Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maukah kau mendengarkanku?
Saat bel pelajaran pertama berakhir mereka berkumpul di ruang guru dalam keadaan sudah diobati. Gilsa sudah kembali ke kelas, karena dia tak ada hubungannya dengan kejadian ini jadi Bu Rani memilih menyuruhnya tak ikut campur.
"Tolong jangan libatkan aku. Kita tutupi saja, karena jika kau terus memaksa, Kevin mungkin tak akan berakhir dengan menganggumu atau aku, tapi semua murid di kelas kita akan terkena imbasnya." Gilsa mengatakan itu padanya sebeluk pergi. Pada awalnya Altheo hendak membeberkan semua yang dia ketahui jika masalah ini terciduk para guru. Tentu saja dia tak bisa melepaskannya begitu saja, apalagi setelah melihat foto Gilsa yang diambil paksa itu.
"Terutama Prima."
Namun perkataan terakhir Gilsa sukses membuatnya berpikir dua kali.
Penyebabnya adalah, Gilsa sepertinya masih peduli dan mengkhawatirkan mantan temannya itu sampai dia lebih menekankan Prima daripada murid lain di kelas.
Sepertinya Altheo harus menyelesaikan ini tanpa melibatkan guru ataupun wali siswa.
"Jadi, benar yang dikatakan Clarissa kalau kalian awalnya cuman ngobrol biasa tapi jadi berlebihan karena becanda soal film?"
"Bukan film, Bu." Clarissa menginterupsi. "Semalem ada tayangan MMA di tv, kita membicarakannya sampai pura-pura main tapi kelepasan karena mainnya di deket tangga."
"Nah, itu dia, benar?"
Tak ada yang menjawab.
"Jadi gini, Bu." Altheo memulai kembali percakapan, dimana itu menghasilkan tatapan serentak dari semua orang.
"Iya, gitu kan Altheo?" Suara Clarissa yang bertanya tapi dengan penekanan menghasilkan tatapan geli dan senyuman di wajah Altheo.
"Biarin Altheo bicara doang, Clarissa."
"Iya, nih. Kayak ada yang ditutup-tutupi aja," balas Altheo. Dia tertawa kecil.
"Jadi gini, Bu. Tadi kita mengobrol di atap, karena mau masuk istirahat kita lanjutin ngobrol sambil jalan ke kelas masing-masing. Di tangga tiba-tiba Morgan nahan saya, terus--"
"Kalian memperagakan kick boxing kan?"
"Clarissa." Bu Rani menatap gadis itu agak kesal sekarang.
"Iya." Mengejutkannya Altheo tak menyangkal pertanyaan itu. Sehingga senyuman muncul di wajah Clarissa.
"Benar kan, Bu!"
"Saya tak sengaja terpukul, lalu Morgan hilang keseimbangan dan jatuh ke bawah tangga," tambah Altheo menjelaskan.
"Oh ternyata benar, ya." Bu Rani menegakan tubuh dan menatap semua orang kali ini.
"Bagus deh tidak ada unsur perundungan atau keributan besar di sini. Ibu harap kalian akur-akur terus dan jangan membedakan baik kakak kelas atau bukan. Tapi kamu Altheo."
Wanita itu kembali menatap dirinya, Altheo tersenyum untuk menunggu apa yang akan Bu Rani katakan.
"Kok kamu manggil Morgan pakai nama? Dia bukan kakak kelas kamu ya?"
Ah, dia lupa soal itu.
•••
Saat kembali ke kelas pelajaran sudah setengah berlangsung dan Altheo harus kesana kemari untuk meminta catatan sambil menjawab pertanyaan orang-orang.
Dia tidak melebih-lebihkan, menjawab semua rasa penasaran itu sama persis dengan jawaban yang dia berikan kepada Bu Rani.
"Aku tidak mengadukan apapun kali ini," katanya. Meski Gilsa mendengar dia tidak menanggapi ucapan itu. Altheo hanya tersenyum, dia tak memaksa dan lanjut mencatat pelajaran.
Mereka sibuk dengan pelajaran sampai bunyi bel pulang berbunyi.
•••
"Kau tak mau pulang?" tanya Altheo saat melihat Gilsa belum juga merapihkan diri saat ini. Bel pulang telah lama berbunyi, guru yang mengajar juga sudah keluar, bahkan sebagian besar para murid sudah dalam perjalanan memulangkan diri ke rumahnya. Pemuda itu kemudian menghadap kearah Gilsa dengan tatapan yang bertanya-tanya.
"Aku bertanya padamu."
"Kau juga kenapa masih di sini kalau sudah tahu waktunya pulang?" Gilsa membalik pertanyaan Altheo dan menatap pemuda itu. Altheo juga tak beda jauh dengannya, buku-buku masih berserakan di meja, juga tak yang masih terbuka di belakang kursi.
"Aku memang selalu pulang telat. Kau tak tahu?"
Kedua alis Gilsa terangkat. Seolah berkata, benarkah? Secara tersirat.
"Kau punya kesibukan khusus?"
"Tidak, aku sengaja pulang telat."
"Aku tak paham." Gilsa menatap semakin dalam Altheo yang kini tampak begitu serius dengan topik ini.
"Tak usah paham, situasi rumah bukan hal yang bisa di jelaskan pada orang lain kan?"
Ah, Gilsa akhirnya paham maksud pemuda itu. Berarti, itu sama saja dengan dirinya kan? Menghindari apa yang ada di rumah. Bedanya Gilsa selalu mengurung diri di kamar alih-alih pulang telat.
"Kau akan kemana jika tak pulang?" tanya Gilsa. Dia tertarik dengan cara Altheo. Di benaknya terbesit sebuah gejolak ingin tahu. Untuk seukuran orang yang ingin pergi dari rumah tapi tak bisa, Gilsa ingin tahu bagaimana cara Altheo menopang hidup tanpa perlu pulang.
"Aku hanya menghabiskan waktu sampai malam di luar rumah, dimana pun itu selama bisa."
"Dengan cara?" Gilsa menunggu jawaban yang spesifik.
"Memotret?" Altheo menunjukan gerakan tangan seolah sedang memotret sambil menimang. Ini hobi dia selama hampir 2 tahun lamanya, sampai dia bahkan memiliki kamera dengan berbagai lensa.
"Itu sih aku juga selalu melakukannya tanpa perlu keluar rumah." Gilsa mendecih. Dia kira hal yang luar biasa.
"Aku selalu pergi ke tempat asing, jadi untuk terus menghabiskan waktu lebih lama aku memotret gambar."
"Ke mana?"
"Kau mau ikut?"
Sepertinya perkataan ini yang Gilsa ingin dengar sedari tadi.