Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 05
Dalam satu hari ini emosi Rumi benar-benar dipermainkan, dirinya seolah sedang menaiki sebuah rollercoaster yang memiliki rute yang sangat panjang.
Siang tadi Rumi merasa sedih ketika mendapati kalau tak ada satu pun pesan yang Digo balas, lalu malamnya ia merasa begitu bahagia sampai-sampai membuatkan bekal yang akan ia antarkan sendiri ke gedung kantor sang kekasih.
Lalu yang terjadi setelahnya Rumi malah dibuat marah, bahkan sangat marah. Mungkin kalau Rumi tidak pintar mengontrol emosinya sendiri, semua meja dan kursi yang ada di ruangan tadi akan menjadi korbannya.
Berakhir dengan Rumi yang memilih pergi dari sana tanpa mau mendengarkan apapun lagi, karena bagi Rumi mempercayai semua perkataan Digo setelah apa yang dilihatnya tadi hanyalah sia-sia.
Dengan air mata yang terus saja membasahi kedua pipinya, Rumi melebarkan langkah kakinya. Karena yang sangat ingin Rumi lakukan saat ini hanyalah pulang dan menangis sepuasnya di dalam kamarnya.
Nampaknya emosi Rumi benar-benar sudah diambang batas sampai ia tidak sadar kalau telah membanting pintu mobil dengan cukup keras setelah menjatuhkan bokongnya di kursi yang semula ia duduki.
Melihat apa yang sedang terjadi pada sang kakak tentu saja membuat Rafka merasa kebingungan, ingin bertanya pun tak berani ia lakukan. Namun yang jelas Rafka bisa melihat kalau sekarang ini kedua mata Rumi sedang memerah.
"Pulang." Hanya satu kata singkat itu yang Rafka temukan, bukannya penjelasan atau omelan seperti biasanya. Itu pun Rumi ucapkan dengan suara yang bergetar.
"Mba? Are you okey?" Memang pertanyaan yang Rafka lontarkan ini terdengar begitu sederhana, namun berhasil membuat Rumi kembali menangis, bahkan jauh lebih keras dari yang sebelumnya.
Nampaknya Rafka mulai paham dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Ia tidak akan bertanya pada Rumi, Rafka malah lebih memilih untuk menunggu sampai Rumi siap untuk menumpahkan segalanya.
"Mba, seatbeltnya dipake dulu ya kalo nggak kita nggak bisa jalan ini." Disela isak tangisnya, Rumi berusaha memasang sabuk pengaman di tubuhnya sendiri. Meskipun kesulitan, tapi ia berhasil melakukannya.
Ternyata suasana ketika mereka akan kembali ke rumah terasa lebih suram dari yang sebelumnya. Rafka juga sudah mematikan playlist yang tadi mereka dengarkan berdua sehingga yang kini terdengar hanyalah suara Rumi yang masih menangis.
"Mba Rumi mau makan es krim nggak? Aku yang turun kok buat beli nanti." Diam, Rumi masih betah membungkam bibirnya.
Meskipun mendapatkan penolakan, namun Rafka tetap melipir pada salah satu gerai es krim yang terkenal dengan maskot manusia saljunya itu. Sesuai dengan apa yang ia katakan tadi, Rafka lah yang turun dan memesan es krim kesukaannya Rumi di sana.
"Digo brengsek, selama ini ngakunya lembur tapi ternyata dia malah selingkuh. Gobloknya lagi gue malah percaya gitu aja dan nggak curiga sama sekali." Tak ada siapapun di dalam sini sekarang, jadi Rumi bisa dengan sepuas hati memaki Digo meskipun suaranya bergetar hebat.
"Tadi kenapa gue nggak mutusin dia dulu sih? Kenapa malah kabur gitu aja, terus nanti kalo dia malah datengin gue lagi gimana?" Ternyata Rumi masih bisa menggunakan akal sehatnya meskipun sudah lelah menangis sejak beberapa waktu yang lalu, dan ia menyesali tindakannya yang pergi begitu saja dari hadapan Digo tadi.
Ah sudahlah, masalah itu dipikirkan belakangan saja karena sekarang ini kepala Rumi benar-benar sakit. Mungkin karena ia terlalu terkejut dengan apa yang telah dilihat oleh kedua matanya secara langsung tadi.
Rumi baru saja akan kembali memaki Digo, namun urung ia lakukan ketika melihat Rafka yang sudah keluar dari kedai sana dengan secangkir es krim di tangannya. Hal itu membuat Rumi kembali menenggelamkan kepalanya karena ia tidak mau memperlihatkan wajahnya yang berantakan pada Rafka.
"Nih, tadi aku minta ke Masnya tambahan cone." Es krim itu Rumi terima tanpa berniat untuk mengangkat kepalanya barang sedikit pun dan Rafka tentu tidak mempermasalahkannya sama sekali.
"Dimakan loh itu Mba, ntar meleleh jadinya nggak enak." Melihat Rumi yak tak kunjung memakan es krim pemberiannya membuat Rafka sedikit terganggu hingga pada akhirnya memilih untuk membuka suara.
"Adek fokus nyetir aja tapinya, jangan lirik-lirik ke arah Mba." Permintaan yang sangat aneh, tapi anehnya lagi Rafka malah menyanggupinya. Apapun akan Rafka berikan asalkan Rumi mau menyantap es krim itu.
Dalam diamnya, Rumi mulai menyendokkan makanan manis itu ke dalam mulutnya. Rasanya memang sangat manis, namun belum bisa meluruhkan kepahitan yang sedang dirasakan oleh hati kecilnya saat ini.
"Mba habis berantem ya sama Mas Digo?" Anggaplah kalau Rafka sedang menggali kuburannya sendiri karena telah berani bertanya seperti itu.
Tapi Rafka melakukannya karena ia sudah tak tahan lagi, apalagi setelah mendapati kedua mata kakaknya yang luar biasa sembab saat ini. Iya memang benar, Rafka telah melanggar janji yang telah dibuatnya tadi. Tapi biarlah, Rafka tidak peduli kalau nanti Rumi akan memakinya.
"Habis lihat orang yang ngakunya lembur tapi ternyata malah ciuman sama cewe lain." Kepala Rumi nyaris saja terantuk dengan dashboard mobil karena Rafka yang tiba-tiba saja menginjak pedal rem tanpa aba-aba sama sekali.
Rafka ini sangatlah pintar sehingga ia bisa langsung mengerti siapa orang yang barusan saja kakaknya maksud, ya siapa lagi kalau bukan Digo. Mereka kan keluar malam-malam seperti ini hanya untuk mengantarkan bekal pada orang itu, orang yang sedang lembur.
"Harusnya tadi Mba telepon aku sekalian, biar aku naik ke atas terus aku pukulin mukanya sampe bonyok." Karena tidak bisa memukul Digo secara langsung, Rafka lantas meluapkan emosinya pada stir mobil yang tak bersalah sama sekali itu.
"Ya lupa, Mba malah lupa buat mutusin dia dulu sebelum turun tadi." Sepertinya es krim yang Rafka belikan sudah mulai bekerja, buktinya Rumi sudah nampak lebih tenang dan menyelipkan sedikit candaan di obrolan mereka kali ini. Padahal saat ini hatinya sedang luar biasa patah.
"Yaudah nanti biar aku aja yang wakilin, sekalian mau ngasih salam perpisahan." Ya terserah apa kata Rafka saja, karena sekarang tenaga Rumi benar-benar sudah terkuras habis karena memendam banyak kekesalan di dalam hati kecilnya.
"Ini kan bukan jalan ke rumah?" Dan di sana pula Rumi baru sadar kalau jalanan yang sedang mereka lalui ini berseberangan dengan jalan yang biasa mereka lewati ketika akan pulang ke rumah.
"Iya memang, muter-muter dulu ya supaya nanti pas nyampe rumah Mba langsung tidur, nggak nangis-nangis lagi kaya tadi." Kenapa Rumi baru sadar kalau adiknya ini sudah tumbuh menjadi pria yang sangat keren?
"Mau?" Mungkin Rumi terlalu malu untuk mengucapkan terima kasih secara lisan, jadi ia lebih memilih untuk menawarkan es krim kesukaannya ini pada Rafka yang mana langsung diterimanya dengan senang hati.
"Nanti kalo si bajingan itu masih gangguin Mba, langsung laporin ke aku aja ya." Lantas bisa apa Rumi selain memberikan persetujuan melalui anggukan kepala.
"Oke, kita jalan satu putaran lagi ya, baru setelah itu pulang ke rumah." Malam ini Rumi tidak akan memarahi Rafka yang suka sekali mengulur waktu, Rumi justru sangat menyukainya.
Baru setengah jalan mobil ini melaju kembali dan Rumi sudah teringat lagi dengan Digo dan segala kenangan yang telah mereka ukir selama lima tahun ke belakang ini.
Siapa sangka pria yang pernah bersumpah kalau ia hanya akan mencintai Rumi ternyata malah bermain gila di belakangnya, entah apa yang ada dipikiran Digo sampai ia bisa melakukan hal rendahan seperti itu.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak sekali kenangan dan rencana masa depan yang sudah mereka bicarakan berdua. Namun setelah kejadian malam ini, semua itu harus Rumi buang sejauh mungkin.
Sekarang pun Rumi jadi paham kenapa Digo tak kunjung mengajaknya menuju jenjang yang lebih serius, ternyata karena ada wanita idaman lain yang Digo miliki. Harusnya Rumi sudah menaruh kecurigaannya sedari awal, ya memang sudah seharusnya seperti itu.
Tapi sekali lagi, Rumi terlalu mencinta sampai ia menaruh seratus persen kepercayaan pada pria yang kini telah menjabat sebagai mantan kekasihnya itu.
semangat berkarya kak🥰
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih