depan gerbang sekolah yang hampir kosong. Hujan mulai turun, hanya rintik-rintik tipis yang mengalir dari langit kelabu. Ia melihat Ryan berbalik terus berjalan dengan langkah tak stabil, sesekali menoleh ke belakang, seolah memastikan dirinya tak diikuti.
Pikiran Hana berkecamuk. 'Ada apa dengannya? Apa yang membuat dia begitu tegang?' Tanpa sadar, kakinya mulai melangkah pelan, mengikuti dari jauh.
Hujan makin deras. Gerimis berubah menjadi butiran air yang membasahi aspal dan rambutnya. Hana berhenti sejenak di depan sebuah minimarket kecil depan sekolah yang menjual payung. Tangannya terulur, membeli sebuah payung kecil tanpa banyak berpikir. Setelah beberapa detik mengulur waktu, ia kembali melangkah cepat, berharap masih bisa melihat Ryan.
Namun, jalanan sudah sepi. Ryan menghilang, tak ada jejak yang bisa ia ikuti. Rasa gelisah mulai muncul di dada Hana. Ia mempercepat langkahnya, menelusuri jalan di sekitar sekolah yang kini makin kosong karena hujan. Matanya mencari, berusaha menemukan sosok yang familiar itu.
'Apa dia pulang? Atau dia pergi ke tempat lain?'
Langit semakin gelap, suara hujan semakin keras, memukul payung di atas kepalanya dengan ritme tak menentu. Jantung Hana berdebar semakin kencang. Perasaan tak nyaman makin merayap ke dalam hatinya.
Ia melewati beberapa gang kecil, tak yakin ke mana harus mencari. Tapi di dalam hatinya, Hana tahu Ryan tidak mungkin pergi begitu saja. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang tidak ia ungkapkan.
Setelah beberapa menit berlalu, langkah Hana terhenti saat ia sampai di sebuah gang sempit dekat jalan utama. Di sana, di antara bayangan kelam dan lampu jalan yang berkedip-kedip lemah, Hana melihat sesuatu. Tubuh seseorang, terbaring di tanah basah yang becek. Hatinya seketika tersentak.
"Ryan..." gumamnya pelan, napasnya tertahan.
Hana memperhatikan dari kejauhan. Sosok Ryan terbaring lemas, pakaiannya basah kuyup, lumpur menempel di pipinya. Cahaya lampu jalan memantulkan kilau air hujan di atas tubuhnya yang tak bergerak. Ada sesuatu yang sangat salah. Tapi Hana tetap diam, tak ada suara keluar dari mulutnya, tak ada teriakan, tak ada langkah tergesa.
Perasaannya berdesir, tenggorokannya terasa kering. Ia berdiri di sana, terpaku, pikirannya bingung. Tubuhnya terasa kaku, seolah tidak bisa memaksa dirinya mendekat.
Hanya ada suara hujan yang terus mengguyur di sekeliling mereka, menggema dalam keheningan gang itu. Hati Hana berdebar semakin keras. Pertanyaan dan rasa penasaran berputar di kepalanya, namun kakinya seolah tertahan oleh ketakutan yang belum ia mengerti.
Ryan terbaring di sana, di hadapannya.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.